Kewajiban berpuasa bukanlah ajaran baru dalam risalah Nabi Muhammad Saw. Umat sebelum kita pun melakukan hal yang sama. Dibandingkan dengan ibadah-ibadah lain, puasa memang terasa cukup berat. Pada umumnya, puasa dimaknai dengan menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum serta menjauhi apa saja yang bisa membatalkannya, dimulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam (lihat Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Alquran). Namun kali ini, saya akan menampilkan dua makna puasa, sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani; puasa jasmani dan rohani.
Biografi Singkat Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syeikh Abdul Qadir lahir pada tahun 470 H/1077 M di Jailan, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan laut Kaspia-Iran. Ayahnya bernama Abi Shalih al-Sayyid Musa dan ibundanya bernama Sayyidah Fatimah. Dari jalur ayah, Syeikh Abdul Qadir menapaki garis nasab hingga sampai kepada Sayyidina Hasan cucu Rasulullah Saw. Sementara dari jalur ibu, silsilahnya bersambung kepada Sayyidina Husain yang juga cucu Rasulullah Saw.
Setelah selesai menimba ilmu di tanah kelahirannya, pada tahun 1095 M, Syeikh Abdul Qadir bertolak merantau ke Baghdad. Ketika itu, Baghdad adalah pusat dan jantung peradaban keilmuan Islam. Di sana, ia menemui banyak ulama dan berguru kepada mereka. Beberapa guru Syeikh Abdul Qadir—yang bisa disebutkan di sini, antara lain adalah ‘Ali bin ‘Aqil al-Hanbali, Abu Zakariya Yahya bin Abi al-Tibrisi, Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Baqillani dan masih banyak yang lain (lihat Syeikh Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailani, Vol. I).
Baca juga: Baca Ayat Ini untuk Menghilangkan Rasa Takut dan Menjaga Kesehatan Mental
Usai berkelana menjalani rihlah ilmiahnya selama kurang lebih 33 tahun, Syeikh Abdul Qadir mulai menampakkan diri di tengah-tengah khalayak masyarakat. Ia dikenal sebagai pribadi yang jujur. Kejujuran seorang Syeikh Abdul Qadir adalah buah didikan keluarga, terutama sang ibu yang selalu mengajarkannya untuk berprilaku jujur. Syeikh Abdul Qadir wafat pada tahun 561 H/1168 M di usianya yang ke 91 tahun dan dimakamkan di Baghdad (lihat al-Kaaf, Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qadir Al-Jailani).
Puasa Bukan Hanya Soal Menahan Lapar dan Haus
Seperti yang kita tahu, kaum sufi tidak pernah berhenti pada apa yang tampak. Mereka akan berusaha menyelami segala hal di dunia ini untuk menemukan ‘mutiara’ indah yang bersembunyi di baliknya. Begitu juga dengan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Sebagai figur yang dikenang menjadi pemimpin para sufi, ia terlihat memaknai puasa melalui kacamata kaum sufi. Makna puasa menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani bisa kita lihat dalam penafsiran QS. Al Baqarah [2]: 183:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Dalam tafsirnya Tafsir Al-Jailani (Vol. I: 157-158), Syeikh Abdul Qadir menafsiri ayat ini sebagai berikut:
{يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ} في دينكم {ٱلصِّيَامُ} هو الإمساك المخصوص من طلوع الفجر الثاني إلى غروب الشمس في الشهر المعروف بلسان الشريعة والإمساك المطلق والإعراض الكلي عمّا سوى الحق عند أولي النهى واليقين المستكشفين عن سرائر الأمور، المتحققين بها حسب المقدور {كَمَا كُتِبَ عَلَى} أمم الأنبياء {ٱلَّذِينَ} خلوا {مِن قَبۡلِكُمۡ} وإنما فرض عليكم {لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ} رجاء أتحفظوا أنفسكم عن الإفطار في الأكل المميت للقلب المطفي نيران العشق والمحبة الحقيقة.
Ketika memaknai puasa, Syeikh Abdul Qadir memulainya dari sudut pandang fiqih/syariat, yaitu menahan diri dari hal-hal tertentu (hal-hal yang bisa membatalkan puasa) terhitung sejak terbitnya fajar shadiq (imsak) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Pemaknaan ini merupakan arti sempit dari puasa, yang dalam penafsiran Syeikh Abdul Qadir diistilahkan dengan al-imsak al-makhsus.
Baca juga: Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir
Apa yang menarik adalah pada penjelasan berikutnya, tepatnya pada frasa al-imsak al-mutlaq wa al-i‘rad al-kulliy ‘amma siwa al-Haq. Menurut Syeikh Abdul Qadir, puasa juga berarti menahan secara mutlak dan menolak secara total dari apapun selain al-Haq. Puasa jenis ini adalah puasanya orang-orang yang akalnya bersih, yakin dan telah mencapai kasyf atas hakikat dengan semampunya. Apa yang dimaksud dengan term al-Haq di sini adalah Allah Swt. Sebab, dalam dunia tasawuf, kata al-Haq selalu dirujukkan kepada Dia yang Maha Segala-galanya.
Membaca kutipan penafsiran di atas, kiranya kita dapat mencerna bahwa Syeikh Abdul Qadir membagi makna puasa menjadi dua pengertian. Pertama, puasa secara syariat (al-imsak al-makhsus). Makna puasa yang pertama ini sesuai dengan arti puasa secara umum, yaitu menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa (makan, minum dan lain-lain). Puasa perama ini bisa kita sebut dengan puasa jasmani. Kedua, puasa dalam arti menahan secara mutlak dan menolak total apapun selain-Nya (al-imsak al-mutlaq wa al-i‘rad al-kulliy ‘amma siwa al-Haq). Puasa dalam pengertian kedua ini bisa juga kita istilahkan dengan puasa rohani.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu
Penjelasan Syeikh Abdul Qadir terhadap puasa jenis kedua di atas hampir sama dengan penjelasan Al-Ghazali. Menurut Hujjatul Islam ini, puasa semestinya disempurnakan dengan menjaga anggota tubuh (dhahir dan batin) dari hal-hal yang dibenci Allah Swt. Seperti menjaga mata dari pandangan-pandangan kotor, menjaga lisan dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, menjaga telinga dari apapun yang dilarang hingga menjaga hati (lihat Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah).
Terakhir, Syeikh Abdul Qadir mengungkap hikmah yang terpendam di balik kewajiban puasa. Bahwa puncak dari syariat puasa adalah agar kita bisa menjaga diri dari sikap berlebihan dalam urusan makan. Sebab, hal itu dapat mematikan hati, memadamkan api rindu kepada Allah Swt, dan meredupkan cinta yang hakiki kepada-Nya. Semoga di bulan Ramadan ini, kita semua mampu menjalani puasa jasmani dan rohani semaksimal mungkin. Amin. Wallahu a’lam []