BerandaTafsir TematikPuasa Umat Nabi Muhammad saw. dan Umat Para Nabi Sebelumnya

Puasa Umat Nabi Muhammad saw. dan Umat Para Nabi Sebelumnya

Para Nabi mengajarkan cara menjalankan syariat Allah yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Masing-masing dari cara tersebut mempunyai kelebihan dan keunggulannya tersendiri.

Sebagai misal, puasa umat Nabi Muhammad dan puasa umat para Nabi sebelumnya. Puasa adalah satu amal yang diwajibkan oleh Allah sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad saw. sebagaimana dalam firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 183 berikut.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبلِكُم لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Pada ayat kamā kutiba ‘ala allażīna min qablikum, Abu Ja’far mengomentari bahwa kewajiban puasa memiliki keserupaan (tasybīh) antara kewajiban puasa bagi umat Nabi saw. dan umat-umat sebelumnya. [Tafsīr al-Ṭabari Jāmi’ al-Bayān, 3/410] Unsur tasybīh atau penyerupaan tersebut adalah dalam hal farḍiyyah-nya (kewajiban), bukan kaifiyyah-nya (pelaksanaan).

Baca Juga: Hikmah Disandingkannya Kewajiban Puasa dengan Kewajiban Umat Terdahulu

Syariat Puasa Umat Terdahulu

Secara umum dipahami bahwa puasa adalah menahan dari makan dan minum, serta syahwat. Lantas, apakah umat terdahulu juga demikian?

Puasa Nabi Isa a.s.,

Ketetapan puasa dilakukan dengan meninggalkan berbicara atau berkata. Sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Maryam ayat 26 berikut.

فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًاۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّاۚ

Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.’”

Ibnu ‘Asyur memaknai bahwa ini bukan berarti mutlak tidak boleh berbicara sama sekali, melainkan pantang berbicara dari hal-hal yang tidak bermanfaat demi menggapai kesempurnaan dan keutamaan. [at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, 2/155]

Demikian pula Ali as-Shabuni, beliau mengatakan bahwa perkataan tersebut merupakan sebuah isyarat, bukan berarti dilarang berbicara secara lafzi, jangan salah sangka. Mengutip riwayat Anas r.a., ayat innī nażartu li al-raḥmāni ṣauman, adalah berpuasa sekaligus diam. Artinya, umat Nabi Isa a.s. disyariatkan puasa dengan diharamkannya makan dan berbicara. [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr, 2/449]

Syariat tersebut dilatarbelakangi dengan kisah sayyidah Maryam tatkala hendak melahirkan seorang anak tanpa bapak. Maka dalam kondisi tersebut, diam menjadi pilihan baginya agar tidak memunculkan desas-desus yang tidak-tidak. Toh, apabila dijelaskan-pun, mereka tidak akan memercayai keajaiban tersebut. Maka berdiam diri adalah pilihan yang tepat. [Taisīr al-Karīm al-Raḥmān, 492]

Baca Juga: Menjadi Sehat dengan Berpuasa di Bulan Ramadan

Puasa Nabi Daud a.s.

Disyariatkan berpuasa selama seumur hidup pada umat Nabi Daud a.s. Adapun pelaksanaannya ialah bergantian setiap hari, atau sehari puasa sehari tidak, begitu seterusnya. Syariat puasa Nabi Daud a.s. ini telah dijelaskan oleh Nabi saw. dalam hadis,

وَلِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَهُوَ أَفْضَل الصِّيَامِ

Rasulullah saw. bersabda kepada Abdullah bin Umar dan Ibnu Umar r.a.: “Puasalah sehari dan berbukalah sehari. Itu adalah puasanya nabi Daud a.s. dan itu adalah puasa yang paling utama. Aku menjawab, “Aku mampu lebih dari itu”. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada lagi yang lebih utama dari itu”

Keistimewaan Puasa Umat Nabi Muhammad saw.

Melihat pemaparan pelaksanaan puasa umat terdahulu yang telah disebutkan, tampak perbandingan yang menunjukkan betapa istimewanya syariat puasa umat Nabi saw.

Pertama, pelaksanaan puasa bagi umat Nabi saw. jika dibandingkan dengan umat nabi lainnya adalah lebih mudah, dan kewajiban puasa tidak dibebankan dalam waktu yang lama.

Umat Nabi saw. hanya diwajibkan berpuasa setahun sekali selama sebulan. Sementara umat Nabi Isa a.s, selain menahan dari lapar, juga menahan dari berbicara atau berkata. Adapun umat Nabi Daud a.s., diwajibkan berpuasa selama seumur hidup, dengan pelaksanaan sehari puasa sehari tidak. Ini akan sangat sulit sekali bagi umat Nabi Muhammad saw, sebab secara fisik maupun psikis, umat ini lebih lemah jika diperbandingkan dengan umat-umat sebelumnya.

Bahkan, umat Nabi Muhammad saw. memperoleh keringanan apabila memiliki halangan untuk melaksanakan puasa, seperti dalam kondisi sakit, bepergian, maupun lansia. Sebagaimana disebutkan pada akhir ayat Q.S. al-Baqarah ayat 185 berikut.

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱليُسرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلعُسرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

Ibnu Asyur mengomentari bahwa potongan ayat ini merupakan isti’nāf bayanī dari ayat sebelumnya yang dikatakan bahwa orang sakit, sedang dalam perjalanan, dan lansia diberi keringanan Allah untuk tidak dibebankan kewajiban berpuasa, namun disyariatkan mengganti puasa (kecuali lansia) di lain hari ketika telah mampu. Ini dikarenakan Allah menghendaki keringanan ketika hamba-Nya mengalami masyaqqah (kesulitan).  [at-Taḥrīr wa at-Tanwīr, 2/175]

Kedua, mengingat umat Nabi Muhammad saw. memiliki masa hidup di dunia jauh lebih sedikit daripada umat terdahulu, Allah menyisipkan satu hari pada bulan Ramadan sebagai promo memperoleh pahala besar-besaran, yakni Lailatulqadar. Amalan-amalan ibadah yang dilaksanakan pada hari itu dikalkulasikan sama dengan amalan selama seribu tahun.

Berdasar pemaparan ini, diketahui bahwa puasa bukanlah ibadah yang benar-benar baru untuk umat Nabi Muhammad, para Nabi dan umat sebelumnya juga mengemban syariat yang sama, hanya berbeda cara menjalankannya. Beberapa kemudahan dalam tuntunan puasa yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad dibanding dengan umat terdahulu sangat mungkin adalah bentuk keistimewaan Nabi Muhammad dan umatnya. Wallah a’lam

Fatia Salma Fiddaroyni
Fatia Salma Fiddaroyni
Alumni jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri; santri PP. Al-Amien, Ngasinan, Kediri.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU