BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Fath Ayat 17: Islam Memberi Kemudahan Bagi Penyandang Difabel

Tafsir Surat Al-Fath Ayat 17: Islam Memberi Kemudahan Bagi Penyandang Difabel

Dalam perspektif Islam, kehadiran penyandang difabel diakui dan dihargai. Mereka sebagai manusia memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya, tanpa terkecuali. Mereka berhak untuk hidup, bekerja, berpendapat, berkeluarga dan sebagainya. Di sisi lain, Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel pada aspek tertentu karena sulit untuk dilakukan oleh mereka.

Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel dalam rangka menjaga dan memberi ruang gerak prioritas bagi mereka. Menurut Prof. Ismail Muhammad Hanafi, seorang guru besar di Universitas Internasional Afrika, amanah pemberian hak istimewa ini – dalam wujud yang berbeda – juga harus diemban oleh negara. Penyandang difabel berhak mendapatkan akomodasi memadai agar mereka mampu bersaing di masyarakat.

Surah Al-Fath [48] Ayat 17: Kemudahan Bagi Penyandang Difabel

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel adalah surah al-Fath [48] ayat 17 yang berbunyi:

لَيْسَ عَلَى الْاَعْمٰى حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْاَعْرَجِ حَرَجٌ وَّلَا عَلَى الْمَرِيْضِ حَرَجٌ ۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا اَلِيْمًا ࣖ ١٧

“Tidak ada dosa atas orang-orang yang buta, atas orang-orang yang pincang, dan atas orang-orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; tetapi barangsiapa berpaling, Dia akan mengazabnya dengan azab yang pedih.” (QS. Al-Fath [48] ayat 17).

Menurut Quraish Shihab, surah al-Fath [48] ayat 17 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang berbicara tentang kecaman terhadap orang-orang yang enggan untuk memenuhi ajakan pergi berjihad. Ayat ini ingin menegaskan bahwa orang-orang yang diberi izin untuk tidak melaksanakan jihad melawan kaum Quraisy Mekah hanya penyandang difabel dan orang sakit.

Baca Juga: Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam al-Quran

Surah al-Fath [48] ayat 17 seakan-akan menyatakan, “Tiada dosa atas orang yang buta bila tidak memenuhi ajakan itu (berjihad) dan tidak juga atas orang pincang yakni cacat dan demikian juga tidak atas orang sakit dengan jenis penyakit apapun. Maka barang siapa di antara mereka tidak memenuhi ajakan itu, maka hal tersebut dapat ditoleransi baginya.” (Tafsir Al-Misbah [13]: 196)

Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menyambut ajakan itu  – baik yang sehat maupun yang memiliki beragam uzur yang dibenarkan – niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawah istana-istana-Nya, sungai-sungai, dan barang siapa yang berpaling enggan menyambut ajakan itu niscaya akan disiksa-Nya dengan siksa yang pedih.”

Ayat di atas tidak menggunakan redaksi pengecualian yakni tidak menyatakan bahwa kecuali orang buta dan seterusnya. Ini mengisyaratkan bahwa sejak awal penyandang difabel tidak dibebani untuk pergi berperang. Kendati demikian, pernyataan tidak ada dosa tanpa menyebut dalam hal apa ketiadaan dosa itu mengisyaratkan bahwa kehadiran mereka tidak terlarang. Jadi, tidak masalah jika penyandang difabel atau orang sakit ikut berjihad (Tafsir Al-Misbah [13]: 197).

Argumentasi di atas juga dikuatkan oleh riwayat yang menyatakan bahwa Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang matanya buta, ikut dalam pertempuran Qadisiyyah yang terjadi saat kepemimpinan Umar bin Khattab. Dia tampil dengan gagah mengenakan mantel baju besi dan benar-benar siap untuk berkorban jiwa damn raga. Dia juga telah bersumpah untuk membawa dan melindungi kaum Muslimin atau terbunuh dalam prosesnya.

Ketika surah ‘Abasa berbicara mengenai sikap Al-Qur’an yang memberikan perlindungan dan pengayoman kepada penyandang difabel, dan surah an-Nur [24] ayat 61 berbicara mengenai perlakuan Al-Qur’an yang memberikan hak yang sama antara penyandang difabel dan manusia lainnya, maka surah al-Fath [48] ayat 17 menyatakan bahwa Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel untuk melakukan ibadah – termasuk berjihad – sesuai kemampuan mereka.

Al-Qur’an tidak memaksa penyandang difabel untuk beribadah secara normal sebagaimana mestinya, karena adanya kesulitan dan ketidakmampuan. Selain itu, kesempurnaan fisik bukanlah hal yang menjamin ketakwaan kepada Allah swt. Bisa jadi mereka yang memiliki kekurangan dalam hal fisik justru lebih mulia di mata Allah Swt secara spiritualitas. Kekurangan fisik bukanlah penghalang untuk mendekatkan diri pada-Nya, dan bukanlah penghalang untuk beribadah.

Allah swt menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa semua manusia sama derajat-nya, yang membedakan ialah takwanya kepada Allah. Dia menciptakan manusia dengan berbeda dengan tujuan agar saling mengenal. Karena itu, Nabi Muhammad saw datang membawa nilai-nilai kesetaraan, kesamaan dan melawan berbagai tindakan diskriminasi. Beliau juga mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap rendah hati, menyayangi yang lemah dan berlaku arif.

Baca Juga: Perspektif Al-Quran terhadap Penyandang Disabilitas: Tafsir Surat An-Nur Ayat 61

Dengan demikian, surah al-Fath [48] ayat 17 mengatakan bahwa Islam memberi kemudahan bagi penyandang difabel dengan membolehkan mereka untuk tidak ikut berperang. Namun ayat ini tidak menunjukkan keharaman bagi mereka untuk mengikuti hal tersebut. Dalam konteks kekinian, penyandang difabel dapat ikut berjihad dalam situasi dan konteks tertentu seperti menjaga keutuhan bangsa dan negara melalui jihad literasi atau jihad ilmiah dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan, yakni: Islam menghargai dan mengakomodir penyandang difabel sebagaimana manusia lainnya; mereka diberikan keistemewaan khusus – seperti kebolehan untuk tidak berperang – dalam rangka memberi ruang gerak prioritas agar mereka mampu bertahan dan bersaing di tengah masyarakat; penyandang difabel juga dapat berjuang atau berjihad melalui jalan-jalan yang mungkin dilakukan. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...