Tradisi menghafal (tahfidz) Al-Quran merupakan satu dari sekian banyak fenomena Qur’an in every day life. Tradisi ini hadir dan sudah mengakar kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim. Ia menjadi ‘warisan’ yang sampai detik ini masih tetap lestari, terutama di kalangan santri pesantren. Dalam Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim Indonesia, Gusmian mengelompokkan praktik tahfidz Al-Quran ke dalam garapan kajian Living Qur’an sebagai bentuk pengabadian terhadap orisinalitas teks Al-Quran.
Transmisi dan Transformasi
Selama kurang lebih satu bulan saya merekam berbagai aktivitas di salah satu pesantren yang terletak tidak jauh dari ujung pantai Modung-Bangkalan-Madura. Pondok Pesantren Mifathul Ulum Al-Islamy, atau yang lebih akrap dengan panggilan pesantren Congaban itu memiliki rangkaian rutinitas bagi para santri yang melahirkan fenomena Qur’an in every day life.
Di tengah-tengah rutinitas itu, Al-Quran seolah ‘hidup’ dan menyatu bersama keseharian para santri. Dari bacaan (oral reception), tulisan (written reception), hingga menjelma dalam bentuk kegiatan dan praktik sosial (action reception). Fenomena Qur’an in every day life yang ditemukan di pesantren Congaban, sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari akar transmisi sekaligus transformasi keilmuan para leluhur pesantren yang sangat mencintai dan memuliakan Al-Quran.
Baca juga: Perbedaan Penafsiran Surah Al-Nisā’ [4]: 34 dari Klasik hingga Kontemporer
Konon, menurut satu riwayat, sewaktu Kiai Khotib (pengasuh generasi kedua) selesai menghatamkan surah Al Fatihah kepada Syaikhina Kiai Khalil Bangkalan, sang ayahanda, Kiai Dahlan (pengasuh generasi pertama) sampai-sampai nyembeleh tujuh sapi untuk mengadakan tasyakkuran dan turut mengundang masyarakat setempat dan umum.
Bagi Kiai Dahlan sendiri, memuliakan Al-Quran adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Menjaga kemuliaan Al-Quran adalah harga mati. Kecintaan pengasuh pesantren Congaban dan semangat ‘memuliakan’ Al-Quran memang luar biasa. Cinta dan semangat ini telah diwariskan turun temurun. Mulai dari Kiai Dahlan, Kiai Khotib, Kiai Ilyas hingga pengasuh sekarang, Kiai Ayyub. Tidak hanya di lingkungan keluarga dhalem, cinta dan semangat ini juga dibekalkan kepada para santri.
Bilik-bilik Surau Pojok
Kalau meminjam tipologi Mukholik dalam The Variation of The Quran Reception 21 st Century in Central Java Indonesia, tradisi tahfidz Al-Quran di pesantren Congaban tergolong tipologi oral reception. Resepsi model ini berbentuk rutinitas pembacaan Al-Quran, baik dibaca sebagai aktifitas ibadah harian, pada acara-acara tertentu, maupun dibaca untuk dihafalkan (tahfidz).
Mereka huffadz pesantren Congaban ditempatkan di asrama khusus, terletak di sebelah utara asrama-asrama induk. Ada pemandangan indah yang bisa saya dapatkan di sana. Selain karena berlokasi di jantung pesawahan yang asri, ada banyak kang-kang santri yang riwa-riwi dengan Al-Qur’an terbuka di tangan. Suasana semakin menghentak hati ketika sayup-sayup lantunan Al-Qur’an dari para hamilul Qur’an yang sedang menambah hafalan atau sekedar muraja‘ah itu sampai di telinga. Sesekali saya tertegun dan perasaan merinding mengalir di sekujur tubuh.
Selain di tempat-tempat utama seperti Masjid, di surau pojok utara itu, para huffadz menghidupkan Al-Qur’an dalam keseharian mereka melalui interaksi yang terus berkesinambungan. Pagi usai salat Subuh, mereka bergilir menyetorkan hafalan secara berkelompok dengan dipandu beberapa asatidz. Sore ba’da Salat Magrib, untuk kedua kalinya mereka wajib setor hafalan.
Baca juga: Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Di sela-sela kesibukan dan jadwal kegiatan serta kewajiban sekolah, santri-santri hafidz lebih banyak menghabiskan waktu di surau untuk menyenandungkan Al-Qur’an. Seperti santri-santri pada umumnya, penghuni surau pojok ini juga dibekali rumpun-rumpun keilmuan lain seperti tafsir, hadis, fikih, nahwu, sharraf, balaghah dan sebagainya.
‘Horizon Harapan’: Ragam Resepsi Para Huffadz
Interaksi santri-santri penghafal Al-Quran di pesantren Congaban dengan kitab sucinya berjalan dinamis. Apresiasi dan respon mereka dalam meresepsi Al-Quran ternyata sangat beragam. Meminjam perspektif Rahimana dalam Literature Reception (A Conceptual Overview), resepsi para huffadz pesantren Congaban terhadap Al-Quran searah dengan ‘horizon harapan’ yang ada di benak pikiran mereka. Semua ragam ‘horizon harapan’ ini pada gilirannya melahirkan bermacam resepsi yang dapat ditilik dari sisi kultural, teologis, prikologis, dan filosofis.
Pertama, sisi kultural. Prinsip menghafal Al-Quran dalam kultur pesantren sebenarnya berangkat dari kewajiban (fardhu kifayah) menjaga jumlah kemutawatiran para penghafal Al-Quran. Bila tugas ini sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban itu bagi yang lain. Prinsip ini merujuk pada pandangan al-Suyuthi dalam magnum opusnya al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, seorang pakar ulum al-Qur’an yang menjadi salah satu primadona orang-orang pesantren.
Ini misalnya terlihat dari penuturan Muhammad Soleh, seorang santri yang kini sedang menempuh program tahfidz Al-Quran, “Alasan saya menghafalkan Al-Quran karena ingin menjaga ayat-ayat Al-Quran dan ingin bersyiar dengan lantunan-lantunan Al-Quran. Insya-Allah, ini adalah jalan hidup saya untuk membawa (mengenalkan dan berdakwah) agama Islam melalui lantunan-lantunan Al-Quran.”
Baca juga: Surah al-Maidah 89: Sumpah Palsu dan Kafarat Ausath Al-Tha’am
Kedua, sisi teologis. Seperti yang dikatakan Atabik dalam tulisannya The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfiz Al-Qur’an di Nusantara, bagi masyarakat Islam di Indonesia, Al-Quran diyakini sebagai kalamullah yang mulia dan harus dimuliakan. Membacanya saja termasuk perbuatan mulia, apalagi sampai menghafalkannya.
Tipologi resepsi seperti ini juga dialami sebagian santri Congaban, yang salah satunya diwakili oleh Malik Fahad. “Membaca Al-Quran salah satu ibadah yang agung. Setiap satu huruf diganjar satu pahala. Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran, maka baginya satu kebaikan. Lebih-lebih kalau bisa sampai hatam dan hafal 30 juz.” Ungkap Fahad.
Ketiga, sisi psikologis. Model resepsi ini terlihat pada beberapa santri yang menganggap fungsi Al-Quran sebagai syifa’. Mereka ingin menyemai kenikmatan, sehingga melahirkan perasaan tertentu yang mampu menyentuh kalbu. Hamim mengatakan, “Dengan menghafal Al-Quran, saya bisa lebih mudah dan lebih sering bertadabbur serta bertafakkur. Merenungkan isi Al-Quran sebagai koreksi diri dan memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah. Al-Quran juga adalah obat bagi berbagai penyakit, penyakit hati, penyakit jasmani dan rohani.”
Keempat, sisi filosofis. Puncak dari seluruh ragam resepsi para santri Congaban sejatinya berpulang pada keinginan memetik keberkahan Al-Quran. Keberkahan itu tentu tidak datang secara tiba-tiba dari ruang antah-berantah, melainkan setelah melalui proses panjang; membaca, menghafal, men-tadabbur serta mengamalkan kandungannya secara istiqamah dan ikhlas. Buah yang akan diraih adalah bertambahnya keimanan, ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan. Itulah yang disebut keberkahan Al-Quran.
Senada dengan ini, Gus Nasikh al-Haromain (kepala kepesantrenan) menuturkan, “Berkah membaca apalagi menghafal Al-Quran, itu bisa menumbuhkan mahhabbah kita pada Al-Quran, bernilai ibadah, meneruskan tekad dan perjuangan ulama-ulama salaf, memudahkan dalam mempelajari ilmu agama, pikiran bisa tenang, dan mendapatkan rizeki yang tak diduga-duga.”
Wallahu a’lam []