Krisis iklim kini menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup manusia dan alam. Banjir, deforestasi, polusi udara, kekeringan ekstrem, hingga kepunahan spesies semakin banyak terjadi yang disebabkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan melewati batas. Alquran, sebagai kitab samawi yang diturunkan untuk menjadi pedoman sepanjang zaman, ternyata mengandung prinsip-prinsip yang bisa dijadikan fondasi untuk membangun kesadaran ekologis.
Penafsiran terhadap ayat-ayat yang bersangkutan dengan alam ini dikenal sebagai tafsir ekologis (green tafsir), yaitu pendekatan yang menitikberatkan hubungan harmonis antara manusia dan alam sebagai bagian dari nilai etis keislaman.
Baca Juga: Ekologi Qurani: Beralih dari Tafsir Teosentris ke Antroposentris
Kerusakan Alam dalam Perspektif Alquran
Alquran secara eksplisit menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan merupakan ulah langsung dari tangan manusia, sebagaimana dalam firman-Nya:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Ar-Rūm [30]: 41).
Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa degradasi ekologis bukanlah takdir, melainkan hasil dari tindakan manusia yang tak bertanggung jawab dalam menjaga amanah kekhalifahan di bumi.
Dalam Maḥāsin At-Ta’wīl, Al-Qāsimiy menegaskan bahwa kerusakan yang dimaksud ayat tersebut adalah mencakup maksiat dan dosa-dosa yang diperbuat serta seluruh tindakan yang merusak seperti perusakan hutan, eksploitasi laut, hingga pencemaran sungai, yang semuanya terjadi karena bersumber dari keserakahan manusia.
Baca Juga: Dakwah Berwawasan Ekologi sebagai Solusi Pelestarian Lingkungan
Manusia sebagai Khalifah Ekologis
Konsep manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ merupakan fondasi etis dalam membangun teologi lingkungan yang Islami. Allah SWT berfirman:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ…الْأَيَة
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,..” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Ibnu ‘Āsyūr dalam Al-Taḥrīr wa al-Tanwīr menafsirkan kata “khalifah” tidak sekadar pemimpin, namun juga sebagai pengelola bumi yang harus tetap menjaga keseimbangan dan ketertibannya. Artinya, manusia bertanggung jawab penuh, bukan hanya dengan sesama, tetapi juga dengan makhluk hidup lain dan sistem ekologis secara keseluruhan.
Prinsip Keseimbangan dan Tidak Berlebihan
Prinsip keseimbangan (mizān) menjadi inti ajaran Islam dalam menjaga alam. Allah SWT berfirman:
وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ . اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ
“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu tidak melampaui batas dalam timbangan itu.” (QS. Ar-Rahmān [55]: 7–8).
Dalam tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa mizān bukan hanya tentang keadilan atau kesimbangan sosial, melainkan mencakup segala aktivitas dalam kehidupan manusia termasuk dalam keseimbangan ekologis, contohnya pengambilan hasil hutan, energi, air, dan lainnya. Hal Ini selaras dengan prinsip dasar Islam tentang tidak berlebihan dalam menggunakan sumber daya alam (Q.S. Al-A’rāf [7]: 31).
Baca Juga: Tafsir Ekologi: Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Tafsir Ekologis dalam Jurnal dan Literatur Kontemporer
Dalam artikel “Ekoteologi Islam: Prinsip Konservasi Lingkungan dalam Al-Qur’an dan Hadits serta Implikasi Kebijakannya”, Widiastuty dan Anwar (2025) mengembangkan konsep green religion berbasis Alquran, dengan menekankan bahwa keberlanjutan alam adalah bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah. Islam, menurut mereka, harus hadir tidak hanya dalam ruang masjid, tetapi juga dalam kebijakan konservasi dan perilaku ekologis umat.
Artikel lain yang ditulis oleh Mutma’inah dan Abidin (2024) membahas bagaimana green-deen dari tafsir lokal al-Ibrīz karya KH Bisri Musthofa. Mereka menunjukkan bahwa nilai-nilai pelestarian lingkungan dapat dijumpai secara eksplisit dalam ayat-ayat alam, seperti Q.S. Al-A’rāf [7]: 56, yang berbunyi:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya. (QS. Al-A’rāf [7]: 56).
Tafsir ini menekankan bahwa tindakan menjaga lingkungan bukan hanya anjuran etis, tapi sudah mencapai level kewajiban spiritual yang tinggi.
Hadis dan Tradisi Nabi tentang Ekologi
Rasulullah Saw. juga memberikan teladan dalam sikap ekologis, seperti tercermin dalam larangan menebang pohon secara sembarangan dan anjuran untuk menanam pohon:
حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
Jika hari kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian terdapat benih kurma, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat terjadi, tanamlah. (HR. Ahmad No. 12981).
Hadis ini tidak hanya menggambarkan nilai optimisme, tetapi juga komitmen Nabi Saw. dalam melestarikan lingkungan meskipun dalam kondisi genting.
Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Pendidikan Ekologi bagi Peserta Didik
Kesimpulan
Dengan demikian, pembacaan tentang tafsir ekologis merupakan jembatan antara teks wahyu dengan realitas lingkungan hidup. Dengan menggali nilai-nilai Qur’ani seperti tawāzun (keseimbangan), mas’ūliyyah (tanggung jawab), dan rahmah (kasih sayang terhadap semua makhluk), umat Islam dapat berperan aktif dalam menyelamatkan lingkungan. Alquran tidak hanya berbicara tentang ibadah ritual, tetapi juga mengajarkan ekoteologi yang relevan di era krisis global.
Oleh karena itu, krisis iklim bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi juga masalah moral dan spiritual. Jawaban atasnya dapat dimulai dari pemahaman ulang terhadap wahyu ilahi dan pengamalan tafsir ekologis dalam kehidupan sehari-hari.