BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiTafsir Tarbawi: Pentingnya Pendidikan Ekologi bagi Peserta Didik

Tafsir Tarbawi: Pentingnya Pendidikan Ekologi bagi Peserta Didik

Dewasa ini, marak terjadi bencana alam di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pada awal tahun 2021 saja, berbagai bencana alam menerpa Indonesia misalnya banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Menurut data Word Widelife Fund (WWF) 2020, 75% kebakaran hutan dan bencana alam disebabkan langsung oleh manusia. Ini artinya, sudah waktunya manusia dibekali pendidikan ekologi.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Allah swt menganugerahkan bumi dan alam semesta isinya kepada manusia tidak lain adalah untuk keperluan hidup manusia. Karenanya, menjaga dan merawatnya merupakan bagian daripada mensyukuri nikmat-Nya. Dalam konteks inilah, pendidikan ekologi sangat penting untuk dibumikan dalam sanubari peserta didik. Mereka harus dilatih dan dibiasakan sejak dini untuk peduli terhadap lingkungan alam sekitar sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al-A’raf [7]: 56 berikut ini:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. Al-A’raf [7]: 56)

Tafsir Surah Al-A’raf ayat 56

Dalam Jami’ul Bayan, at-Tabary menafsirkan ayat di atas bahwa kalian wahai manusia, apabila engkau tidak menaati Allah swt dan menyekutukan-Nya itu adalah bagian daripada kerusakan (al-fasad). Redaksi berikutnya ba’da islahiha, bermakna setelah bumi ini diciptakan dengan baik. Islah di sini bermakna bahwa Allah swt telah mengutus sejumlah rasul untuk mengajak manusia kepada kebenaran dan menyampaikan dakwahnya kepada mereka.

Adapun redaksi wad’uhu khaufan wa thama’an, al-Thabary menafsirkannya dengan ikhlashu lahu al-du’a wa al-‘amal wa la tusyriku fi amalikum syai-an (berdoa dan beramallah kalian dengan penuh keikhlasan dan jangan menyekutkan-Nya dengan sesuatu apapun).

Baca juga: Epidemiologi Al-Quran (1): Wabah dalam Kisah Raja Thalut dan Pasukanya

Lebih lanjut, al-Zamakhsyari dalam Al-Kasyaf menjelaskan kata qarib dengan sesungguhnya rahmat Allah berbentuk kasih sayang atau ampunan Allah swt. Jadi rahmat Allah swt teramat dekat kepada manusia yang berbuat kebaikan. Di samping itu, Ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir merincikan makna wa la tufsidu sebagai berikut,

 ولا تفسدوا شيئاً في الأرض، فيدخل فيه المنع من إفساد النفوس بالقتل وبقطع الأعضاء، وإفساد الأموال بالغصب والسرقة ووجوه الحيل، وإفساد الأديان بالكفر والبدعة، وإفساد الأنساب بسبب الإقدام على الزنا واللواطة وسبب القذف، وإفساد العقول بسبب شرب المسكرات، وذلك لأن المصالح المعتبرة في الدنيا هي هذه الخمسة: النفوس والأموال والأنساب والأديان والعقول

Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi. Termasuk bagian dari merusaknya ialah merusak jiwa dengan membunuh, dan merusak sendi-sendi bumi. Selain itu, merusak harta dengan mencuri, merampok dan tipudaya muslihat. Merusak agama dengan saling mengafirkan dan berbuat bid’ah. Merusak nasab dengan rutin berbuat zina, liwath serta qadzaf (menuduh zina padahal tidak). Merusak akal dengan minum-minuman yang memabukkan. Semua hal itu merupakan bagian daripada menjaga lima hal pokok, yaitu menjaga jiwa, harta, nasab, agama dan akal.

Masih tentang al-Razi, ia menafsirkan lafal ba’da islahiha, dengan Allah swt telah membuat bumi ini baik dengan mengutus nabi, menurunkan kitab dan menurunkan syariat sebagai pedoman hidup umat manusia. Maka, kalian wahai manusia jangan merusaknya.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Dasar Pendekatan Saintifik dalam Pendidikan Islam

Tidak jauh berbeda, Al-Syaukani misalnya, dalam Fathul Qadir ia lebih menafsirkan ayat di atas dengan penafsiran filosofis yakni jangan merusak bumi karena ia merupakan bagian dari perwujudan Tuhan. Merusak bumi atau bagian-bagiannya baik skala kecil maupun besar sama halnya merusak Allah swt.

Penafsiran yang lain datang dari Ibnu Athiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, ia mengecam seseorang yang berbuat kerusakan di muka bumi baik sedikit maupun banyak, disengaja atau tidak, sebab itu sama halnya merusak kehidupan seluruh umat manusia, bumi dan alam semesta isinya, serta membuat Allah swt murka. Al-Dhahhak berkata, “janganlah kalian mencemari air atau menyumbat sumber mata air, dan jangan pula menebang pohon termasuk buahnya kecuali dalam keadaan darurat, janganlah kalian lakukan hal tersebut hanya demi mendatangkan dinar dan dirham, sebab dapat membuat bumi rusak.”

Pentingnya pendidikan ekologi bagi peserta didik

Ayat di atas menyiratkan pentingnya pendidikan ekologi bagi peserta didik. Islam merupakan agama yang sangat menaruh perhatian besar dalam pelestarian alam lingkungan. Oleh karenanya, Islam mengatur bagaimana hubungan manusia dengan alam sekitar. Tanpa menjaga alam, mustahil manusia mampu hidup nyaman dan aman.

Istilah ekologi jika merujuk pada KBBI adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan kondisi lingkungan alam sekitar. Dalam bahasa Arab, istilah ekologi atau lingkungan hidup disebut bi’ah atau fiqhul bi’ah. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya, Ri’ayah al-Bi’ah fi Syariah al-Islam menjelaskan bahwa Islam melalui fikihnya sangat menaruh perhatian besar terhadap lingkungan hidup.

Hal tersebut tercermin dari literatur fiqih klasik, misalnya pembahasan bersuci (thaharah), menghidupkan lingkungan hidup (ihya al-mawat), pemanfaatan lahan baik untuk perkebunan atau persawahan (al-musaqah, al-muzara’rah, dsb). Itu semua bukti bahwa Islam mengajarkan untuk menjaga lingkungan alam sekitar, agar alam pun bersahabat kepada kita.

Maka tak heran jika dalam filosofi Jawa mengatakan alam kuwi dulur tuomu, ojo dirusak, yen dirusak rasakne dewe (alam adalah saudara tua kita, jangan dirusak, kalau dirusak rasakan sendiri akibatnya). Jauh sebelum manusia ada, alam sudah ada. Kitalah yang harus menjaga alam, bukan sebaliknya menuntut alam menjaga kita.

Baca juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Maka jangan heran dan menyalahkan alam, jika daerah yang seharusnya menjadi resapan air berubah jadi lahan perumahan, perindustrian, pertambangan, lalu kemudian terjadi banjir. Itu adalah kodrat air yang pada dasarnya mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah.

Berkaitan hal ini, dikenal tujuh gatra dalam literatur Jawa yaitu: (1) Hamemayu Hanyuning Tirto (air); (2) Hamemayu Hayuning Wono (hutan); (3) Hamemayu Hayuning Samodro (samudera); (4)  Hamemayu Hayuning Howo (udara); (5) Hamemayu Hayuning Bantolo (tanah); (6) Hamemayu Hayuning Budoyo (budaya); dan (7) Hamemayu Hayuning Manungso (manusia). Atau dalam bahasa Islam dikenal maqasidus syariah, yaitu menjaga jiwa (hifz an-nafs), agama (hifz ad-din), akal (hifz al-‘aql), nasab (hifz an-nasb) dan harta (hifz al-mal).

Oleh karenanya, bagi para pendidik dan para orang tua mari bersama-sama membudayakan pendidikan ekologi dalam setiap jengkal proses pembelajaran. Peserta didik harus sedini mungkin ditanamkan cinta dan peduli akan lingkungannya dan cinta akan kebaikan. Misalnya dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menanam tanaman di lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara tidak langsung mereka telah mengamalkan kandungan ayat di atas. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...