Mukjizat bahasa Al-Qur’an yang bersifat multi interpetatif atau berpeluang menimbukan perbedaan penafsiran, hal tersebut nyatanya tak terkecuali pada ayat-ayat eskatologis. Konsep pemaknaan bidadari surga misalnya yang memiliki ragam penafsiran atau bahkan telah terjadi reinterpretasi (pemaknaan ulang).
Bidadari surga yang secara arus mainsteam tafsir diartikan sebagai sosok perempuan cantik yang disediakan hanya untuk mukmin laki-laki, kini mulai didiskusikan kembali dalam ranah tafsir Al-Qur’an. Berikut ragam pemaknaan ayat-ayat tentang bidadari surga dari klasik hingga kontemporer.
Ayat-ayat tentang bidadari dalam Al-Qur’an
Lafad yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan pendamping di surga -bidadari- sangat beragam. Lafad-lafad tersebut di antaranya hūr’īn, qāsirātu tarf, kawāiba atrāba, khairātun hisān, lu’lu al-maknūn, abkāra, baidū maknūn, ‘uruban atrāba, dan azwājun muthaharatun. Lafad tersebut tersebar dalam beberapa surat di antaranya Q.S Shad : 52, al-Waqiah : 22, as-Shaffat : 48-49, ad-Dukhan : 54, at-Thur: 20, an-Naba : 33, al-Baqarah : 25, ali-Imran : 15, an-Nisa : 57, dan ar-Rahman : 56.
Tetapi mari kita lihat perbedaanya dari lafad hūr’īn yang mewakili lafad yang diturunkan di Makkah, dan lafad azwājun muthaharatun yang mewakili lafad yang digunakan di Madinah. Lafad hūr’īn dalam Q.S al-Waqiah [56] : 23
وَحُوْرٌ عِيْنٌۙ
“Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah”
Lafad azwājun muthaharatun salah satunya dalam Q.S al-Baqarah [2] : 25 :
وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ۗ كُلَّمَا رُزِقُوْا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِّزْقًا قَالُوْا هٰذَا الَّذِيْ رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَاُتُوْا بِهٖ مُتَشَابِهًا ۗ وَلَهُمْ فِيْهَآ اَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّهُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, ‘Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu’. Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.
Pendapat Mufasir Klasik
At-Thabari memaknai lafad hūr’īn dengan perempuan yang memiliki mata putih bersih, kulit bersih dan memiliki bola mata lebar yang sangat indah. Terdapat dalam kitab at-Thabari, riwayat Mujahid bahwa nanti orang-orang yang masuk surga dinikahkan dengan bidadari yang bermata putih, tulang betisnya terlihat di balik busana yang dikenakan. Bahkan, orang bisa melihat wajahnya dari balik jantung karena kulitnya yang bersih dan tipis (Jami’ al-Bayan, Juz 22, 51).
Baca Juga: Imam At-Thabari, Sang Maestro Tafsir Al-Quran Pertama Dalam Islam
Sementara itu, lafad azdwājun muthaharatun ditafsirkan at-Thabari dengan sosok perempuan yang memiliki kesucian dari segala kotoran yang ada pada kaum perempuan di dunia. Kotoran tersebut seperti haid, nifas, air besar-kecil, dan segala sesuatu yang tidak disukai termasuk jenis noda dan dosa.
Demikian pula penafsiram al-Qurthubi terhadap hur-in dan azwajun muthaharatun sama dengan at-Thabari, dengan penambahan hadis-hadis seperti hadis dari Abu Hurairah : “Mahar untuk menikahi bidadari adalah beberapa genggam kurma dan beberapa helai roti” juga riwayat Abu Qirshafah: “Mengeluarkan sampah dari dalam masjid adalah mahar untuk menikahi bidadari,” (Jami’ Ahkam Al-Qur’an, Juz 15, 396).
Pendapat Mufasir Modern Kontemporer
Pada masa modern-kontemporer, di samping ayat tentang bidadari ditafsirkan apa adanya sesuai lafadnya, namun beberapa tafsir seperti tafsir Al-Misbah memberikan keterangan lebih lanjut mengenai pemaknaan bidadari surga. Menurut Quraish Shihab lafad Hūr’īn berasal dari lafad Haurā yang bisa dimaknai sebagai sesuatu yang feminim atau maskulin. Lebih lanjut Quraish Shihab menyatakan bahwa bidadari surga merupakan iming-iming yang mempunyai hakikat berbeda sesuai harapan kesenangan setiap orang.
Demikian pula dengan mufassir Sayyid Qutb ketika menafsirkan ayat-ayat tentang bidadari, ia tidak tenggelam pada penambahan pendapat pribadi atau konstruksi patriarki. Sayyid Qutb lebih fokus pada pembahasan hakikat kesenagan surga secara keseluruhan. Sayyid Qutb berpendapat bahwa ungkapan ‘Terdapat bidadari yang bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan dengan baik’ adalah kiasan dari makna psikologis dan spiritual. (Fi Zilalil Qur’an, 139).
Menurut Quraish Shihab azwājun muthaharatun adalah pasangan yang berulang kali disucikan dari segala jenis kotoran. Pengertiannya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pasangannya masing-masing. Penyucian dalam lafad tersebut bukan hanya dari haid, melainkan mencakup segala yang mengotori jasmani dan jiwa seperti dengki, cemburu, bohong, khianat dan sebagainya.
Selain itu, dewasa ini muncul pemahaman bahwa kepercayaan terhadap gambaran bidadari surga yang disuguhkan oleh mufasir klasik memperlihatkan konstruksi penafsiran yang terkesan diskriminatif terhadap perempuan dalam perspektif gender. Menurut aktifis gender beberapa tafsir panjang lebar membicarakan sifat dan karakteristik kecantikan bidadari tanpa memperhatikan konteks ayat saat diturunkan.
Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran kesetaraan laki-laki dan perempuan lebih disuarakkan, kajian Ulumul Qur’an juga metode menafsirakan Al-Qur’an mengalami perkembangan. Oleh sebab itu penafsiran bidadari pun mengalami perkembangan. Beberapa pemikir atau pengkaji Al-Qur’an mulai memperhatikan aspek-aspek baru dalam memahami ayat Al-Qur’an khusunya di sini terhadap konsep bidadari. Secara maudhu’i kini ayat-ayat tentang bidadari dimaknai ulang.
Amina Wadud dalam bukunya Quran and Women, 97 memahami ayat tentang bidadari dengan menggunakan bahasa ‘teman pendamping di surga’. Amina menarik kesimpulan bahwa terdapat tiga tingkatam ketika Al-Qur’an berbicara tentang teman pendamping di surga.
Baca Juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender
Pertama, penggunaan istilah hūr’īn mencerminkan tingkat pemikiran komunitas Makkah yang mementingkan harta juga perempuan. Kedua, penggambaran pendamping di surga pada periode Madinah dengan memakai istilah zawj, melambangkan masyarakat Madinah yang mulai memahami Islam. Ketiga, Al-Qur’an telah melampaui dua tingkat sebelumnya dan berbicara tentang kenikmatan yang jauh lebih penting daripada keduanya, yaitu kedekatan dengan Allah swt.
Selain Amina, Tokoh Indonesia Faqihuddin Abdul Kodir dengan teori kesalingan (Qira’ah Mubadalah, 311-324) menggunakan lafad azwājun muthaharatun (pasangan suci) dan ayat-ayat kesetaraan balasan amal perbuatan manusia sebagai bukti adanya bidadara untuk muslim perempuan.
Selaras dengan Faqihuddin, Nur Rofiah pegiat ngaji KGI (Keadilan Gender Islam) mengatakan dalam bukunnya Nalar Kritis Muslimah bahwa, bahasa manusia bersifat simbolik termasuk bahasa manusia yang digunakan dalam Al-Qur’an. Bidadari surga yang digambarkan dengan lafad-lafad yang dipinjam Al-Qur’an adalah simbol kenikmatan surga. Sedangkan penggambaran kenikmatan surga tidak berhenti pada bidadari, melainkan akhir penjelasan surga bersifat spiritual yaitu bertemu dengan Allah.
Menurut Rofiah, Al-Qur’an menggambarkan surga yang bersifat materiil hanyalah perumpamaan, karena Al-Qur’an (saat ayat bidadari diturunkan) sedang berbicara kepada masyarakat yang belum mempunyai kesadaran spiritual yang memadai.
Demikian ragam pemaknaan bidadari surga dari tafsir klasik hingga modern kontemporer. Hal tersebut menunjukkan kepada kita proses usaha manusia untuk memahami kalam ilahi, ilmu Allah yang tiada batas. Sebenarnya masih banyak diskusi tentang hal ini, namun penulis ingin menyajikannya dalam suguhan yang singkat, setidaknya sebagai pemantik diskusi selanjutnya. Wallahu’alam.