BerandaTafsir TematikReligious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa

Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa

Sempat ramai menjadi perbincangan terkait dengan Religious Hate Speech (RHS) atau ujaran kebencian berbasis agama. Nasaruddin Umar (2019: 2-7) dalam bukunya “Jihad Melawan Religious Hate Speech” menjelaskan bahwa Religious Hate Speech merupakan ungkapan atau syiar kebencian yang dialamatkan kepada perorangan, kelompok, atau lembaga berdasarkan tuduhan terhadap agama, kepercayaan, aliran, mazhab, sekte, dan atribut keagamaan lainnya.

Pihak yang melakukan RHS seringkali melakukan justifikasi atau tuduhan kepada pihak yang tidak sejalan atau sepaham dengan golongannya. Ada banyak contoh tindakan Religious Hate Speech, misalnya pengkafiran terhadap kelompok Syi’ah, penyesatan terhadap sejumlah tradisi keagamaan NU, dan berbagai fenomena ujaran kebencian yang lain (Umar, 2019: 11). Pada akhirnya, ujaran kebencian berbasis agama akan melahirkan sikap-sikap yang intoleran, bahkan radikal dalam beragama.

Padahal, sejatinya sesama umat beragama tidaklah pantas saling menebar kebencian. Ketika melihat ada kelompok yang salah, semestinya ditegur atau diluruskan dengan cara yang halus bukan dengan menghina, apalagi mengkafirkan orang lain. Di dalam al-Qur’an, Allah Swt. melukiskan keindahan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun, yang tercantum dalam QS. Thaha [20]: 44 sebagai berikut.

اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

Artinya: “43.  pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; 44.  maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha [20]: 43-44).

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Tafsir QS. Thaha [20]: 44 tentang Qaulan Layyina

Al-Qurthubi (2008: 535) dalam tafsirnya menjelaskan ada beberapa hal yang terkait dengan kedua ayat tersebut di antaranya:

Pertama, firman Allah Swt, اِذْهَبَآ “pergilah kamu berdua” pada permulaan ayat tersebut merupakan perintah Allah Swt. kepada Nabi Musa dan Harun untuk melaksanakan dakwah kepada Fir’aun. Pada mulanya Allah hanya menunjukkan kepada Nabi Musa saja sebagai penghormatan kemudian mengulangi perintah ini sebagai penegasan. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa dengan ini Allah menjelaskan, tidaklah cukup hanya dengan keberangkatan salah satunya. Sehingga perintah ini pun ditujukan kepada Nabi Musa bersama Nabi Harun.

Kedua, firman Allah Swt, فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا “maka berbiacaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut” menunjukkan perintah amar ma’ruf nahi munkar. Dan hal itu dilakukan dengan kata-kata yang lemah lembut, bahkan terhadap orang yang mempunyai kekuatan. Untuk itu, ada jaminan keterpeliharaan dari Allah Swt. untuk keduanya.

Wahbah Az-Zuhaili (2013: 479-480) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk membatalkan klaim Fir’aun yang mengakui dirinya sebagai Tuhan. Fir’aun telah melampaui batas dalam kekafiran, pembangkangan, dan bersikap sombong, yaitu ketika dia berkata, “Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24). Klaim tersebut dibatalkan dengan hujjah dan bukti yang dibawa keduanya.

Allah Swt. kemudian menjelaskan cara berdakwah kepada keduanya, yaitu agar menyampaikan dakwah tersebut dengan lemah lembut dan hendaknya meninggalkan kata-kata kasar, sebagaimana ungkapan keduanya dalam ayat, “Maka katakanlah (kepada Fir’aun), “Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan), dan engkau akan kupimpin  ke jalan Tuhanmu agar engkau takut kepada-Nya?” terdapat dalam QS. An-Nazi’at ayat 18 sampai 19. Karena dengan perkataan yang lembut itu lebih dapat diterima dan membuatnya berpikir tentang apa yang disampaikan oleh Nabi Musa dan Harun.

Quraish Shihab (2005: 307) juga menambahkan bahwa ayat tersebut berbicara tentang penyampaian dakwah yang lemah lembut guna menunjukkan suatu simpati. Hal ini bukan berarti seorang juru dakwah tidak boleh melakukan kritik terhadap sesuatu yang tidak benar, hanya saja harus disampaikan dengan tepat, bukan saja pada kandungannya, tetapi juga pada waktu dan tempatnya, serta susunan atau redaksi kata yang dipilih.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula

Model Dakwah Nabi Musa dan Harun yang Lemah Lembut

Jika ditelaah, sejatinya model komunikasi yang dicontohkan oleh Nabi Musa dan Harun dalam ayat tersebut sangatlah bijak. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana keduanya menyikapi Fir’aun yang sama sekali menolak agama Allah, masih disikapi dengan cara yang lemah lembut.

Sikap yang lemah lembut tersebut ditandai dengan ucapan-ucapan yang sopan dan tidak menyakiti atau memojokkan sasaran dakwah. Demikian model komunikasi yang digunakan yang dinarasikan Al-Quran dengan qaulan layyina (Sukandar & Hori, 2020: 30).

Shihab, sebagaimana dalam tafsirnya terhadap QS. Thaha: 43-44 tersebut juga menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran adalah dengan cara yang menyejukkan, tidak memaki dan memojokkan.

Kontekstualisasi dari kandungan ayat ini adalah ketika kita melihat sebuah perbedaan atau kesesatan sekalipun, hendaknya diberikan solusi dengan cara-cara yang bijak, bukan dengan menebar kebencian. Begitu pula ketika menanggapi kebencian berbasis agama, maka balaslah dengan kelembutan, berikan konfirmasi yang jelas serta sopan, bukan dengan balik melontarkan kebencian baru.

Bahkan Nabi Musa dan Harun sebagai orang paling saleh masa itu masih menggunakan komunikasi yang ramah, lembut, dan sopan ketika menghadapi manusia yang mengaku Tuhan. Maka sepantasnya model dakwah yang telah dicontohkan dalam al-Qur’an ini juga diimplementasikan untuk meredam maraknya religious hate speech.

Penutup

Perkataan yang lemah lembut (qaulan layyina), tidak kasar, dan menyejukkan tentu akan lebih mudah diterima ketika disampaikan. Sebab dengan kelemahlembutan akan menjadikan sesuatu yang disampaikan lebih mudah dicerna dan tidak seperti menghakimi orang lain.

Model dakwah Nabi Musa dan Harun semestinya dapat menjadi percontohan untuk menggaungkan dakwah yang humanis, mendidik, dan berbasis moderat di tengah banyaknya kebencian yang berlandaskan agama. Terlebih di media sosial, pemilihan redaksi sangat diperlukan untuk meredam berbagai perpecahan. Wallahu A’lam.

Baca juga: Inilah Metode Dakwah Ideal Menurut Al-Quran, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125

Saibatul Hamdi
Saibatul Hamdi
Minat Kajian Studi Islam dan Pendidikan Islam
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penafsiran Esoterik Peristiwa Eksodus Nabi Musa as. dalam Tafsir al-Alusi

0
Peristiwa eksodus adalah peristiwa meninggalkan tempat asal; kampung halaman, kota, atau negara. Dalam kisah Nabi Musa, ayat yang menjelaskan tentang peristiwa ini salah satunya...