Fenomena penerimaan (resepsi) masyarakat terhadap Al-Qur’an oleh beberapa pengkaji Al-Qur’an dipandang sebagai sesuatu yang tidak semestinya. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang berisi petunjuk (hudan), yang karenanya harus dipahami, dikaji dan digali maksud di dalamnya. Bukan dengan ragam penerimaan yang bermacam-macam.
Namun demikian, perspektif antropologi justru menganggap bahwa fenomena penerimaan ini sebagai sesuatu yang sah dilakukan. Perspektif antropologi, sebagaimana diulas oleh Prof. Heddy, menganggap bahwa manusia merupakan animal symbolicum yang memiliki kemampuan menciptakan, mengembangkan, dan menggunakan simbol-simbol dalam rangka berkomunikasi.
Dalam bingkai animal symbolicum ini, Al-Qur’an ditempatkan dalam kerangka perangkat simbol-simbol yang lantas ‘diartikan’ (diberi arti) sesuai dengan kesadaran setiap individu manusia, bukan sebagai perangkat yang ‘berarti’ (memiliki arti) bagi manusia. Hal ini dikarenakan manusia selalu memberikan ‘arti’ (meaning) terhadap setiap gejala kehidupan yang mereka temui, termasuk Al-Qur’an, berdasar pada relasi kesadaran (consciousness) yang terbentuk antara dirinya dengan dunianya.
Baca Juga: Problematika Tanda Waqaf dalam Mushaf Al-Quran
Berkaitan dengan hal ini penulis hendak berbagi kajian singkat atas resepsi masyarakat Jawa terhadap fadla’il al-qur’an yang sangat populer dilakukan. Kajian singkat ini menggunakan perspektif antropologi dan fenomenologi agama sebagaimana diulas Prof. Heddy dalam The Living Al-Qur’an dan Fenomenologi Agama, yang menekankan adanya pencarian ‘arti’ (meaning) dan kesadaran (consciousness) dalam resepsi Al-Qur’an.
Term Slamet dalam Kosmologi Masyarakat Jawa
Wahyu Widodo dalam Mantra Kidung Jawa-nya menyebutkan bahwa kosmologi masyarakat Jawa sangat menganggap penting konsep slamet (selamat). Hasil kajiannya menyebutkan bahwa konsep slamet mendasari setiap seluruh siklus kehidupan manusia: kelahiran, kehidupan itu sendiri, hingga kematian. Namun cukup berbeda dari pemaknaan literalnya, konsep slamet dalam kosmologi masyarakat Jawa telah mengalami perluasan makna.
Dalam bahasa Indonesia, kata selamat yang diartikan dengan terbebas-terhindar dari bahaya, malapetaka, bencana; tidak mendapat gangguan, kerusakan dan sebagainya (KBBI). Arti ini dalam pandangan masyarakat Jawa kurang merepresentasikan arti yang dimaksudkan karena masih terbatas pada aspek fisikal saja. Pun begitu dengan padanan katanya dalam bahasa Arab, salamah (سلامة) dan salam (سلام) yang berasal dari kata silm (سلم). Yang selain mencakup asepk fisik juga memuat aspek metafisik berupa shulh (صلح) atau kedamaian dan ketentraman.
Menukil dari Zoetmulder dalam Java, Indonesia, and Islam (Woodward, 2011), Widodo menyebutkan bahwa kata slamet dalam kosmologi masyarakat Jawa tidak hanya merujuk pada kondisi psikologi yang homeostatis (ketahanan dan mekanisme lingkungan yang memungkinkan bertahan hidup secara biologis) semata, namun juga laku batin yang religius. Ini lah mengapa kata slamet juga dapat berarti mengeluarkan sedekah.
Kesadaran (consciousness) akan adanya keselamatan ini lah yang membuat masyarakat Jawa selalu mendahulukan aspek dalam setiap interaksi sosialnya. Kesadaran yang sama juga menjelaskan budaya meminta keselamatan dalam setiap siklus kehidupan yang dianggap penting. Slametan, begitu ungkapan yang dicatat Clifford Geertz dari sebutan masyarakat Mojokuto (Pare) dalam Agama Jawa-nya.
Apa yang disebut sebagai slamet ini lah yang dalam ulasan Prof. Heddy dikatakan sebagai kesadaran (consciousness) yang menjadi dasar atau pembimbing setiap manusia berperilaku dan bertindak terhadap dunianya. Pada akhirnya, kesadaran ini pula yang menentukan adanya metode khusus dalam mengetahui gejala sosial-budaya yang terbentuk, yang dikenal dengan emik atau menurut pandangan masyarakat itu sendiri (Mustaqim, 2014).
Resepsi atas Fadla’il al-Qur’an
Pentingnya slamet bagi masyarakat Jawa ini menjadikan segala sesuatu yang berinteraksi dengan mereka dipahami sebagai simbol-simbol keselamatan, termasuk Al-Qur’an. Dalam hal ini, Al-Qur’an merupakan media yang dapat menghantarkan mereka pada keselamatan. Namun demikian, implementasi dari penerimaan Al-Qur’an sebagai simbol keselamatan ini dipahami secara berbeda.
Jika pahaman mainstream atas klaim keselamatan dalam Al-Qur’an adalah dengan memahami isi kandungan dan menginternalisasikannya dalam kehidupan, maka tidak demikian dengan masyarakat Jawa (meskipun tidak dapat dilakukan generalisasi). Bagi mereka, keselamatan dalam Al-Qur’an merupakan laku praktis atas pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dipercaya memiliki ‘khasiat’ keselamatan. Seperti yang telah disebutkan beberapa oleh ‘Abdullah al-Ghummariy dalam Fadla’il al-Qur’an,
أَخْرَجَ النَّسَائِي مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ: مَنْ قَرَأَ تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ كُلَّ لَيْلَةٍ مَنَعَهُ اللهُ بِهَا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“An-Nasa’i meriwayatkan dari hadisnya Ibn Mas‘ud: “Barangsiapa membaca Surah Tabarak setiap malam, Allah akan menyelamatkannya dari siksa kubur.”
Atau riwayat yang lain,
رَوَى البَيْهَقِي وَغَيْرُهُ: مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَدًا
“Al-Baihaqiy dan yang lainnya meriwayatkan: Barangsiapa membaca Surah Al-Waqi‘ah setiap malam, maka kefaqiran tidak akan mengenainya selamanya.”
Apabila menganut kerangka di atas, resepsi masyarakat Jawa atas riwayat semacam ini merupakan resepsi letterlijk atas redaksi yang disebutkan dalam riwayat, dimana membaca Surah Tabarak dapat memberikan keselamatan dari siksa kubur atau membaca Surah Waqi‘ah dapat menghindarkan dari kefaqiran. Sehingga resepsi yang ada adalah praktis-fungsional, bukan pada aspek pemahaman (eksegesis) mengapa surah tersebut mampu memberikan keselamatan dan menghindarkan dari kefaqiran.
Baca Juga: Irhash Kenabian Muhammad, Bukti Allah Merayakan Maulid Nabi
Hal ini karena konsep keselamatan dalam masyarakat Jawa merupakan upaya laku tirakat yang lebih kepada ranah amalan. Sehingga surah-surah dalam Al-Qur’an yang disebutkan memiliki ‘khasiat’ tertentu lebih mirip seperti wirid atau ‘mantra’ keselamatan.
Terkait laku tirakat ini, hadis dan aqwal para ulama, seperti yang disusun oleh ‘Abdullah al-Ghummariy dalam Fadla’il al-Qur’an-nya, memainkan peran yang sangat penting sebagai petunjuk teknis dan pelaksanaan amalan. Hadis dan aqwal berisi penjelasan ‘khasiat’ dan teknis pengamalan secara lengkap: waktu, jumlah bacaan, situasi dan kondisi, serta tuntutan lain yang harus dipenuhi.
Kesimpulan
Dengan adanya pemahaman mengenai konsep slamet dalam kosmologi masyarakat Jawa dapat dimengerti alasan keberadaan beberapa penerimaan mereka yang oleh beberapa kalangan pengkaji dianggap tidak tepat. Hal ini dikarenakan masyarakat Jawa memiliki kesadaran (consciousness) tersendiri yang mendasari perilaku dan tindakan mereka atas gejala dunia (Al-Qur’an) yang mereka temui. Kesadaran ini pula yang memberikan pengaruh terhadap pemberian arti (meaning) atas gejala dunia tersebut. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []