BerandaUlumul QuranRespons Abū Āshī Terhadap Abū Zaid Tentang Kaidah al-‘Ibrah bi ‘Umūm al-Lafẓ

Respons Abū Āshī Terhadap Abū Zaid Tentang Kaidah al-‘Ibrah bi ‘Umūm al-Lafẓ

Perbedaan pemahaman ketika ada ayat umum yang diturunkan disebabkan oleh sebab yang khusus, ada yang berpatokan pada keumuman teks ada yang berpatokan pada kekhususan sebab. Dua kaidah ini dijelaskan secara detail dalam beberapa kitab ‘ulum al-Qur’an. Kaidah yang kerap kali mendapatkan kritikan adalah kaidah al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafẓ, salah satu kritikusnya adalah Abū Zaid. Kritik ini tidak diamini saja oleh ulama lainnya, melainkan ada yang meresponsnya, seperti Abū Āshī. Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Pengertian al-‘Ibrah bi ‘Umūm al-Lafẓ

‘Umūm al-lafẓi tersusun dari dua kalimat isim yaitu ‘umūm dan al-lafẓi. ‘Umūm secara etimologi baik dari kata ‘ām atau ‘umūm berarti mencakup (mencakup pada semuanya). (Muhammad ‘Āsyūr, Qā’idah al-Ibrah bi ‘Umūm al-Lafżi lā bi Khuṣūṣ al-Sabab wa Taṭbīqātihā al-Fiqhiyyah, 304). Apabila menggunakan kata ‘ammāh maka yang dimaksud adalah antonim dari kata khāṣṣah. (Ibn Manżūr, Lisān al-‘Arab, 3112).

‘Umūm secara terminologi adalah teks yang mencakup pada semua sesuatu yang pantas pada semua individu sampai menghabiskannya tanpa batas. (‘Abd. al-Ilah Ḥawrī, Asbāb al-Iktilāf al-Mufassirīn fī Tafsīr Āyāt al-Ahkām, 179).

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa ‘umūm adalah teks yang mencakup pada arti yang pantas bagi teks itu tanpa adanya batasan, sehingga bisa mencakup pada semua bagian dari teks tersebut. Apabila dihubungkan dengan kata al-‘ibrah, maka arti lengkapnya adalah “Ketika ada teks Alquran yang umum, sedangkan sebab dari turunnya teks tersebut khusus, maka yang menjadi tolak ukur atau yang diperhitungkan adalah keumuman teksnya.”

Baca Juga: Telusur Kaidah Asbabunnuzul dalam Kitab-Kitab ‘Ulūm al-Qur’ān

Kritik Abū Zaid terhadap Kaidah “al-‘Ibrah bi ‘Umūm al-Lafẓ”

Nasr Hāmid Abū Zaid mengkritisi pandangan ulama terkait kaidah ‘umūm al-lafẓi dan khuṣūṣ al-sabab, dia berkata bahwa ketaatan pada keumuman teks dan mengabaikan kekhususan sebab dalam semua teks Alquran akan membawa hasil yang sulit diterima oleh pemikiran keagamaan. Paling berbahaya dari hasil ini adalah tetap berpegang pada “‘umūm al-lafẓi”. Sementara menyia-nyiakan “khuṣūṣ al-sabab”, menurutnya, sikap ini membawa pengabaian terhadap hikmah al-tasyrī’ yang disyariatkan secara bertahap dalam masalah-masalah halal-haram khususnya dalam masalah makanan dan minuman, sebagaimana proses pengharaman khamr. (Naṣr Hāmid Abū Zaid, Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 105)

Dia memberi suatu contoh mengenai tahapan dalam pengharaman khamr, lalu menanggapinya dengan ucapan:

“Apakah logis setelah itu para ulama masih tetap berpegang pada keumuman teks tanpa memperhitungkan konteks khusus sebab turunnya ayat? Jika keumuman teks menjadi dasar untuk memahami nas, maka bisa saja ada yang berpegang pada ayat pertama atau ayat kedua (ayat-ayat tentang khamr), yang pada akhirnya bisa menghapus seluruh legislasi dan hukum syariat. Hal ini bukan sekedar asumsi, karena ada dari kalangan ulama fikih yang menghadapi situasi serupa dengan ini, seperti firman Allah QS. Al-An’am [6] ayat 145:

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya,”

Imam Malik berpendapat dengan membatasi larangan berdasarkan struktur gramatikal ayat, sedangkan Imam Syafi’i mendasarkan pendapatnya pada asbab al-nuzul.” (Naṣr Hāmid Abū Zaid, 107)

Baca Juga: Kaidah Asbabun Nuzul: Manakah yang Harus didahulukan, Keumuman Lafaz atau Kekhususan Sabab?

Respons Abū ‘Āshī terhadap Kritik Abū Zaid

Terdapat dua respons yang disampaikan oleh Abū ‘Āshī terhadap pendapat Abū Zaid. Pertama, tentang apabila seseorang hanya melihat keumuman teks maka konsekuensinya mengabaikan hikmah al-tasyrī’ yang disyariatkan secara bertahap seperti syariat pengharaman khamr. Dalam hal ini, Abū ‘Āshī mengatakan bahwa ayat dalam surah Albaqarah (tentang khamr) sangat jelas berbicara tentang manfaat, dan orang yang bijak pasti memilih manfaat, sehingga tidak ada keumuman dalam ayat tersebut.

 Sedangkan ayat kedua bersifat terbatas (muqayyad), juga tidak ada keumuman di dalamnya:

لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.” QS. An-Nisa’, [4]: 43.

 Oleh karena itu, maka tidak ada dasar untuk berpegang pada ayat ini dan ayat itu (Albaqarah), yang pertama menyebutkan manfaat dan mereka berpegang pada hal yang mengandung manfaat, sedangkan yang kedua bersifat terbatas dan mereka berpegang pada batasan tersebut.

Pada masa Rasulullah saw., khamr sangat meresap dalam kehidupan masyarakat saat itu dan menjadi bagian dari kebiasaan mereka. Oleh karena itu, hukum tentang keharaman khamr tidak diberlakukan secara langsung, akan tetapi secara bertahap, karena pembuatan hukum secara terburu-buru bisa menimbulkan dampak negatif, seperti penolakan dan ketidakpatuhan masyarakat. (Muhammad Sālim Abū ‘Āshī, 117-118).

Kedua, tentang pernyataannya bahwa dia tidak hanya berasumsi belaka tetapi itu terjadi pada ulama fikih yang hanya berpegang pada keumuman teks dalam memahami surah al-An’am [6]: 145. Dalam hal ini Abū ‘Āshī berkata:

“Ayat ini sudah dijelaskan oleh pendapat para ulama. Namun, demikian, sebab turunnya ayat ini bukanlah alasan yang mendorong mereka untuk memberikan pemahaman tersebut. Yang mendorong mereka adalah adanya dalil-dalil lain yang mengharuskan membawa makna ayat ini-maksudnya, firman Allah “قل لا اجد” kepada makna yang berbeda dari arti dhahirnya, makna dhahir ayat ini adalah pembatasan keharaman hanya pada bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi sebagai pembatasan secara mutlak.”

Namun, dalil-dalil lain menambahkan keharaman-keharaman lain yang tidak disebutkan dalam ayat ini, sehingga tidak mungkin menggabungkan antara dalil-dalil tersebut dengan makna ayat ini kecuali dengan meninggalkan makna zahir ayat ini. Itu pun jika diterima, bagaiman jika tidak diterima, dan mengatakan bahwa makna zahirnya adalah pembatasan secara umum yang mungkin bermakna mutlak atau relative (tidak mutlak), yakni makna yang bersifat global (mujmal) di antara dua kemungkinan ini?

Dan kita mengatakan bahwa dalil-dalil lainlah yang menjelaskan makna global tersebut, sehingga menjadi jelas bahwa yang dimaksud adalah pembatasan relative (hasr idhāfī) secara khusus. Atau, kita katakan bahwa makna zahir ini memang pembatasan relative itu sendiri, sesuai dengan kebiasaan dalam Bahasa Arab, dimana sebagian besar pembatasan dalam ucapan mereka bersifat relative. Pembatasan secara mutlak dalam ucapan mereka hanya dapat dipahami dengan adanya dalil pendukung. (Muhammad Sālim Abū ‘Āshī, 128)

Kesimpulan

Akhir dari kesimpulan ini, penulis mengutip apa yang juga dikutip oleh Abū ‘Āshī dari perkataan gurunya, Muhammad Muhammad Abū Mūsā, dia berkata:

Al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab”, maka, peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat bukanlah batasan yang membatasi makna Alquran sehingga tetap terkungkung dalam lingkupnya. Akan tetapi, dengan keluasan dan keumumannya, Alquran berbicara kepada umat manusia di setiap waktu dan tempat, ia menyerukan kebenaran dan mengajak kepada jalan yang benar.” Allahu A’lam.

Abd Hamid
Abd Hamid
Dosen Institut Agama Islam al-Khairat Pamekasan
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Teladan Kisah Nabi Isa: Membangun Personal Branding dalam Dakwah

0
Terkadang, membangun personal branding menjadi penting untuk mengenalkan diri ke ruang publik. Seperti dalam konteks dakwah, menciptakan citra diri yang positif dan autentik berdasarkan...