“Apakah ritual ibadah haji masih sesuai dengan nalar logis jika dilihat dengan bertumbuh kembangnya keilmuan saat ini?”
Pertanyaan tersebut mungkin saja muncul dari sikap skeptis orang-orang non-muslim atau bahkan kalangan Muslim sendiri, yang berusaha untuk mempertanyakan ulang ajaran-ajaran dalam Islam. Sebab, sebagaimana kita ketahui dalam ibadah haji terdapat beberapa ritual yang tidak mudah untuk diterima akal. Contohnya, sai atau lari-lari kecil dari bukit Shafa menuju Marwa. Jika kita tinjau dari fungsinya, untuk apa sebenarnya ritual tersebut dilakukan? Contoh lainnya, melempar jumrah. Apa sebenarnya yang dikehendaki dari melempar batu-batu kecil itu?
Haji memang suatu ibadah yang diperintahkan oleh Allah. Tetapi jika dilihat dari fungsinya saja, ia terlihat aneh jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya yang memiliki manfaat logis. Contohnya, zakat, infak, dan sedekah yang berfungsi untuk membantu kesulitan perekonomian umat. Misal lain, gerakan-gerakan salat. Rukuk dan sujud, katakanlah, memiliki fungsi sebagai bentuk ketundukkan dan kepatuhan kita kepada Tuhan.
Pada tulisan kali ini, saya hendak menjawab pertanyaan diatas dengan menghadirkan pemikiran sosok Mohammed Arkoun, (Kajian Kontemporer Al-Qur’an, 234-241) yang memiliki penafsiran berbeda mengenai ritual haji. Mohammed Arkoun adalah seorang pemikir Islam asal Aljazair yang hingga akhir hayatnya mendedikasikan dirinya dalam bidang keilmuan Islam di Prancis. Ia terkenal dengan teori dekonstruksi dan kritik ortodoksi Islam. Arkoun mengkritik cara-cara pandang keagamaan yang berkembang dalam Islam yang anti sejarah.
Baca juga: Tujuan Al-Quran Diturunkan: Merubah Tradisi Buruk Masyarakat Jahiliyyah
Sebelum kita merangkak menuju interpretasi Arkoun atas perintah haji, agaknya perlu bagi kita untuk memaparkan lebih dulu pandangan dua ideologi besar yang mewarnai episteme keilmuan Islam saat ini, Yakni Syiah dan Sunni. Dalam pandangan keduanya, fenomena ritual-ritual haji sangat lancang untuk dipertanyakan, apalagi dikritisi guna mencari nalar logisnya. Mereka lebih sepakat menerima haji sebagai ibadah yang diperintahkan oleh Allah melalui teks yang termaktub dalam Alquran saja dan enggan meninjau haji dari segi historis-kritisnya.
Hal tersebut menunjukkan masih lengketnya tradisi ortodoksi muslim dengan dogma teologis. Inilah yang menjadi sasaran kritik Arkoun dalam teori dekonstruksinya. Menurutnya, dalam kajian historis haji tidak cukup dipandang sebagai ritual dogmatis saja. Ia perlu ditelisik lebih lanjut dan dipikir secara logis menggunakan konteks historis agar dapat diterima dalam kajian kontemporer. (Al-Quran dalam Tafsiran Dekonstruksi dan Rekonstruksi, 147)
Selanjutnya, Arkoun menjelaskan tentang historisitas haji yang semulanya merupakan ritual pagan, kemudian direduksi oleh Islam menjadi ritual yang islami. Dalam paparannya, Arkoun menyebutkan bahwa kota Mekah -sebagai tempat pelaksanaan haji- merupakan satu tempat yang sangat strategis untuk berbisnis, sebab ia berhubungan dengan Arabia Utara serta Arabia Selatan. Terlebih lagi, sejak dulu kota ini memiliki banyak peninggalan arca yang dipercaya sebagai peninggalan leluhur kepercayaan non-Muslim dan diagung-agungkan. Termasuk pula beberapa situs yang merupakan peninggalan Nabi Ibrahim. Zamzam, misalnya, mereka anggap sebagai peninggalan dewa perang, Zabala. Itu artinya, sejak sepeninggalan Nabi Ibrahim situs-situs yang berhubungan dengan haji sudah banyak mengalami penyimpangan.
Lebih jauh lagi, Arkoun mengajak kita bergerak ke zaman Jahiliyah. Situs-situs ibadah haji semuanya terjamah oleh kaum paganis. Di bukit Shafa dan Marwa yang dijadikan sebagai tempat melakukan sai atau lari-lari kecil diletakkan berhala bernama Isaf dan Nailah untuk pemujaan. Sedang di Ka’bah sendiri lebih banyak lagi patung-patung sesembahan kaum pagan yang nantinya, pada masa pembebasan kota Mekah, diluluh-lantahkan oleh Islam.
Baca juga: Hukum Mendahulukan Orang Tua Berangkat Haji
Ritual-ritual seperti tawaf dan sai yang dilakukan dalam Islam pun sudah ada pada zaman Jahiliyah. Tetapi pelaksanaannya jelas berbeda. Mereka melakukan tawaf dengan cara mengelilingi ka’bah sambil bertelanjang bulat. Ritual Kurban pun juga sudah ada, namun bukan menggunakan domba atau unta, melainkan bayi atau wanita. (Akhbaru al-Makah, 241)
Fenomena-fenomena yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa, jauh sebelum Islam datang, kaum Paganis telah lama melakukan ritus haji. Tetapi dengan cara yang berbeda. Hingga akhirnya setelah Islam muncul, ritual tersebut direvolusi melalui perintah Tuhan yang termaktub dalam Alquran dengan tatanan dan sistem yang sama sekali berbeda.
Selesai menjabarkan tentang historisitas haji, Arkoun kemudian menyebutkan bahwa pergeseran haji dari ritual Pagan melewati proses eksistensiel menuju eksistensial. Eksistensiel -dalam hal ini ritual Pagan- secara sederhana bisa didefinsikan sebagai respon seseorang terhadap fenomena yang dianggap istimewa dan tidak bisa dijangkau akal sehingga memantiknya untuk melakukan sesuatu. Sedangakan eksistensial -dalam hal ini haji Islam- adalah suatu tatanan yang berkaitan dengan ilmu (dalam kasus ini perintah Tuhan dalam Alquran) untuk menggerakkan jiwa seseorang untuk melakukan sesuatu.
Lebih jelasnya, kaum Pagan dengan keyakinan-keyakinannya, meski tanpa bukti yang jelas, menyatakan bahwa ka’bah, zamzam, dan situs haji lainnya sebagai barang mulia. Lalu mereka memberikan sebuah respons dengan serangkaian ritual pemujaan yang kita sebut dengan haji pagan. Kemudian setelah Islam datang, perintah Allah melalui teks Alquran turun untuk mengatur ritus haji. Maka, dengan begini perintah ibadah haji pada mulanya bukan hanya doktrin semata yang berasal wahyu dan bersifat dogmatis, melainkan sebagai dalil konfirmasi dan legitimasi.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah
Dalam pandangan saya, proses transformasi ibadah haji -dari Paganis menuju Islamis- yang dipaparkan Arkoun mirip dengan proses transformasi “Tradisi Tumpengan” di Jawa yang mulanya merupakan ritual yang penuh dengan penyimpangan, di kemudian hari direvolusi oleh walisongo menjadi ritual yang kaya akan makna Islami. (Tumpeng dan Gunungan: Makna Simboliknya dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa, 61)
Kembali lagi pada pemikiran Arkoun. Setelah memberikan pemahaman historisitas pergeseran haji Paganis menjadi haji islami, Arkoun kemudian membuat sebuah kesimpulan tentang subtansi ritus ibadah haji. Menurutnya, ritus ibadah haji bukan hanya perintah melakukan ritual formal saja, melainkan juga ritual yang melibatkan kebatinan. Haji berfungsi untuk menggerakan batin atau hati, dari yang kotor menjadi bersih, dari yang lalai menjadi senantiasa ingat Allah, dari yang senantiasa cenderung berbuat dosa menjadi senantiasa berhasrat melakukan kebaikan. Makna seperti ini Arkoun temukan setelah melakukan kajian historis-kritis terhadap haji.
Walhasil, kita sampai pada jawaban bahwa haji sampai kapanpun akan tetap sesuai dengan nalar logis sebagai ibadah, sebab haji bukanlah sebuah ibadah yang nir makna. Ia datang sebagai ibadah yang merevolusi penyimpangan-penyimpangan kaum Pagan. Ia datang sebagai ibadah yang membersihkan hati manusia, bahwa segala sesuatu harus dilakukan karena Allah semata, bukan karena yang lain.