Sa’id Hawwa merupakan seorang pemikir muslim kontemporer asal Syria atau Suriah. Ia adalah pemikir, mufasir, ahli fikih, dan aktivis terkemuka Ikhawanul Muslimin. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai sufi yang concern terhadap persoalan jiwa manusia. Karena kompetensinya tersebut, Hawwa dianggap sebagai salah satu tokoh muslim berpengaruh abad 20 (Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Contemporary Saudi Arabia).
Nasab lengkapnya adalah Sa’id bin Muhammad Dib bin Mahmud Hawwa al-Nu’aimiy dan memiliki nama panggilan Abu Muhammad. Ia dilahirkan di Kota Hamah, Syria pada tahun 1935. Menurut otobiografi Hawwa yakni Hadzihi Tajribati wa Hazdzihi Syahadati, keluarga ayahnya adalah keturunan dari suku al-Na`im, yang silsilahnya bersambung kepada Nabi Muhammad, sedangkan keluarga ibunya berasal dari marga al-Muwali.
Masa kecil Sa’id Hawwa cukup sulit dan memilukan, karena pada usia dua tahun ibunya sudah meninggal dunia. Di sisi lain, Ayahnya yang berjuang melawan penjajah Prancis diasingkan secara paksa akibat perseteruan politik. Alhasil, Sa’id Hawwa kecil tumbuh besar di bawah asuhan sang nenek hingga ayahnya kembali ke Hamah (Sa’id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern Syria).
Bisa dikatakan bahwa masa muda Sa’id Hawwa dikelilingi ketidakstabilan situasi politik dan berbagai keterbatasan lainnya. Namun itu semua tidak membuatnya berputus asa dan terkebelakang. Sejak kecil Hawwa gemar menuntut ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama. Karena itulah, ia tumbuh menjadi sosok yang mulia dan berpengetahuan.
Semasa muda, Sa’id Hawwa berguru dengan beberapa ulama besar Syria, di antaranya: Syekh Muhammad al-Hamid, Syekh Muhammad al-Hasyimi, Syekh Abdul Wahab Dabas, Syekh Ahmad al-Murad, dan Syekh Muhammad Ali Murad. Di antara nama-nama tersebut, Syekh Muhammad al-Hamid adalah guru yang paling berpengaruh bagi Hawwa, terutama berkenaan dengan pemikiran tasawufnya.
Baca Juga: Biografi Mahmud Syaltut: Tokoh Perintis Penerapan Tafsir Tematis
Pada tahun 1955, Sa’id Hawwa mendaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Islam Universitas Damaskus. Di sana ia mendapatkan bimbingan beberapa guru seperti Mustafa al-Siba’i. Pada saat bersamaan, Hawwa juga melanjutkan pendidikan tasawuf di bawah bimbingan sejumlah syekh di Damaskus, yang paling terkenal di antaranya adalah Abdul Karim al-Rifa’i dari Masjid Zaid bin Tsabit.
Setelah lulus pada tahun 1961, Sa’id Hawaa lalu menjabat sebagai guru sekolah yang bertanggung jawab atas pembelajaran agama di sebuah kota provinsi al-Hasaka dan kemudian di Kota Salamiyah, berdekatan dengan kota Hamah. Kedekatan kedua kota ini memungkinkan Hawwa untuk tetap aktif dalam gerakan politik di sana dan memainkan peran penting pada kelompok Ikhwanul Muslimin.
Karena meningkatnya ketegangan antara rezim Ba’thist dan Ikhwanul Muslimin di Suriah, Sa’id Hawwa menghabiskan periode antara 1966 dan 1971 di Arab Saudi, di mana ia menulis karya-karya besar pertamanya, termasuk salah satu kitab yang menjadi karya masyhurnya, yakni Jund Allāh Tsaqāfatan wa Akhlāqan (Prajurit Tuhan, Secara Budaya dan Moral).
Sa’id Hawwa baru kembali ke Syria atau Suriah pasca tahun 1971 di mana Detente mengambil Alih kekuasaan. Pada saat itu, Hawwa kembali aktif dalam pergerakan politik dan menggalang para ulama Suriah untuk menentang konstitusi permanen yang diusul Asad. Sebagai akibatnya, ia dipenjarakan di Mezzeh, Damaskus selama lima tahun. Selama ditahan, Hawwa menyelesaikan beberapa karya, termasuk al-Asas fi al-Tafsir.
Selain al-Asas fi al-Tafsir, sepanjang hidupnya Sa’id Hawwa juga menuliskan banyak karya, di antaranya: Allah Jalla Jalaluhu, al-Rasul Shalla Allah alaihi wa al-sallam, al-Islam, al-Asas fi al-Sunnah, al-Asas fi Qawa’id al-Ma’rifah wa Dawabith al-Fahm li al-Nushush, Jaulat fi Fiqhain al_kabir wa al-Akbar, Tarbiyatuna al-Ruhiyah, al-Mustakhlash fi Tazkiya al-Anfus, Mudzakarat fi Manazil al-Shiddiqin wa al-Rabbaniyin, dan fi Afaq al-Ta’lim.
Para sarjana kontemporer berbeda pendapat mengenai orientasi intelektual Sa’id Hawwa. Emmanuel Sivan dalam Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics menyebut Hawwa sebagai “Murid” Sayyid Quthb yang mendukung revolusi Islam. Hal senada disampaikan oleh Stephane Lacroix dalam Awakening Islam: The Politics of Religious Dissent in Contemporary Saudi Arabia. Menurutnya, Hawwa adalah “Convinced Qutbist” atau pengikut setia Quthb.
Di sisi lain, Itzchak Weismann dalam tulisannya Sa’id Hawwa: The Making of a Radical Muslim Thinker in Modern Syria menyebut Hawwa bukanlah pengikut setia pemikiran Quthb, karena ia menolak banyak ide-ide Quthb meskipun pada satu-dua aspek keduanya serupa. Weismann menambahkan, “seluruh kegiatan politik Hawwa di Suriah bertujuan untuk mengekang pengaruh Mawan hadid, orang yang telah membawa pemikiran Quthb ke Suriah.”
Sedangkan Michael Cook menyebutkan dalam The Koran: A Very Short Introduction, Sa’id Hawwa sebenarnya tidak sepenuhnya sama dengan Quthb. Di sana ia menyoroti perbedaan keduanya, terutama pandangan tafsir. Cook menyimpulkan bahwa Hawwa mengambil posisi yang lebih tradisonalis atau literalis dan tidak lebih moderat daripada Quthb. Selain itu, ia juga melemparkan beberapa kritik terhadap penafsiran Hawwa yang dianggapnya radikal.
Sekilas Tentang Kitab Al-Asas Fi Al-Tafsir
Kitab tafsir Sa’id Hawwa berjudul al-Asas fi al-Tafsir. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka maknanya adalah dasar dalam penafsiran. Dinamakan demikian, karena kitab ini sangat memperhatikan hal-hal mendasar dalam penafsiran Al-Qur’an seperti hubungan antar ayat yang memiliki kesesuaian atau biasa disebut munasabah.
Kitab al-Asas fi al-Tafsir ditulis Sa’ide Hawwa ketika berada dalam penjara Mezzeh. Damaskus, setelah menentang pemerintahan keluarga Asad di Suriah. Kitab ini ditulis dengan beberapa tujuan, yakni: Sa’id Hawwa ingin mengembangkan lebih luas konsep munasabah; anti-tesis terhadap pemahaman baru terhadap teks Al-Qur’an; melawan syubhat dan pertentangan terhadap Al-Qur’an; dan ingin mendekatkan muslim kembali dengan Al-Qur’an.
Kitab al-Asas fi al-Tafsir merupakan karya monumental Sa’id Hawwa yang terdiri dari sebelas jilid tebal. Hal ini mencerminkan komitmennya yang bertujuan untuk mengali hubungan ayat dan surah Al-Qur’an. Bahkan dalam pengantarnya, Hawwa menulis satu sub-bab khusus berjudul al-Wahdah al-Qur’aniyyah yang berisi tentang prinsip kesatuan ayat dan surah Al-Qur’an.
Secara umum, kitab al-Asas fi al-Tafsir memiliki empat tujuan esensial sebagaimana disampaikan Sa’id Hawwa dalam mukadimah-nya, yaitu: menjelaskan aspek akidah atau (ushuluddin), fikih, ruhiyyah dan sulukiyyah. Dua aspek terakhir merupakan pemaparan tentang kajian tasawuf dan perilaku sufi dalam menempuh jalan tasawuf. Maka tak heran, tafsir ini sangat bernuansa sufistik.
Sama seperti kitab tafsir yang tebal pada umumnya, kitab Kitab al-Asas fi al-Tafsir menggunakan metode tahlili dan berdasarkan tartib mushafi. Namun dengan catatan, metode tahlili-nya tersebut berorientasi pada kesatuan ayat dan surah Al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika hendak menafsirkan sebuah surah, Hawaa selalu memberikan pendahuluan yang berisi tentang munasabah surah tersebut dengan surah lainnya.
Secara spesifik, metode penafsiran Sa’ide Hawwa dapat dapat diringkas dalam empat langkah, yakni: pertama, menampilkan beberapa ayat sesuai kelompok munasabah-nya. Ayat-ayat Surah panjang biasanya tergabung pada satu maqta dengan beberapa faqrah. Sedangkan ayat-ayat surah pendek – biasanya surah madaniyah) hanya terbagi kepada satu maqta atau faqrah saja.
Ketika menafsirkan surah Al-Qur’an, Sa’ide Hawwa biasanya terlebih dahulu menjelaskan profil surah tersebut, mulai dari nama surah, tema surah, klasifikasi surah, hubungan dengan surah lain atau kandungan surah secara global. Selain itu, Hawwa biasanya juga menjelaskan riwayat-riwayat yang menerangkan tentang asbab al-nuzul surah.
Kedua, menafsirkan ayat. Pada tahap ini, Sa’id Hawwa menjelaskan makna setiap ayat yang sudah dikelompokkan secara harfiah dan global berdasarkan teks ayat, tinjauan kebahasaan dan uslub. Dalam hal ini Hawwa sering menggunakan rujukan kitab tafsir seperti al-nasafi, Ibnu Katsir, Sayyid Quthb dan al-Alusi. Bisa dikatakan bahwa penafsiran Hawwa tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek seperti Tafsir Jalalain.
Baca Juga: Mohamed Talbi: Penggagas Hermeneutika Historis Humanistik
Ketiga, menjelaskan hubungan susunan ayat (Munasabah). Pada tahap ini, Sa’id Hawwa melakukan kajian terhadap struktur ayat dalam surah. Ia biasanya akan menerangkan tentang hubungan antar faqrah atau maqta dan ayat-ayat lain yang berkaitan. Uraian tentang ini dikemukakan dengan istilah fi al-siyaq. Bisa dikatakan bahwa tahap inilah yang menjadi sumbangsih utama Hawwa.
Keempat, menjelaskan hikmah ayat. Bagian ini dikenal dengan istilah fawaid. Poin ini merupakan upaya penafsiran yang lebih luas dan komprehensif Sa’id Hawwa sebagai seorang mufasir sekaligus sufi berdasarkan konteks ayat. Namun, terkadang pada bagian ini juga terdapat poin tambahan dari penjelasan Hawwa sebelumnya seperti aspek munasabah dan asbab al-nuzul.
Terlepas dari latar belakang dan orientasi keilmuan Sa’ide Hawwa yang dianggap radikal dan konservatif, pemikiran-pemikirannya telah memberi banyak sumbangsih dalam kajian keislaman, terutama di bidang tafsir tentang kesatuan Al-Qur’an dan bidang tasawuf berkenaan tazkiyat al-nafs. Tokoh berpengaruh ini wafat pada tahun 1980 di Amman akibat komplikasi penyakit. Wallahu a’lam.