BerandaTafsir TematikSalah Paham tentang Khayr Ummah, Awal Lahirnya Sikap Superioritas

Salah Paham tentang Khayr Ummah, Awal Lahirnya Sikap Superioritas

Al-Quran memberikan gelar “khayr ummah” (umat terbaik) kepada umat muslim. Ini terekam dalam Al-Quran Surat Ali ‘Imran [3]: 110

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Teks ayat tersebut secara jelas menyebut umat muslim sebagai “khayr ummah” (umat terbaik). Artinya, secara tekstual umat-umat lain di luar umat Islam bukanlah umat terbaik. Ketika hal tersebut dipahami dengan tepat, tentunya tidak akan menimbulkan polemik, karena menyugesti umat muslim untuk berbuat baik demi kebaikan semua manusia.

Sayangnya, dalam sebagian mindset umat muslim hal tersebut secara tidak langsung melegalisasi superioritas atas umat lain, dan bahkan melegalisasi kekerasan terhadap non-muslim.

Dalam kajian psikologi, superioritas adalah sebuah sikap yang mendaku diri sebagai sosok yang lebih baik dari orang lain terkait hal-hal penting. Perasaan ini mendorong seseorang untuk bersikap narsis dan meremehkan orang lain karena merasa spesial. Ini bisa terjadi di level individu maupun kelompok.

Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan

Gelar khayr ummah yang diberikan Alquran dalam kacamata psikologi, dapat dipadankan dengan dukungan dari pihak lain yang berpengaruh dalam mengembangkan penilaian positif seseorang pada dirinya (self esteem) yang selanjutnya dapat menumbuhkan kepercayaan diri (self confident).. Kepercayaan diri adalah kondisi psikologis yang membantu manusia untuk survive. Meski tidak sepenuhnya dapat menyelamatkan seseorang, tapi kepercayaan diri adalah payung yang membantu seseorang untuk bertahan di tengah hujan deras.

Demikian juga dukungan psikologis yang diberikan al-Qur’an kepada umat muslim dalam bentuk pernyataan “khayr ummah” adalah nilai yang dapat digunakan untuk menumbuhkan estimasi baik pada diri kelompok muslim. Tumbuhnya estimasi baik tersebut penting untuk memunculkan kepercayaan diri untuk menjaga dan menjalankan agama “baru” di tengah masyarakat Arab saat itu. Kepercayaan diri bukanlah kejiwaan “bawaan” manusia.

Dalam “dosis tepat” kepercayaan diri berguna bagi manusia dan kemanusiaan, namun kepercayaan diri yang berlebihan dapat berubah menjadi narsisme. Sebuah penyimpangan psikologis dalam diri seseorang yang menimbulkan superioritas. Dalam interaksi sesama manusia, superioritas tidak jarang bermuara pada dehumanisasi orang ataupun kelompok lain.

Superioritas kerap ditemukan dalam pemikiran kelompok (groupthink). Sayangnya, groupthink  seringkali menarik  sebuah  kelompok  kepada bahaya. Di antara bahaya yang ditimbulkan adalah hilangnya sikap kritis atau menurunnya kemampuan individu dalam grup dalam memberikan penilaian realistis yang mendasari pemilihan reaksi yang dibutuhkan ketika berinteraksi dengan grup lain.

Dalam proses pemaknaan ayat “khayr ummah”, groupthink (dengan narsisme berlebihan) akan melemahkan kemampuan untuk melihat realitas keseharian yang heterogen dan tidak selalu tunggal. Fakta bahwa setiap manusia diciptakan secara unik dan berbeda menuntut kita untuk memposisikan groupthink sebagai hal yang patut diwaspadai.

Dalam konteks beragama dan berkeyakinan di Indonesia, umat muslim bukanlah satu-satunya kelompok yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal tersebut meniscayakan keberadaan kelompok-kelompok lain yang memeluk agama dan kepercayaan berbeda. Perbedaan antara kelompok agama tidak dapat dibenarkan sebagai alasan untuk menganggap kelompok lain sebagai bukan manusia (inhuman), atau berkurang identitas kemanusiaannya serta lebih mirip binatang (less human and more animal-like).

Tidak dapat dipungkiri bahwa di antara ayat Alquran, terdapat bagian yang menyebut kalangan non-muslim sebagai manusia yang serupa dengan binatang ternak bahkan mereka lebih sesat, sebagaimana tertulis dalam QS. al-Furqān [25]: 44. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa konteks ayat tersebut bukan lantaran semata- mata perbedaan agama dan keyakinan, akan tetapi karena keengganan kelompok tersebut untuk mengaktivasi akal guna mencerna informasi yang didapatkan.

Hal itu dapat dicermati pada konteks ayat yang dapat dipahami dari keberadaan kata “yasma‘ūn” (mendengar [informasi]) dan “ya‘qilūn” (menggunakan akal untuk berpikir). Siapapun yang tidak menganalisis informasi dengan menggunakan akal sehatnya, dapat disamakan dengan binatang ternak.

Muslim atau non-muslim memiliki hak yang sama untuk bebas menentukan hidup dan keyakinannya. Memaksa seluruh non-muslim menjadi sama dengan umat muslim dalam berkeyakinan dan beragama menjadi hal yang tidak bisa dibenarkan. Hal yang sama juga tidak dapat ditolerir ketika ada non-muslim yang menekan seorang muslim untuk meninggalkan ajaran-ajaran khusus agamanya.

Ajaran Alquran secara eksplisit tidak membenarkan seorang muslim untuk memaksakan agama dan keyakinannya kepada orang lain. Lā ikrāh fī ad-dīn yang disebutkan dalam al-Qur’an memiliki makna luas dan mendalam terkait hal itu. Kebenaran tidak perlu memaksakan dirinya kepada yang lain, karena kebenaran akan tetap tegak tanpa mengharuskan seseorang untuk membuatnya tegak.

Baca Juga: Baca Ayat Ini untuk Menghilangkan Rasa Takut dan Menjaga Kesehatan Mental

Pada tahap selanjutnya, superioritas yang muncul akibat kesalahpahaman terhadap QS. Ali Imran [3]: 110 dapat berpotensi untuk memunculkan perasaan ketidakadilan (injustice). Albert Ellis menegaskan bahwa tuntutan berlebihan (demandingness) atau harapan absolut tentang sesuatu dalam banyak kasus mengakibatkan munculnya irrational belief (keyakinan yang tidak rasional).

Dalam praktiknya, tuntutan berlebih yang telah disebutkan sebelumnya dapat memunculkan tiga hal lain yang juga menjadi pencetus irrational belief. Ketiga hal tersebut adalah menganggap sesuatu sebagai bencana mengerikan (awfulizing), rasa frustasi yang tidak dapat ditolerir (frustration intolerance), dan menyimpulkan evaluasi global yang mengacu pada merendahkan diri sendiri (global evaluation and self downing).

Ketiga faktor penyebab tersebut akan menjadikan seseorang atau sebuah kelompok sulit membayangkan atau mengkonstruk dalam alam ide tentang rasa aman di masa depan. Dirinya akan selalu merasa terancam, sehingga mengusahakan segala sesuatu untuk “melindungi diri” secara irrational. Perasaan tidak aman yang berlebihan secara sadar atau tidak dapat mendorong sebuah kelompok pada vulnerability (kerentanan).

Kerentanan mewakili keyakinan individu atau kelompok bahwa dirinya terus-menerus menjadi objek pihak lain, sehingga hidup dengan cara yang sulit. Dunia yang mereka hadapi adalah dunia yang kejam dan secara terus-menerus menjadikan mereka sebagai korban.

Efek buruk dari perasaan tersebut adalah munculnya keinginan untuk “membersihkan” kelompok lain yang diduga sebagai dalang dari setiap kemalangan yang terjadi. Kecurigaan berlebihan dan tidak rasional tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk ketidakpercayaan (distrust) yang merupakan salah satu kelainan dalam kejiwaan manusia.

Analisis di atas menunjukkan bahwa pembacaan atas khayr ummah tidak cukup jika hanya berpegang pada pemahaman redaksional, karena akan melahirkan sikap sombong dan superior sebagai kelompok mayoritas.

Hal ini tentu akan berimbas pada pemahaman diksi selanjutnya, yaitu ta’murun bi al-ma’ruf wa tanhawn ‘an al-munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran). Salah paham terhadap status khayr ummah kemungkinan besar salah paham pula mempraktikkan amr ma’ruf nahy munkar. Mari kita intropeksi!

Wallahu A’lam

Ulya Fikriyati
Ulya Fikriyati
Doktor bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep Madura
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...