Salat merupakan salah satu kewajiban utama dalam Islam. Al-Quran berkali-kali menyebut salat dalam ragam konteks dan nilai. Di antara sekian penyebutan itu, yang menarik untuk diulas adalah penyebutan salat dalam kaitannya dengan amar makruf nahi mungkar. Paling tidak ada dua ayat yang berbicara mengenai salat dalam konteks ini, yaitu QS. Al-Ankabut [29]: 45, dan QS. Luqman [31]: 17.
… وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَر
“. .… dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar..…. “ (QS. Al-Ankabut: 45)
… اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
“… Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS. Luqman: 17)
Baca Juga: Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi
Tafsir Al-Ankabut ayat 45: Salat adalah ‘benteng pertahanan’
Al-Khazin, dalam tafsirnya yang berjudul Lubabut Ta’wil, mengutip riwayat pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud ketika menafsiri ayat 45 surah Al-Ankabut di atas. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa, siapa saja yang salatnya tidak membuatnya mampu menjauhi perbuatan keji dan mungkar, maka salat itu hanya akan membuatnya semakin jauh dari Allah. Mufasir generasi tabi’in, Qatadah, meriwayatkan pernyataan gurunya, Al-Hasan, mufasir generasi tabi’in lain, juga menyebutkan penjelasan bahwa salat yang tidak mampu membuat pelakunya menjauhi perbuatan keji dan mungkar, adalah suatu musibah.
Sementara itu, Fakhruddin Ar-Razi, dalam karya tafsirnya yang masyhur, Mafatih al-Ghayb, memberikan penjelasan tambahan, bahwa salat yang mampu mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar adalah salat yang dilakukan dengan khusyuk. Pendeknya, orang yang salat, namun ia masih saja melakukan perbuatan keji dan mungkar, berarti salatnya belum khusyuk.
Sebagian mufasir lain memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Bahwa jika seseorang menjaga salatnya, maka salat itu akan membuatnya meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun panjang, sekarang ataupun nanti.
Dalam ungkapan yang lebih afirmatif, bahwa jika orang senantiasa menjaga salatnya, suatu saat pasti ia akan sadar dan menginggalkan kebiasaan buruknya. Penjelasan ini berdasarkan pada salah satu riwayat hadis yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa ada seorang pemuda dari kalangan sahabat Anshar, yang rajin mengikuti salat berjamaah bersama Rasulullah saw., tapi ia masih saja gemar melakukan perbuatan keji (al-fakhsyaa’). Perilaku pemuda itu, oleh para sahabat, kemudian disampaikan kepada Rasululllah saw. Rasul kemudian bersabda, “sungguh, salatnya akan segera membuatnya berhenti dari perbuatan buruknya.” Tak berselang lama pemuda itu bertaubat dan menjadi seorang yang baik dan saleh. Riwayat ini banyak dikutip oleh para mufasir, di antaranya Ar-Razi, Al-Khazin, As-Syarbini, dan lain-lain.
Cukup menarik apa yang dijelaskan dalam riwayat di atas, bahwa salat adalah semacam “benteng pertahanan” teologis terakhir bagi seorang mukmin. Walaupun misalnya, ada seseroang yang masih saja melakukan maksiat, padahal ia rajin salat, kita tidak bisa begitu saja memandangnya secara negative, karena sebagaimana sabda Nabi di atas, selama seseorang masih menjaga salatnya, pasti suatu saat ia kan sadar dan bertaubat.
Sampai di sini semakin jelas bahwa salat adalah salah satu kewajiban agama yang paling penting. Tak heran bila dalam salah satu riwayat hadis bersumber dari sahabat Umar bin Al-Khaththab, disebutkan bahwa, “Salat adalah tiang penyangga agama.” Seseorang yang mendirikannya, berarti ia mendirikan agama dengan kokoh. Sebaliknya, meninggalkan salat akan membuat tiang agama roboh, atau bahkan merobohkan agama itu sendiri.
Baca Juga: Makna Fahsya’ dan Munkar dalam Al-Qur’an, Mirip Namun Tak Sama
Tafsir Luqman Ayat 17: rangkaian dari salat, amar makruf nahi mungkar dan sabar
Jika ayat 45 surah Al-Ankabut berbicara tentang salat dalam kaitannya dengan berhenti berbuat keji dan mungkar, maka dalam surah Luqman ayat 17, salat dibicarakan dalam kaitannya dengan ragam aspek, yaitu amar makruf nahi mungkar dan sabar terhadap apa yang menimpa pada diri manusia.
Terkait ayat ini, Al-Imam As-Syarbini dalam tafsir As-Siraaj Al-Muniir, memberikan ulasan yang sangat menarik. Secara paradigmatik, ayat ini diawali dengan perintah salat, lalu perintah amar makruf nahi mungkar, dan ditutup dengan anjuran bersabar. Bahwa, perintah salat dalam ayat ini, secara esensi, maqasidi, dan isyari, adalah perintah kepada diri sendiri agar senantiasa berbuat baik (makruf), serta meninggalkan perbuatan keji (fakhsya’) dan mungkar.
Pemaknaan ini sesuai dengan kandungan ayat 45 surah Al-Ankabut yang telah diulas sebelumnya. Sedangkan perintah amar makruf nahi mungkar dalam rangkaian kalimat berikutnya mengindikasikan bahwa itu ditujukan untuk orang lain. Jadi, sebelum amar makruf nahi mungkar kepada orang lain, idealnya adalah amar makruf nahi mungkar kepada diri sendiri, yang dalam ayat ini diungkapkan dengan salat.
Rangkaian kalimat berikutnya, dan menjadi penutup ayat, yang berisi anjuran bersabar, memberikan makna paradigmaatik, bahwa dalam “amar makruf nahi mungkar”, baik pada diri sendiri (salat), maupun pada “liyan”, selalu saja ada halangan, rintangan, dan ujian, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan “maa ashaabaka”.
Dalam konteks inilah perintah sabar dalam ayat tersebut menemukan relevansinya, bahwa dalam amar makruf nahi mungkar harus berbarengan dengan sabar. Bahkan sabar dalam menyikapi segala hal yang menimpa diri manusia adalah salah satu aspek yang paling penting dalam beragama. Al-Qur’an mengungkapkan dengan kalimat, “inna zaalika min ‘azmil umuur” (sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting) di penghujung ayat.
Poin yang perlu digaris bawahi adalah bahwa, yang lebih penting dari semua itu, dan bahkan menjadi kunci keberhasilannya adalah sabar itu sendiri. Salat, sebagai bentuk jihadun nafs, atau memerangi hawa nafsu sendiri agar mau menjauhi perbuatan keji dan mungkar, idealnya harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran, karena mustahil orang bisa khusyuk dalam salat, sementara ia terburu-buru dan tidak sabar dalam salatnya.
Begitu juga dengan jihad dakwah amar makruf nahi mungkar, harus dibarengi dengan sabar, sehingga yang muncul nantinya adalah dakwah bil hikmah wal mau’idhatil hasanah. Jika ini yang dipraktikkan, tentu tidak akan ditemukan dakwah-dakwah yang cenderung kaku, keras, memaksa, arogan, dan penuh dengan amarah. Mengutip istilah cukup masyhur yang pernah dilontarkan Gusdur, “dakwah itu yang ramah, bukan yang marah.”
Penulis tafsir As-Siraaj Al-Muniir memberikan penekanan dalam penjelasannya, bahwa meskipun ayat ini secara tekstual adalah ucapan nasehat Luqman kepada anaknya, tapi secara kontekstual, nasehat ini sangat relevan untuk kita semua, umat Islam saat ini. Wallahu a’lam