Sayyid Ibrahim Husain Syadzili Qutb atau lebih dikenal Sayyid Qutb adalah seorang intelektual, penulis, pendidik, penyair, teolog, dan revolusioner asal Mesir. Ia juga dikenal sebagai tokoh terkemuka Ikhawanul Muslimin pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Karena pengaruhnya tersebut, ia dianggap sebagai “The Father of Salafi Jihadism” atau Bapak jihadisme Salafi.
Ia dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 di desa bernama Mausyah, salah satu desa di wilayah Provinsi Asyuth, di dataran tinggi Mesir. Ayahnya, al-Hajj Qutb Ibrahim dikenal sebagai pemuka desa dan politikus yang bergabung dalam Partai Nasionalis (al-Hizb al-Wathani) yang dideklarasikan oleh Musthafa Kamil (Sayyid Qutb al-Adib al-Naqid wa Da’iyah al-Mujahid wa al-Mufakkir al-Mufassir).
Qutb merupakan anak ke lima dari enam bersaudara. Anak pertama bernama Nafisah. Anak kedua dan ketiga meninggal ketika usia batita. Anak keempat bernama Aminah, seorang sastrawan yang pernah menulis buku berjudul Fi tayyar al-Hayan (Dalam Arus Kehidupan). Anak keenam bernama Muhammad, seorang sarjana sastra di Universitas Kairo yang pernah menulis buku Jahiliyah al-Qarn al-‘Isyrin atau Jahiliah Masa Kini.
Sama seperti anak-anak Mesir pada umumnya, pendidikan awal Qutb adalah membaca dan menghafal Al-Qur’an. Pada umur 10 tahun, ia sudah mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an. Pada saat yang bersamaan ia juga belajar di sekolah agama (Kuttab) di desanya. Lalu karena alasan tertentu, Sayyid Qutb pindah ke sekolah pemerintah dan lulus pada tahun 1918.
Baca Juga: Biografi Mahmud Syaltut: Tokoh Perintis Penerapan Tafsir Tematis
Hal yang cukup menarik dari masa muda Sayyid Qutb adalah ia diduga banyak berinteraksi dengan karya-karya sastra, baik dari timur maupun barat, termasuk cerita Sherlock Holmes dan Seribu Satu Malam. Di samping itu, ia juga banyak membaca buku-buku tentang astrologi dan mistik yang digunakan untuk melakukan rukyah (Sayyid Qutb and the Origins of Radical Islamism).
Menurut Saleh Khalidy dalam bukunya, Sayyid Qutb: From Birth to Martydom, Qutb muda adalah sosok yang sangat kritis terhadap lembaga-lembaga keagamaan Mesir yang digunakan sebagai alat propaganda untuk membentuk opini dan pemikiran publik. Ia juga mengkritik sekolah-sekolah agama yang hanya mengkaji persoalan agama dan tidak mengajarkan ilmu-ilmu umum.
Setelah Revolusi Rakyat Mesir melawan Pemerintahan Inggris terjadi pada tahun 1918, Sayyid Qutb berangkat menuju Kairo untuk melanjutkan studinya di Al-Hulwan (di pinggiran kota Kairo). Di sana ia tinggal bersama paman dari pihak ibunya, yakni Ahmad Husain Utsman, seorang wartawan, selama kurang lebih 4 tahun, tepatnya dari tahun 1921 hingga 1925.
Melalui pamannya tersebut, Sayyid Qutb berkenalan dengan seorang sastrawan terkemuka yang bernama Abbas Mahmud Aqqad. Sosok inilah yang kemudian hari mempengaruhi pemikirannya tentang sastra, kritik, dan politik. Melalui Aqqad pula Sayyid Qutb berkenalan dengan partai Wafd, sebuah partai berideologi sekuler, sekaligus menjadi seorang aktivis (Ensiklopedia Islam).
Pada tahun 1929, Sayyid Qutb mengikuti kuliah di Kulliyat Dar al-Ulum yang didirikan pada tahun 1872 sebagai representasi Universitas Mesir Modern ala Barat. Sayyid Qutb menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1933 dan mendapatkan gelar Sarjana Muda (LC) dalam bidang sastra serta diploma dalam bidang pendidikan. Sebagai pengakuan atas prestasinya, Qutb lalu ditunjuk sebagai dosen di almamaternya.
Selama awal kariernya, Sayyid Qutb mengabdikan diri untuk sastra sebagai penulis dan kritikus. Ia menulis novel Ashwak (Duri) dan membantu mengangkat karier novelis Mesir Naguib Mahfouz. Dia menulis artikel pertamanya di majalah sastra al-Balagh pada tahun 1922, dan buku pertamanya, Muhimmat al-Sya’ir fi al-Haya wa Syi’r al-Jil al-Hadir, pada tahun 1932, ketika berusia 25 tahun, tepatnya pada tahun terakhirnya di Dar al-Ulum.
Menurut John Calvert, sebagai kritikus sastra, Sayyid Qutb secara khusus dipengaruhi oleh ‘Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 1078), salah satu dari sedikit filolog abad pertengahan yang berkonsentrasi pada makna dan nilai estetika dengan mengorbankan bentuk dan retorika (Lihat Sayyid Qutb and the Origins of Radical Islamism).
Pada tahun 1933, Sayyid Qutb bekerja di Departemen Pendidikan dengan tugas sebagai pengajar di sekolah-sekolah Departemen Pendidikan selama enam tahun, mulai dari Suwaif, Dimyat, Kairo, hingga Madrasah Ibtidaiyyah Halwan. Ia kemudian dipindah tugaskan ke Lembaga Pengawasan Pendidikan umum di bawah Departemen Pendidikan sebagai penilik dan bekerja di sana kurang lebih selama 8 tahun.
Kemudian pada tahun 1948 hingga 1950, Sayyid Qutb pergi ke Amerika Serikat dengan beasiswa untuk mempelajari sistem pendidikannya, menghabiskan beberapa bulan di Colorado State College of Education (sekarang University of Northern Colorado) di Greeley, Colorado. Karya teoretis besar pertama Qutb yang berisi kritik sosial keagamaan, al-‘Adala al-Ijtima’iyyat fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), diterbitkan pada tahun 1949, selama ia berada di Barat.
Meskipun Sayyid Qutb mengakui kemajuan barat dalam berbagai bidang termasuk ekonomi dan ilmu pengetahuan, namun ia tidak menyukai sebagian perilaku buruk yang membudaya di sana seperti rasisme, kebebasan seksual, dan pro zionisme. Karena alasan inilah, ketika kembali ke Mesir, ia menerbitkan sebuah karya berjudul “The America that I Have Seen.” Di sana ia melemparkan kritik terhadap budaya barat, khususnya Amerika.
Pada saat yang sama, ia juga mengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaannya di Lembaga Pengawasan Pendidikan dan menolak promosi menjadi penasihat Kementerian Pendidikan. Ia kemudian mencurahkan seluruh waktunya untuk berdakwah tentang ajaran Islam dan rajin menulis artikel di berbagai surat kabar dengan tema sosial-politik. Pada saat ini pula ia bergabung menjadi angota Ikhawanul Muslimin.
Menurut Syahrough Akhavi dalam tulisannya, “Sayyid Qutb”, pengaruh Sayyid Qutb teramat besar, bahkan melebihi kemasyhuran sang pendiri Ikhawanul Muslimin, yakni Hasan al-Bann’ (w. 1949). Ketenarannya sebagai pemikir dan aktivis Islam bisa disejajarkan dengan Badiuzzaman Said Nursi di Turki (w. 1960), Abu al-A’la Mawdudi di Pakistan (w. 1979), Ali Syari’ati (w. 1977) dan Ayatullah Ruhullah al-Musavi Khomeini (w. 1989) di Iran.
Akhir kehidupan Sayyid Qutb sangat tragis. Pada tahun 1945 hingga 1955, ia dipenjara karena telah dianggap melakukan percobaan pembunuhan terhadap Gamal Abdul Nassir, pemimpin Mesir pasca imperialis Inggir sekaligus mantan kolega aktivis Qutb. Kemudian pada tahun 1966, Sayyid Qutb dihukum mati dengan cara digantung setelah dituduh berencana menggulingkan pemerintahan.
Sekilas Tentang Kitab Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an
Selama hidupnya, Sayyid Qutb dikenal sebagai sosok pemikir yang produktif. Badmas ‘Lanre Yusuf mencatat dalam bukunya, Sayyid Quṭb: A Study of His Tafsīr, Sayyid Qutb setidaknya telah menulis 24 buku dengan 30 buku tidak diterbitkan karena berbagai alasan, terutama dihancurkan negara, dan kurang lebih 581 artikel, termasuk novel, kritik sastra dan karya tentang pendidikan.
Di antara karya Sayyid Qutb adalah Muhimmatus Sya’ir fi al-Hayah wa Syi’ir al-Jail al-Hadhir, al-Syathi’al Majhul, Naqd Kitab Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr li al-Duktur Thaha Husain, al-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an, al-Athyaf al-Arba’ah, Thifl min al-Qaryah, al-Madinah al-Manshurah, Masyahid al-Qiyamah Fi al-Qur’an, al-Qashash al-Diniy, dan Fi Zilal al-Qur’an.
Dari sekian banyak karyanya tersebut, yang paling terkenal dan merupakan magnum opusnya adalah Fi Zilal al-Qur’an (Dalam Naungan Al-Qur’an). Menurut beberapa catatan – sebagaimana diterangkan Berman dalam Terror and Liberalism – tafsir ini diselsaikan saat ia berada di penjara. Pada waktu itu ia Qutb memiliki banyak waktu luang sehingga dapat menghasilkan beberapa karya, termasuk Fi Zilal al-Qur’an dan Ma’alim fi-l-Tariq.
Terlepas dari pandangan bahwa Fi Zilal al-Qur’an mengandung ideologi Islamisme, tafsir ini – jika kita lihat secara mendalam – sebenarnya merupakan kelanjutan karya-karya Qutb sebelumnya, yakni al-Taswir al-Fanni dan Masyahid al-Qiyamah, untuk mengungkapkan sisi artistik Al-Qur’an. Bahkan ia memperkenalkan sebuah konsep sastra baru, yakni kesatuan surah Al-Qur’an secara keseluruhan.
Baca Juga: Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Mahfudz At Tarmasi
Penekanan pada konsep kesatuan surah Al-Qur’an, membawa Sayyid Qutb kepada penafsiran qur’an bi al-qur’an. Maka tak heran, sumber penafsirannya banyak merujuk kepada Al-Qur’an. Ia juga sering mengutip hadis-hadis nabi Muhammad saw sebagai argumentasi. Hanya saja, ia jarang menyebutkan sanad hadis yang dikutipnya.
Metode penafsiran yang digunakan Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur’an adalah metode tahlili. Salah satunya cirinya adalah menafsirkan Al-Qur’an secara komprehensif dengan mengikuti tartib mushafi, mulai dari surah al-Fatihah hingga an-Nas, bukan berdasarkan pada tartib nuzuli. Sedangkan aspek yang paling ditekankan Qutb adalah munasabah antar ayat dan surah sebagai bagian kesatuan ayat Al-Qur’an.
Ada satu hal yang dapat diambil sebagai pembelajaran dari upaya Sayyid Qutb dalam menafsirkan Al-Qur’an, yakni ia mengutamakan pengungkapan makna dan hikmah ayat serta menyampingkan pembahasan yang dirasa tidak penting. Ia bahkan berkata pada mukadimahnya bahwa ia tidak ingin berkutat pada aspek non-esensial, karena takut itu membuat Al-Qur’an terhalang jiwanya dan jiwanya terhalang dari Al-Qur’an. Wallau a’lam.