Tafsir Ahkam: Apakah Semua Darah Haram Dikonsumsi? Ini Penjelasannya

Tafsir Ahkam: Apakah Semua Darah Haram Dikonsumsi? Ini Penjelasannya
Hukum mengonsumsi darah

Sebagai bagian dari tubuh hewan, darah kadang dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk dikonsumsi. Darah yang semula berbentuk cair dapat dipadatkan dengan cara dimasak, dan hasilnya konon terasa kenyal sebagaimana ati atau ampela ayam. Masyarakat menyebutnya sebagai dideh, atau saren, atau marus. Dan di sebagian tempat, makanan ini dijual bebas di pasar atau di warung-warung makan. Lalu bagaimana pandangan Al-Qur’an mengenai hukum mengkonsumsi darah? Apabila haram, lalu bagaimana dengan darah yang kadang masih tersisa di daging yang sudah dibersihkan dan hendak dikonsumsi? Simak penjelasannya sebagai berikut:

Permasalahan Hukum Darah Di Dalam Al-Qur’an

Cukup banyak ayat yang mengulas tentang hukum darah. Di antaranya surah Al-Baqarah ayat 173 dan Surah Al-An’am ayat 145. Ayat-ayat ini menjelaskan tentang keharaman darah, namun dengan redaksi yang berbeda. Perbedaan redaksi inilah yang selanjutnya menimbulkan perbedaan antar ulama’. Secara umum, ulama’ sepakat bahwa darah hukumnya haram dan najis. Namun bagaimanakah kriteria darah yang diharamkan dan najis tersebut? Ulama’ berbeda pendapat (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/2/221).

Sebagian redaksi ayat menyatakan bahwa darah yang diharamkan adalah darah secara umum. Allah berfirman:

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ

Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah (QS. Al-Baqarah [2] :173).

Dalam redaksi lain dinyatakan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang “mengalir”. Allah berfirman:

قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا

Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai) atau darah yang mengalir (QS. Al-An’am [6] :145).

Ketika menafsirkan Surah Al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan keharaman darah secara umum, Ibn Katsir menjelaskan bahwa darah ini maksudnya adalah darah yang mengalir. Hal ini berdasarkan Surah Al-An’am ayat 145 di atas yang menyatakan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Sehingga ayat yang menyebutkan darah secara umum, dikhususkan atau dijelaskan kembali oleh ayat lain yang mengungkapkannya lebih rinci. Hasilnya adalah, darah yang diharamkan bukanlah darah secara mutlak, melainkan darah yang sifatnya mengalir (Tafsir Ibn Katsir/3/14).

Kesimpulan tersebut tidaklah disepakati oleh semua ulama’. Ar-Razi mengutip pernyataan As-Syafi’i bahwa darah yang diharamkan adalah adalah darah secara mutlak. Entah itu mengalir atau tidak mengalir. Ini berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.

As-Syafi’i memahami Surah Al-An’am ayat 145 yang menggunakan redaksi “darah yang mengalir”, bukanlah pen-takhsis atau penjelas ayat yang menggunakan redaksi darah secara umum. Surah Al-An’am ayat 145 hanya menyatakan bahwa Allah menjelaskan termasuk yang diharamkan adalah “darah yang mengalir”, tapi itu bukan berarti lantas yang “tidak mengalir” akhirnya tidak diharamkan. Sebab bisa jadi “darah yang tidak mengalir” keharamannya dijelaskan di tempat lain (Tafsir Mafatihul Ghaib/3/32).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memakan Janin yang Mati dalam Perut Hewan yang Disembelih

Kesimpulan Tentang Keharaman Darah

Perbedaan dalam memahami kriteria darah yang diharamkan berdasarkan tafsir di atas, berdampak pada hukum darah yang sifatnya tidak mengalir. Yakni sebagaimana darah ikan, kutu serta belalang. Mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa darah ikan hukumnya najis dan ini secara otomatis menunjukkan keharamannya. Pendapat ini juga didukung oleh Imam Malik serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Sedangkan Abu Hanifah memandang darah ikan hukumnya suci sebab tidak mengalir. Berbedaan pendapat ini juga terjadi pada darah kutu. Namun dalam persoalan najisnya darah kutu, Mazhab Syafiiyah menghukuminya sebagai najis ma’fu (najis namun dimaafkan).

Dari keterangan di atas menunjukkan, Mazhab Syafiiyyah memandang semua darah hukumnya najis. Maka dalam memasak ikan semisal, semua darahnya haruslah dibersihkan. Sedang untuk darah yang tertinggal di daging serta tulang yang sudah dicuci, hukumnya di-ma’fu (dimaafkan). Sehingga tidak berakibat najisnya daging. Hal ini disebabkan persoalan sisa darah ini adalah persoalan yang sulit dihindari (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/2/557). Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya