Peran verbal atau lisan dalam pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an merupakan hal yang sudah berlangsung sejak 14 abad silam. Membaca Al-Qur’an menjadi ritual ibadah yang khas dan jamak dilakukan umat Islam sehari-hari, baik itu sebagai ibadah tersendiri atau bagian dari ibadah lainnya. Misalnya ibadah salat fardhu yang dilakukan lima waktu dalam sehari, di mana dalam setiap rakaatnya diwajibkan membaca surah al-Fatihah.
Puncaknya, pembacaan Al-Qur’an dapat mudah terdengar secara bersahut-sahutan di malam-malam bulan Ramadhan setelah pelaksanaan salat tarawih. Tidak hanya itu, pada zaman sekarang ini pembacaan Al-Qur’an juga digunakan sebagai pembukaan acara-acara penting seperti pernikahan, khitanan, pemakaman, dan lain sebagainya.
Pembacaan Al-Qur’an di Masa Awal Islam
Pada dasarnya, tradisi kelisanan Al-Qur’an sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. saat menerima wahyu pertama kali di Gua Hira’ pada umur 40 tahun. Aisyah menceritakan, sebagaimana yang dikutip al-Tabari dalam tafsirnya bahwa saat Nabi ber-uzlah di Gua Hira’, tiba-tiba ia didatangi oleh malaikat Jibril yang membawa wahyu dari Tuhannya, dan menyuruhnya untuk menirukan apa yang diucapkan. Dilihat dari sejarah awal pewahyuan ini pun dapat diketahui, bahwa awal mula perkembangan Al-Qur’an berasal dari tradisi lisan.
Di saat yang sama, ketika wahyu turun kepada Nabi Muhammad dan kemudian ditugaskan oleh Sang Pemilik Wahyu untuk menyapaikannya, bangsa Arab saat itu sedang mentradisikan tradisi lisan yang berupa puisi dan sastra. Perkembangan tradisi tersebut begitu hebat, sehingga saat itu pula bangsa Arab yang tidak percaya dengan wahyu yang dibawa Nabi, menganggap bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang yang ahli puisi dan sya’ir. Dan apa yang disampaikannya tidaklah lebih seperti sya’ir ataupun pantun.
Tentang bagaimana tata cara membaca Al-Qur’an, dalam Al-Qur’an sendiri tidak detail dalam menjelaskan bagaimana tata cara membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an menjelaskan dalam surah al-Muzzammil ayat 4, agar membacanya dengan cara tartil, yang ditafsirkan Ibn Asyur dengan membaca Al-Qur’an dengan jelas, sesuai kadarnya, dan tidak tergesa-gesa.
Jika dalam Al-Qur’an hanya menjelaskan sedikit tentang bagaimana seharusnya ia dibaca, maka di dalam hadis, pembahasan tentang tata cara membaca Al-Qur’an cenderung lebih banyak ditemukan (terlepas dari adanya pro-kontra tentang kesahihan hadis tersebut).
Ketika Nabi Muhammad membaca Al-Qur’an dalam salat dan di luar salat, maka saat itulah para sahabat dapat mempelajari bacaan al-Qur’an Nabi. Dari proses tersebutlah akhirnya para sahabat meriwayatkan bacaan-bacaan Al-Qur’an kepada murid-muridnya kelak.
Baca juga: Inilah Keutamaan Membaca Al-Quran dengan Tartil
Ilmu Qiraat Al-Qur’an
Perkembangan riwayat pembacaan Al-Qur’an ini pada suatu masa mengalami perkembangan yang pesat dan luar biasa. Banyak ragam qiraat yang dijadikan sebagai landasan dalam membaca Al-Qur’an. Problem muncul ketika terdapat sebuah daerah yang tidak menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu, atau yang mempunyai aksen yang berbeda dengan bahasa Arab Quraisy.
Kemudian untuk mengoordinir ragam qiraat ini, dimunculkan disiplin ilmu qiraah yang menurut kitab al-Busyrâ fî Taisîr al-Qirâât al-‘Asyr al-Kubrâ dipelopori oleh Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Salâm (w. 224 H). Adapun menurut kitab al-Irsyâdât al-Jaliyyah fî al-Qirâât as-Sab’ min Tharîq asy-Syâthibiyyah, pelopor ilmu qirâât adalah Hafsh bin ‘Umar ad-Dûrî (w. 246 H).
Disiplin ilmu ini sangatlah kompleks, karena di dalamnya berbicara tentang tata cara membaca Al-Qur’an dengan berbagai versi. Hanya sebagaian kecil pembaca Al-Qur’an yang mengetahui ilmu tersebut. Dapat dikatakan mayoritas pembaca Al-Qur’an hari ini hanya menguasai satu varian bacaan saja, karena yang dianggap penting adalah bagaimana agar Al-Qur’an tersebut dapat dibaca dengan baik dan benar.
Baca juga: Mabadi’ Asyrah: Sepuluh Dasar Ilmu Qiraat yang Perlu Diketahui
Ilmu Nagham Al-Qur’an
Kajian lain yang dapat diperhatikan dalam tradisi kelisanan Al-Qur’an adalah tentang kajian pembacaan Al-Qur’an dengan irama. Sebelum mengkaji ilmu ini, pembaca harus paham mengenai tata cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar terlebihi dahulu. Dalam hal ini tajwid menjadi pondasi awal dalam membaca Al-Qur’an. Meskipun demikian, banyak orang yang sudah dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tetapi tidak tertarik pada ilmu seni membaca Al-Qur’an ini.
Memang untuk melagukan Al-Qur’an, si pembaca harus memiliki keahlian khusus. Adapun Pembacaan Al-Qur’an dengan nada ini tidak dianggap sebagai sebuah lagu atau musik, atau karya seni musik lainnya. Upaya ini hanya dimaksudkan sebagai persembahan yang istimewa yang ditujukan kepada Tuhan Pemilik Al-Qur’an.
Penutup
Berdasarkan uraian ringkas di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa tradisi kelisanan Al-Qur’an pada zaman generasi Islam awal terbilang sangatlah kuat. Oleh karena itu, masuk akal jika dalam menghapal Al-Qur’an misalnya, mereka lebih condong menggunakan metode interaksi dari mulut ke mulut secara langsung. Peran mushaf kemudian tidak terlalu signifikan. Ini bisa dilihat dari bagaimana atribut tulisan di mushaf-mushaf kuno sangat sederhana.
Berbeda dengan zaman modern saat ini, yang ketika seseorang ingin menghapalkan Al-Qur’an, lumrahnya berangkat dari tulisan atau teks. Pertanyaannya kemudian, apakah dinamika tradisi kelisanan Al-Qur’an ini menunjukkan kemunduran generasi umat Islam saat ini, atau justru sebuah kemajuan? Wallahu A’lam
Baca juga: Tafsir Ahkam: Apakah Boleh Membaca Al-Qur’an dengan Dilanggamkan Atau Dilagukan?