Puasa menjadi rukun Islam sejak dua tahun setelah Nabi SAW dan para pengikutnya hijrah ke Madinah. Seperti ritus ibadah lainnya, puasa disyariatkan pasca hijrah karena menunggu timing yang tepat bagi pengikut Nabi SAW untuk melaksanakannya, yaitu setelah mereka mantap meyakini keesaan Allah SWT dan kerasulan Nabi SAW. Tetapi, belum banyak yang tahu sejarah puasa dan rahasia dipilihnya Bulan Ramadhan sebagai waktu menunaikannya.
Suatu ritus kuno
Sejaran puasa tidak bermuasal dari Islam, puasa merupakan ritus kuno bagi beragam agama jauh sebelum Islam datang. Diceritakan oleh Louis Ma’luf dalam Kamus al-Munjid, Sejak abad 26 SM, bangsa Mesir dan Phoenisa sudah berpuasa untuk menghormati Dewi Izis, penentu nasib jodoh manusia.
Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, juga menerangkan bahwa Umat Nasrani di masa silam telah berpuasa di bulan Ramadhan. Al-Bukhari dalam Shahihnya, juga mentakhrij hadis dari ‘Aisyah, tentang ibadah puasa kaum Jahiliyyah Arab di Hari ‘Asyura (10 Muharram).
Al-Jurjawi, dalam Hikmah Tasyri’, juga menerangkan bahwa Kaum Watsani (penyembah api dan berhala) berpuasa saat Tuhannya marah atau untuk meminta kerelaan Tuhan mereka atas pengharapan-pengharapan yang mereka langitkan.
Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183
Dalam tradisi Agama Yahudi, ‘Asyura juga diagungkan dan penganutnya puasa di hari itu. Di Hari ‘Asyura, bahtera Nabi nuh berlabuh di lembah Judiy dan Nabi Musa serta Bani Israel selamat dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Puasa dijadikannya ritus untuk memperingati momen penting itu.
Islam pun juga mensyariatkan puasa hari Asyura’ sebagai ibadah sunnah, dan bahkan wajib menurut Hanafiyyah. Hingga, pada tahun 2 Hijriah pada bulan Sya’ban, turunlah perintah wajib berpuasa Ramadhan bagi umat Islam.
Berbeda dengan tujuan dan motivasi puasa dengan umat sebelumnya, Islam mensyariatkan puasa atas dasar ibadah dan bertujuan untuk menjadi hamba yang bertakwa. Seperti firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 185:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tujuan puasa ialah membentuk ketakwaan dalam diri seorang muslim. Nabi SAW juga bersabda bahwa barangsiapa berpuasa di Bulan Ramadhan didasari oleh keimanan dan harapan mendapat pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni. Berikut ini sabda Nabi yang ditakhrij oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.
Baca Juga: Ini Golongan Orang yang Mendapat Rukhsah Tidak Puasa
Rahasia dipilihnya Ramadhan
Selain sejarah puasa, dipilihnya bulan Ramadhan sebagai waktu untuk berpuasa ternyata menyimpan rahasia. Menurut al-Dahlawi dalam Hujjah Allah al-Balighah, ada kriteria yang telah terpenuhi oleh Ramadhan, sehingga bulan ini dipilih menjadi momen umat Islam berpuasa. Yakni, karena di bulan ini, turun Alquran, dasar agama Islam sekaligus mukjizat paling agung.
Statemen al-Dahlawi juga telah dijelaskan lebih lanjut oleh Al-Razi saat menafsir Q.S. al-Baqarah [2]: 185, bahwa ayat tersebut memuat ‘illat (alasan) mengapa perintah puasa jatuh pada bulan Ramadhan. ‘illat itu tak lain karena di bulan Ramadhan turun tanda ketuhanan (ayat rububiyyah) yang paling agung, yaitu Alquran. Oleh sebab itu, lanjut al-Razi, seorang hamba harus mengabdikan dirinya dengan mengamalkan ritus ibadah sebagai simbol penghambaan kepada Rabbnya (ayat ‘ubudiyyah). Kemudian puasa dipilih sebagai ritus ibadah tersebut.
Setelah terang bahwa Ramadhan merupakan bulan yang agung dan puasa menjadi ritus yang harus dilakukan untuk mengapresiasinya, muncul pertanyaan, mengapa puasa lebih dipilih daripada salat? sebenarnya pertanyaan ini sudah dijawab ketika kita telah memahami paragraf sebelumnya, tepatnya tentang penurunan bukti ketuhanan dan tindakan yang seharusnya dilakukan seorang hamba untuk merespon bukti tersebut.
Secara fitrah seorang hamba, memberi respon saat Tuhan menurunkan bukti ketuhananNya adalah suatu hal yang lumrah. Contoh sederhana, saat seseorang menyadari dalam perenungannya tentang adanya alam raya, ia lalu meyakini wujudnya Sang Pencita.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Hanya Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui?
Tetapi, pada prinsipnya, Allah menunjukkan bukti ketuhanan yang paling agung berupa Alquran, tak lain agar kita mengimaniNya. Sementara, kita sebagai manusia yang secara manusiawi memiliki karakter egois, berkeluh kesah, dan ragam hawa nafsu lainnya pasti akan sulit menembus tabir yang menghalangi dari bukti ketuhanan tersebut. Sehingga, untuk menyingkap tabir itu, diperlukan ritus yang mampu menekan hawa nafsu.
Puasa, berdasarkan pengalaman para sufi terbukti ampuh untuk menyingkap tabir itu. Al-Razi menuturkan, puasa adalah sebab yang paling mujarab untuk menghilangkan egoisme manusia, sehingga patut dijadikan ritus ibadah di bulan Ramadhan. Keampuhan puasa sebagai penahan hawa nafsu dapat dicermati dari ketentuan puasa itu sendiri.
Puasa yang semakna dengan al-imsak (menahan) memiliki dua dimensi yang harus ditahan. Dimensi syar’i berupa menahan makan, minum, berhubungan suami-istri, dan dimensi akhlaki berupa egois, dengki, menggunjing, menfitnah, dan etika tercela lainnya.
Keefektifan puasa dalam menahan hawa nafsu juga disampaikan oleh Nabi. Menyitir dari al-Jurjawi, terdapat sabda Nabi:
من جاع بطنه عظمت فكرته وفطن قلبه
“Barangsiapa lapar, akan luas pikirannya dan peka hatinya.”
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah
Begitu pula, dalam secuplik nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya, juga disampaikan bahwa perut yang penuh mengakibatkan pikiran tertutup, hati bungkam, dan tubuh lumpuh untuk beribadah.
Hadis dan kalam hikmah tersebut melengkapi argumentasi di atas, bahwasanya puasa adalah media paling manjur untuk menahan hawa nafsu yang menjadi sebab utama seorang hamba terhalangi dari Tuhannya.
Dengan kita tahu rekam jejak sejarah puasa, pensyariatan puasa dalam lintas keyakinan dan rahasia Ramadhan sebagai waktu pelaksanaannya dalam Islam, semoga semakin memantapkan diri terhadap ajaran yang kita yakini, dan keikhlasan hati saat menunaikan ibadah puasa. Selamat Berpuasa!
Wallahu a’lam