BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Bolehkah Hanya Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui?

Tafsir Ahkam: Bolehkah Hanya Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui?

Menjelang Ramadhan, kajian seputar keringanan orang yang boleh tidak berpuasa menjadi marak Kembali. Di antara orang-orang yang mendapatkan keringanan tidak berpuasa Ramadhan adalah orang yang sakit, bepergian, orang tua, orang hamil dan menyusui. Yang boleh membayar fidyah saja tanpa qadha puasa adalah orang yang memiliki penyakit kronis dan susah diharapkan kesembuhannya. Sedangkan orang hamil dan menyusui seperti orang sakit yang masih ada harapan sembuh, ia akan berakhir jika masa hamil dan menyusui sudah lewat.

Menurut Imam as-Syafi’i dan Imam Ahmad, orang hamil dan menyusui masuk ke dalam ayat 184 surah Al-Baqarah,

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ

“Dan wajib bagi orang yang berat melaksanakannya, maka cukup membayar fidyah.”

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Seorang Ibu Menyusui Anaknya?

Termasuk di dalam ayat tersebut adalah orang tua dan setiap orang yang berat melaksanakan puasa maka wajib membayar fidyah sebagaimana ketentuan bagi orang yang sudah sangat tua.” Demikian penjelasan Muhammad ‘Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Juz I: 209.

Menurut Imam Abu Hanifah, alasan pertama adalah orang hamil dan menyusui itu ibarat orang sakit. Seperti apa yang disampaikan as-Syaikh Hasan Basri: “Adakah sakit yang lebih berat daripada mengandung?” maka cukup baginya mengqadha puasa saja tanpa membayar fidyah.

Alasan Kedua, orang tua yang sudah pikun dan lumpuh, ia tidak mungkin mengqadha puasa yang ditinggalkan, karena itu gugurlah kewajibannya mengqadha puasa tetapi cukup baginya menggantinya dengan fidyah saja. Adapun orang hamil dan menyusui termasuk orang yang berudzur secara sementara, maka baginya cukup mengqadha puasa. Tidak mungkin menghimpun keduanya (antara fidyah dan qadha sekaligus) karena menurut al-Jashas, qadha itu merupakan ganti dan fidyah juga demikian. (al-Jashash, Ahkam al-Qur’an, Juz I: 211).

Jumhur ulama fiqih (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) sepakat, bahwa ibu hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan, tidak diperbolehkan baginya hanya membayar fidyah saja tanpa qadha puasa.

Baca Juga: Ini Golongan Orang yang Mendapat Rukhsah Tidak Puasa

Khusus dalam madzhab Syafi’i, kewajiban Ibu hamil dan menyusui bila meninggalkan puasa Ramadhan dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir pada dirinya, maka ia hanya wajib mengqadha puasa saja.
  2. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir pada bayinya, maka wajib baginya mengqadha dan membayar fidyah sekaligus.
  3. Jika ia tidak berpuasa karena khawatir pada diri dan bayinya, maka baginya hanya wajib mengqadha saja. (Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz II: 141).

Az-Zuhaili menjelaskan maksud kekhawatiran terhadap diri ibu maupun janin yang menjadi bolehnya ia mendapatkan rukhsah adalah:

  1. Pernah mencoba berpuasa tetapi dirinya merasa lemah.
  2. Berdasar pada keterangan dokter muslim yang adil. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz III: 1700).

Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Bolehkah mengikuti pendapat yang membolehkan fidyah saja bagi ibu hamil dan menyusui? Bukankah kebolehan membayar fidyah saja bagi ibu hamil dan menyusui adalah pendapat Ibn Abbas dan Ibn Umar?

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، وَأَبُو زَكَرِيَّا، وَأَبُو سَعِيدٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ قَالَ: أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ: أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ: أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَامِلِ، إِذَا خَافَتْ عَلَى وَلَدِهَا، فَقَالَ: ” تُفْطِرُ، وَتُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا: مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ

“Mengabarkan kepada kami Abu Bakr, Abu Zakariya dan Abu Sa’id, mereka berkata: menceritakan kepada kami Abu al-‘Abbas, ia berkata: mengabarkan kepada kami ar-Rabi’ berkata: mengabarkan kepada kami as-Syafi’i berkata: mengabarkan kepada kami Imam Malik dari Nafi’: Sesungguhnya Ibn Umar ditanya seorang wanita yang hamil, Ketika ia khawatir akan janin yang dikandungnya, maka Ibn Umar berkata: “Berbukalah, dan beri makanlah orang miskin setiap harinya 1 mud dari gandum.”

Riwayat di atas seolah-olah menyatakan, bahwa ibu hamil dan menyusui boleh membayar fidyah saja tanpa perlu qadha puasa. Padahal konteksnya, Ibn Abbas dan Ibn Umar saat itu ditanya: “Kalau ada seorang ibu, sedang dirinya sendiri kuat berpuasa tetapi tidak mampu berpuasa karena janinnya, apa yang harus dia lakukan? Lalu Ibn Abbas dan Ibn Umar menjawab: “Bayarkan fidyah (Karena ia sudah tidak puasa demi nyawa pihak lain). (al-Bayhaqi, as-Sunan wa al-Atsar , Juz III: 379)

أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيِّ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينَ} [البقرة: 184]، فَذَكَرَ الْحَدِيثَ، وَذَكَرَ فِيهِ ثُبُوتَهَا فِي الْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلَادِهِمَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا “

Jadi, kewajiban fidyah itu dikarenakan ia tidak berpuasa karena khawatir akan janinnya, saat dirinya mampu berpuasa. Riwayat ini tidak menghilangkan kewajiban qadha sebagaimana yang berada dalam al-Quran surah al-Baqarah (2) ayat 184. Maka, jawaban Ibn umar ini sesungguhnya merupakan tambahan dari dzahir ayat, bukan menghapus dzahir ayat. Jadi tidak cukup membayar fidyah yang merupakan dzan dan menafikan qadha di dalam al-Quran yang sudah kategori yaqin.

Dalam kajian ushul al-fiqh, riwayat Ibn Abbas dan Ibn Umar tersebut harus dikompromikan (al-Jam’u wa at-Taufiq) dengan QS. Al-Baqarah [2] ayat 184 yang mewajibkan qadha bagi yang tidak berpuasa. Ia tidak bisa disimpulkan hukum hanya berdasarkan satu riwayat saja. Karenanya, sudah seyogyanya kita mengambil hukum dari pendapat yang mu’tabar melalui jalur keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Wallahu A’lam

Farida Ulvi Naimah
Farida Ulvi Naimah
Doktor bidang Hukum Keluarga Islam. Dosen Institut Pesantren KH. Abdul Chalim, Mojokerto.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...