BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanSerba Serbi Mengucap dan Menjawab Salam

Serba Serbi Mengucap dan Menjawab Salam

Mengucap dan menjawab salam adalah tuntunan Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. melalui hadisnya. Demikian penjelasan Ibn Hajar dalam mensyarahi hadis Nabi tentang tujuh perintah Nabi kepada para sahabatnya yang diriwayatkan al-Bukhari (Fath al-Bari, Juz 11, hal. 18). Pada perjalanannya, praktik mengucap dan menjawab salam berkembang mengikuti perkembangan sosial umat Islam. Dinamika ini kemudian menuntut adanya kompromi antara teks agama, dalam hal ini Alquran dan hadis Nabi sebagai pijakan dasar, dengan perkembangan sosial masyarakat Islam sebagai realitas yang terjadi hari ini.

Baca Juga: Surah An-Nur [24] Ayat 27: Anjuran Mengucap Salam Ketika Bertamu

Setidaknya ada dua ayat yang menyinggung tentang pengucapan salam, yakni surah an-Nisa’ [4]: 86 dan an-Nur [24]: 27.

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. (an-Nisa’ [4]: 86)

Dalam surah an-Nisa’ ayat 86, salam diistilahkan dengan tahiyyah yang bermakna doa untuk memperpanjang usia. Pada awalnya, tahiyyah ini hanya diperuntukkan bagi penguasa atau raja. Dalam salat pun, umat Islam juga melafalkan tahiyyah.

Dalam Tafsir al-Misbah (Jilid 2, 538), sebelum Islam datang, masyarakat jahiliyah juga kerap mengucapkan salam kepada sesame mereka dengan lafal حَيَّاكَ الله  yang artinya semoga Allah memberikan untukmu kehidupan. Oleh karena itu, dari sinilah tahiyyah dipahami dengan mengucapkan salam sebagaimana umumnya. Namun ketika Islam datang, pengucapan salam itu diubah menjadi اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ dan alangkah lebih baiknya jika ditambah dengan وَرَحْمَة اللهِ وَ بَرَكَاتُه.

Sedangkan dalam surah an-Nur ayat 27, ucapan salam yang dimaksud adalah berkenaan dengan etika ketika seseorang ketika hendak bertamu, yakni memberikan salam dan meminta izin kepada penghuninya.

Dalam Tafsir al-Misbah (Jilid 9, 309) diuraikan bahwa turunnya ayat ke 27 tersebut karena adanya pengaduan dari seorang wanita Anshar kepada Nabi saw. Dia bertanya kepada Nabi saw., tentang sesuatu yang harus dia lakukan ketika sedang tidak ingin dilihat oleh orang lain, termasuk ayah dan anaknya sendiri. Ketika itu, ayahnya masuk ke dalam rumahnya, lalu disusul oleh seorang dari keluarganya, sedang dia masih dalam keadaan belum siap untuk bertemu dengan siapapun. Maka, turunlah ayat ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (an-Nur [24]: 27)

Baca Juga: Dia yang Berlaku Baik Kepadamu, Lebih Baiklah Kepadanya! Pesan Surat An-Nisa Ayat 86

Hukum mengucap dan menjawab salam kepada non-muslim

Dalam surah an-Nisa’ ayat 86 di atas dijelaskan, jika ada yang memberi penghormatan atau salam, maka hendaknya membalas penghormatan atau salam tersebut dengan yang serupa, dan dianjurkan dijawab dengan salam yang lebih baik. Lalu, bagaimana jika bertemu dengan mereka yang non-muslim?

Sebagaimana yang dipaparkan oleh M. Quraish Shihab, dalam Wawasan Alquran (352-353), dari perkataan Anas bin Malik bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Apabila Ahl al-Kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka katakanlah, wa ‘alaikum”. (HR Bukhari dan Muslim)

Sebenarnya di kalangan ulama pun terjadi perbedaan pendapat, ada yang melarang dan ada pula yang membolehkan untuk memulai salam kepada mereka yang non-muslim. Di antara yang membolehkan adalah Ibnu ‘Abbas. Akan tetapi, ulama sependapat bahwa salam dari orang non-muslim harus dijawab, dan itu hukumnya wajib.

Namun berbeda dengan pendapat Wahbah az-Zuhaili yang mengutip keterangan dari as-Suyuthi, bahwa salah satu yang tidak wajib dijawab salamnya adalah orang non-muslim. Dan, apabila memang harus dijawab, maka diperbolehkan dengan menggunakan kalimat wa ‘alaika atau wa ‘alaikum.

Berbeda lagi dengan pendapat dari Hasan al-Basri yang membolehkan menjawab salam orang non-muslim dengan kalimat wa ‘alaikumus salam, tanpa wa rahmatullah. Sedangkan asy-Sya’bi justru memberikan kelonggaran. Dia pernah menjawab salam orang non-muslim dengan menambahkan kalimat wa rahmatullah, dengan alasan bahwa mereka bisa hidup atas berkat rahmat dari Allah Swt. ( Tafsir al-Munir, Jilid 3, 188)

Dalam permasalahan ini, Buya Hamka (Tafsir al-Azhar, Jilid 2, 1343) memberikan jalan tengah. Apabila memang hendak memulai salam terlebih dulu kepada mereka yang non-muslim, maka bisa menggunakan sapaan yang biasa atau umum mereka ucapkan, seperti: selamat pagi, selamat sore, atau hadakallah.

Senada dengan Buya Hamka, Buya Yahya juga memberikan kriteria, yakni jika memang diperlukan, boleh memulai salam kepada non-muslim tapi hanya sebatas dengan kalimat assalamu’alaikum atau dirubah dengan kalimat sapaan sesuai dengan kebiasaan mereka, seperti selamat pagi, sugeng injing dan yang semacamnya. Kemudian, kalimat salam tersebut tidak mengandung kesyirikan, dan tidak ada syiar kefasikan.

Baca Juga: Ngaji Gus Baha: Etika Bertamu Saat Berkunjung ke Rumah Orang Lain

Bolehkan mengucapkan salam lintas agama?

Jika memulai salam dengan kalimat assalamu’alaikum kepada non-muslim masih terjadi perbedaan pendapat, lalu bagaimana jika seorang muslim mengucapkan salam kepada non-muslim dengan kalimat sesuai ajaran agama mereka? Seperti halnya Shalom, Namo Buddhaya, Om Swastiastu dan yang lainnya.

Terkait dengan hal itu, MUI Jatim pernah mengeluarkan surat edaran yang di dalamnya memuat 8 poin tausiah atau rekomendasi yang merujuk pada hasil rapat kerja nasional (Rakernas) MUI 2019 di Nusa Tenggara Barat (NTB). Surat tersebut merupakan himbauan dari MUI Jatim untuk para pejabat yang terkadang mengucapkan salam lintas agama saat berpidato.

Biasanya ada 5 macam salam, selain assalamu’alaikum, yang diucapkan saat mereka berpidato, yakni shalom (salam Katolik), om swastiastu (salam Hindu), namo Buddhaya (salam Budha), salam sejahtera untuk kita semua (salam Kristen), dan salam kebajikan (salam Khonghucu). Dari kelima salam lintas agama tersebut yang berpotensi merusak akidah seorang muslim adalah salamnya agama Hindu dan Budha. Hal itu dikarenakan dalam redaksi salamnya mengandung permintaan kepada Tuhan.

Menurut Muchlis M. Hanafi, yang turut serta memberikan respon atas keputusan MUI Jatim tersebut, mengucapkan salam lintas agama tentu tergantung pada niatnya masing-masing. Dalam kondisi seperti itu, tidak melulu harus dipandang dengan kacamata teologis esoteris, tapi juga bisa dengan pendekatan sosiologis.

Dalam bersosial, kata Hanafi, terkadang orang memerlukan mujamalah atau basa-basi. Sehingga, apa yang dilakukan oleh pejabat yang berpidato itu tidak lain adalah tegur sapa serta penghormatan kepada sesama, tidak sampai pada urusan keyakinan atau akidah. Namun, jika tidak ada kepentingan untuk mengucapkan salam kepada mereka yang non-muslim, sebaiknya tidak melakukannya. Wallah a’lam.

Muhammad Faishal Haq
Muhammad Faishal Haq
Alumni Pondok Pesantren Mambaus Sholihin, Gresik. Pegiat kajian keislaman dan kealquranan
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Pertahanan nasional perspektif mufasir nusantara

Upaya Penguatan Pertahanan Nasional dalam Perspektif Mufasir Nusantara

0
Pertahanan nasional merupakan salah satu isu yang senantiasa menjadi perhatian dalam konteks kehidupan bangsa dan negara. Dalam konteks ini, Alquran sebagai sumber ajaran utama...