BerandaKhazanah Al-QuranSerba-serbi Mushaf Standar Bahriyah Indonesia

Serba-serbi Mushaf Standar Bahriyah Indonesia

Mushaf Standar Bahriyah merupakan salah satu dari tiga mushaf Standar Indonesia. Dari Namanya, tentu kita bertanya-tanya. Kenapa dinamakan bahriyah, apa hubungannya mushaf ini dengan dunia kelautan?

Ceritanya, Mushaf Standar Bahriyah ini merujuk pada satu mushaf dari Istanbul Turki yang diterbitkan oleh “Matba’ah Bahriyah”.  Penerbit ini merupakan badan percetakan milik Angkatan Laut Kesultanan Usmaniyah Turki, yang mana banyak mencetak naskah-naskah keagamaan termasuk mushaf Al Qur’an.

Spesifikasi mushaf Bahriyah Turki ini menggunakan sistem penulisan ayat pojok, yang mana setiap sudut halaman menunjukkan akhir ayat. Di Turki, mushaf jenis ini disebut sebagai ayet ber-kenar. Mushaf Al Qur’an jenis ini sebelum ada standarisasi telah tersebar luas di Indonesia, terlebih di lingkungan pesantren Al Qur’an Indonesia. Hal ini tidak bisa lepas dari peran KH M Arwani Amin Kudus yang mereproduksi mushaf terbitan Turki sepulang ibadah haji pada tahun 1969/1970.

Mushaf reproduksi itu akhirnya diperbanyak dan digunakan oleh santri pengahafal Al Qur’an karena memudahkan proses pengahafalan. Mushaf ini selanjutnya dikenal dengan sebutan Mushaf Pojok Menara Kudus.

Ternyata, mushaf jenis ini penulisannya tidak menggunakan rasm usmani, melainkan rasm imla’i. Inilah yang kemudian perlu melakukan standarisasi agar tidak ada simpang siur dan bingung pembacaan di tengah masyarakat.

Pada tahun 1974 dalam Musyawarah Kerja Ulama Al Qur’an I, KH. Ahmad Damanhuri Malang menyebut bahwa mushaf ini ditoleransi para ulama di negara muslim lainnya bagi penghafal Al Qur’an. Dalam musyawarah tersebut, diesbutkan bahwa mushaf ini hanya mengikuti satu dari enam kaidah rasm usmani.


Baca juga: Keutamaan Ilmu Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Mujadilah [58] Ayat 11


Enam kaidah pokok rasm usmani itu sebegai berikut. Pertama membuang huruf (al-hadzf), kedua menambah huruf (az-ziyadah), ketiga penulisan hamzah (al-hamzu), keempat penggantian huruf (al-badal), kelima menyambung dan memisah tulisan (al-fasl wal wasl), dan terakhir kalimat yang bacaanya lebih dari satu (ma fihi qira’atani wa kutiba ala ihdahuma).

Dari enam kaidah ini ternyata mushaf Bahriyah hanya mengikuti satu kaidah saja, yakni kaidah badal. Tentu ini menjadi bahasan utama di berbagai Musyawarah Kerja Ulama Al Qur’an hingga akhirnya terbit mushaf standarisasi.


Baca juga: Tuntunan dalam Membangun Relasi Antar Umat Beragama


Spesifikasi Mushaf Standar Bahriyah Indonesia

Di bagian depan mushaf ini tertulis “Mushaf Ayat Sudut Departemen Agama”. Mushaf standar ini ditulis oleh Muhammad Abdurrozaq Muhilli yang selesai pada tahun 1988. Mushaf ini berukuran agak kecil, yakni 20 x 14 cm dengan tebal 4 cm, sehingga sangat mudah untuk dibawa muraja’ah (mengulang hafalan). Mushaf Standar Bahriyah saat itu ditashih oleh H Abdul Hafiz Dasuki selaku Ketua Lajnah dan H Alhumam Mundzir selaku Sekretaris pada tanggal 5 September 1991.

Mushaf ini pun memiliki ciri-ciri khas yang daftar catatannya dilampirkan di halaman belakang mushaf. Dalam lampiran itu terdapat 10 ciri-ciri yang ditulis menggunakan huruf pegon.

Ciri-ciri mushaf ini sebagai berikut:

  1. Mad Thabi’i alif seperti lafadz الكتاب, تكذبان dan beberapa kata lain ditulis dengan alif mamdudah. Sementara mad thabi’i wawu dan ya’ tidak diberi sukun.
  2. Tanda waqaf disesuaikan dengan Mushaf Standar Usmani.
  3. Syaddah idgham dan mim iqlab tidak dituliskan.
  4. Setiap halaman diakhiri dengan akhir ayat.
  5. Sifr Mustatil (lonjong) sama jumlahnya dengan yang ada dalam Mushaf Standar Usmani.
  6. Sifr Mustadir (bulat) selain yang ada dalam Mushaf Standar Usmani, ditambah/ditempatkan pula pada setiap kata اولو, اولى, dan اولئك .
  7. Setiap halaman terdiri dari 15 baris.
  8. Setiap ya’ mati yang terletak di akhir kata tidak diberi titik, seperti kata يا بنى.
  9. Harakat kasrah yang terletak sebelum ya’ yang tidak bertitik, maka ada dua penulisan.
  10. Diberi harakat berdiri ketika washal.
  11. Diberi harakat miring biasa ketika washal
  12. Hamzah di atas alif hanya ditulis ketika saknah (bersukun) saja.

Ciri-ciri tersebut menunjukkan upaya para ulama kita untuk menjaga tradisi penggunaan mushaf pojok yang berkembang di kalangan penghafal Al Qur’an. Meskipun di akhir mushaf Standar Bahriyah ini, terdapat catatan-catatan khusus bagi pembacanya.

Wallahu a’lam bi al-shawab


Artikel terkait:

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU