Ribut-ribut tentang sertifikasi da’i muncul karena ada banyak da’i yang dinilai tidak memenuhi persyaratan minimal untuk melakukan dakwah. Dalam bahasa agama lā yakūnu lahu jumlatun minal ‘ulūmī yaṣiḥḥu ‘indahā al-da‘wah atau tidak memiliki kadar ilmu yang dengannya seseorang dapat berdakwah.
Akan tetapi, masalahnya siapa yang berhak menyatakan kecakapan atau kelengkapan persyaratan berdakwah itu? MUI, Kementerian Agama, organisasi keagamaan Islam sudah banyak disebut orang dengan berbagai pro dan kontra di sekitar masing-masing pihak ini.
Nanti dulu! Bukankankah ada ayat yang menyatakan bahwa orang-orang yang tidak menyampaikan pesan Allah akan dilaknat oleh Allah dan semua pelaknat? (QS. Al-Baqarah [2]: 159). Juga ada anjuran dari Rasulullah untuk menyampaikan pesan beliau, walaupun sebenarnya orang tidak paham? Karena orang yang mendengar mungkin akan lebih paham daripada yang menyampaikan?
Nah ini dia. Rasulullah menyatakan:
فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الغَائِبَ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Hendaknya orang yang hadir (dalam pertemuan denganku) menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena banyak orang yang ditabligi lebih paham daripada mubalignya.”
Jadi, kalau mubalignya tidak memenuhi pemahaman yang cukup, ya umatnya saya yang dinaikkan taraf pemahamannya. Biarlah dainya menyampaikan pesan agama sekadar pemahamannya, tapi umat harus cerdas. Harus mempunyai pemahaman yang lebih baik. Setidak-tidaknya, sikap yang baik.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isrā’ [17]: 36)
Jangan kau ikuti ajakan, perintah, seruan yang tidak kau mengerti betul, karena nanti yang bertanggung jawab atas perbuatanmu adalah dirimu sendiri degan perangkat pemahaman yang telah dikaruniakan Allah kepadamu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 6)
Kalau ada berita dari orang fasiq (orang yang banyak melanggar aturan, termasuk orang yang tidak kau kenal sebagai orang yang dapat dipercaya), lakukanlah konfirmasi atau tabayyun, karena kalau kau nanti melakukan tindakan yang merugikan orang-orang lain karena termakan berita itu, kau akan menyesal.
Sertifikasi Da’i dan Serifikasi diri
Siapa yang boleh melakukan sertifikasi terhadap umat? Sertifikasi dirilah. Tanyakan kepada diri sendiri, jangan menelan begitu saja fatwa orang lain. Istafti qalbak, wain aftauk, kata Abū Darda’, seorang sahabat Nabi?
Bagaimana kalau diri belum mampu? Belajar kepada orang yang betul-betul mengerti. Jangan asal dai, mubalig atau ustadz.
Baca Juga: Ketika Berdebat Inilah Yang Perlu Diperhatikan Menurut Imam al-Ghazali
Bolehlah didengar pesan orang tua: Lamun sira megurua kaki, amiliha sujanma kang nyata, ingkang becik martabaté, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah tur kang wirangi. Sukur olèh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan pamrih wèwèhing liyan.
(Kalau kau berguru, anakkua, pilihlah orang yang jelas, bermartabat, yang mengindahkan aturan, yang rajin beribadah dan menjaga diri dari hal-hal yang tidak patut. Sangat baik kalau kau temukan orang yang sudah selesai dengan dirinya sehingga tidak berpikir tentang honorarium).
Sertifikasi diri atau muḥāsabah. Tilik terus menerus, apa yang mesti aku tingkatkan dari pemahaman dan sikap terhadap hal-hal yang kutemui, termasuk ajakan dan seruan yang disampaikan orang.
Itu barangkali lebih diperlukan daripada membicarakan apakah sertifikasi dai perlu atau siapa yang perlu melakukan sertifikasi.