BerandaTafsir TematikTafsir Tarbawi4 Bentuk Kurikulum Pendidikan Islam

4 Bentuk Kurikulum Pendidikan Islam

Hakikat kurikulum adalah model yang diacu oleh pendidikan dalam upaya membentuk citra sekolah dengan mewujudkan tujuan pendidikan yang disepakati. Kurikulum tidak bersifat kaku, tetapi dinamis, aktual, teoretis, dan aplikatif. Maka dengan itu, kami uraikan bentuk kurikulum pendidikan Islam, sebagaimana tertera dalam firmanNya, surat al- Hujarat ayat 1:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Hujurat [49]: 11)

Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11

Diriwayatkan dalam kitab Sunan yang empat (Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah) yang bersumber dari Abu Jubair al-Dhahhak. Menurut al-Tirmidzi hadits ini hasan. Bahwa seorang laki-laki mempunyai dua atau tiga laqob (julukan).

Namun, orang-orang sering memanggilnya dengan julukan yang buruk yang tidak ia senangi. Maka turunlah ayat ini sebagai bentuk larangan menggelari orang dengan nama yang buruk.

Ayat di atas mengandung empat pesan sebagai bentuk kurikulum pendidikan Islam, yaitu:

  1. larangan merendahkan orang lain,
  2. larangan menertawakan maupun memperolok orang lain,
  3. larangan mencela dirinya sendiri maupun orang lain,
  4. larangan memanggil dengan panggila (gelar) yang buruk.

Pertama, Allah swt melarang menghina orang lain, termasuk juga meremehkan, merendahkan dan mengejek mereka. Ayat di atas secara keseluruhan menyiratkan pesan untuk dilarang keras meremehkan orang lain sebab bisa jadi yang diremehkan itu lebih baik ketimbang orang yang meremehkan. Seperti juga yang disabdakan oleh Rasulullah saw,

اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْصُ النَّاسِ، وَيُرْوَى: وَغَمْطُ النَّاسِ

Takabbur ialah menentang kebenaran dan meremehkan orang lain; menurut riwayat yang lain, dan menghina orang lain.

Dalam konteks pendidikan Islam, larangan menghina dan meremehkan orang lain adalah perbuatan tercela. Terlebih fenomena bullying yang kerapkali terjadi di lingkungan sekolah. Sekelompok temannya mengucilkan temannya sendiri, mirisnya hal ini tidak jarang juga dilakukan oleh gurunya sendiri. Padahal hal ini diharamkan karena barangkali orang yang diremehkan, direndahkan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah dan lebih dicintai, lebih diridhai-Nya daripada yang meremehkannya.


Baca juga : Tafsir Tarbawi: Larangan Bullying dalam Pendidikan Islam


Kedua, Allah swt melarang menertawakan atau memperolok orang lain. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam redaksi laa yaskhar. Al-Qurthuby menafsirkannya sebagai sukhriyyah (menertawakan) atau istihza’ (ejekan).

Sedangkan kata yaskhar sendiri bermakna memperolok-olok dengan menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan perkataan maupun perbuatan.

Contoh mengolok-olok misalnya sekelompok peserta didik menggunakan bahasa isyarat atau gerak tubuh dengan tujuan menertawakan perkataan atau perbuatan temannya yang lain, atau di antara guru juga demikian semua kemungkinan bisa terjadi. Shukriyyah juga dapat diartikan menghina dan menganggap rendah orang lain.

Ketiga, dalam ayat ini pula Allah swt juga melarang mencela diri sendiri mauppun orang lain. Dan janganlah kamu mengejek dirimu sendiri. Kata talmizu berasal dari kata al-lamz. Para ulama berbeda pendaat dalam memaknai kata ini. Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir misalnya memahaminya dalam arti ejekan yang ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik secara isyarat, ucapan, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini merupakan salah satu bentuk kekurangajaran dan pelecehan.

Sedangkan Yusuf al-Qardhawi memaknai al-lamz dengan al-wakhzu (serangan) dan al-tha’nu (tusukan atau celaan). Seakan-akan orang yang mencela orang lain sedang mengarahkan ayunan pedang dan ujung belatinya kepadanya. Penafsiran ini tepat sekal, bahkan serangan lidah, ujaran kebencian (hate speech) lebih dahsyat dan lebih menyakitkan.

Mencela juga kata Ibnu Katsir juga dapat dilakukan dengan perbuatan (al-hamz) dan perkataan (al-lamz). Kedua-duanya sama-sama perbuatan terlarang. Mengadu domba adalah termasuk bentuk mencela melalui perkataan, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Humazah [104]: 1. Begitu pula larangan mencela diri sendiri sama halnya sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Nisa [4]: 29.


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Metode Nasihat dalam Pendidikan Islam


Keempat, larangan memanggil dengan sebutan yang buruk. Pendidikan Islam hadir untuk memanusiakan manusia. Tapi tampaknya, di zaman ini orang lebih suka memanggil atau menggelari seseorang yang lainnya dengan sebutan yang tidak manusiawi misalnya sebutan hewan, sebutan buruk dan sebagainya.

Terlebih dalam dunia Pendidikan tak terkecuali pendidikan Islam hal ini sudah terjadi. Para guru beserta orang tua harus berperan aktif dalam membina akhlak para siswa siswi dan anaknya guna membentuk kepribadian yang akhlakul karimah.

Larangan in termaktub dalam redaksi wa la tanabazu fil alqab. Ibnu Katsir menafsirkannya dengan janganlah kamu memanggil orang dengan gelar yang buruk yang tidak didengar dan disukai oleh yang bersangkutan. Al-Shabunyi dalam Shafwah at-Tafasir misalnya janganlah kalian membuat gurauan dengan sebutan yang buruk, jangan pula memanggilnya dengan gelar yang buruk.

Allah swt juga melarang sesama mukmin saling memanggil dengan gelar yang buruk. Akan tetapi, perlud digarisbawahi memang terdapat sekian gelar atau julukan yang secara lahiriah dapat dinilai buruk, namun karena telag populer sebutan itu sehingga penyandanganya pun tidak lagi keberatan atau tersinggung dengan sebutan itu misalnya Abu Hurairah (bapak kucing) laqob ini disandang oleh sahabat Rasul saw yang menyukai kucing yakni Abdurrahman bin Shakhr. Hal yang demikian ini dapat ditoleransi oleh agama.


Baca juga: Bagaimana Hukum Menyentuh Al-Quran Terjemah Bagi Orang yang Hadas?


Empat Bentuk Kurikulum Pendidikan Islam

Sebagaimana dijelaskan di muka ayat ini berisi empat pesan sebagai pengejawantahan kurikulum Pendidikan Islam yakni larangan untuk merendahkan, menertawakan/ memperolok, mencela, dan memanggil dengan gelar atau sebutan yang buruk. Ayat ini memberi bimbingan dan nasehat khususnya bagi kaum muslim, pendidik dan peserta didik agar keempat larangan tersebut dijauhi sejauh-jauhnya.

Alih-alih melakukan keempat hal tersebut, ada baiknya berintrospeksi diri dan mempertimbangkan apakah diriku lebih baik ketimbang dengannya?.

Apabila setiap pendidik atau peserta didik, orang mukmin khususnya selalu berpikir dan merenungi sebelum melontarkan kata-kata atau perbuatan, maka ia akan menyadari bagaimana semestinya bersikap dan berperilaku. Dengan kesadaran tersebut, dia dapat mengambil langkah-langkah perbaikan diri dan menahan dirinya dari melakukan keempat hal di atas. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...