Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa program sertifikasi dai akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Ia menegaskan program ini telah dibahas bersama dengan wakil presiden Ma’ruf Amin dan akan digulirkan pada triwulan ketiga tahun 2020. Fachrul Razi mengatakan program ini bertujuan untuk mencetak dai yang berdakwah di tengah masyarakat tentang Islam rahmatan Lil ‘Alamin. Dengan demikian, Masjid tidak hanya menjadi sarana penyebaran iman dan takwa, tetapi juga sarana menguatkan kerukunan bangsa.
Wacana tersebut kemudian direspon oleh berbagai pihak dengan bermacam reaksi, baik positif maupun negatif. Ma’ruf Amin menyebutkan, sertifikasi dai harus dilakukan, sebab hal itu sangat penting untuk menguji kompetensi dan integritas seorang dai. Menurutnya, seorang dai wajib memahami isi dan makna ayat yang disampaikan. Jika tidak, maka penyampaiannya bisa saja salah dan dapat menyebabkan kekeliruan serta kekacauan di tengah Masyarakat.
Di pihak lain, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia K.H Muhyidin Junaidi mengatakan bahwa MUI menolak program sertifikasi dai yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, program tersebut dapat memicu kegaduhan di masyarakat karena ada kekhawatiran intervensi pemerintah. Program ini juga berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengendalikan kehidupan keagamaan masyarakat muslim.
Komisi VIII DPR RI bahkan meminta Kementerian Agama menghentikan program sertifikasi penceramah atau da’i. Ketua Komisi VIII Yandri Susanto menyeletuk bahwa yang berhak melabeli penceramah hanya Allah SWT bukan Kemenag. Yandri juga menyarankan sebaiknya Kemenag berdiskusi secara mendalam bersama ormas-ormas Islam besar mengenai rencana penerbitan sertifikasi penceramah dan mendefinisikan kembali apa itu radikalisme.
Terlepas kontroversi wacana sertifikasi dai, sebenarnya ada beberapa hal penting untuk direnungkan oleh pembaca, yakni apakah sertifikasi dai diperlukan? Seberapa penting itu? Apakah dalam Islam ada sertifikasi atau standarisasi? Bagaimana dampak tanpa adanya standarisasi? Dan sebagainya. Dalam artikel ini penulis akan menjelaskan secara singkat tentang pentingnya kepakaran dalam suatu bidang, terutama mubalig.
Bekerja Sesuai Bidang dan Kapasitas
Memiliki keahlian atau kepakaran pada bidang tertentu adalah keniscayaan yang harus dimiliki seseorang ketika ingin berkecimpung di dunia itu. Misalnya, ketika seseorang ingin menjadi mufasir, maka hendaknya ia menguasai berbagai keilmuan yang membantu dalam memahami Al-Qur’an. Karena tanpa instrumen-instrumen tersebut, bisa jadi penafsiran yang dihasilkan malah keliru atau bahkan dapat menyesatkan orang banyak.
Masih hangat terdengar di telinga masyarakat Indonesia manakala seorang “ustaz” bernama Evie Effendie yang menyebutkan nabi Muhammad Saw pernah sesat. Ia berkata, “semua orang yang ada di muka bumi ini pernah sesat, termasuk Muhammad. Jadi, orang yang memperingati maulid berarti memperingati kesesatan nabi.” Ceramahnya ini kemudian menuai berbagai protes massif, bahkan ia disebut menistakan nabi.
Baca Juga: Kenali Syarat Menjadi Mufassir
Tindakan “ustaz” di atas adalah gambaran kecil dari ketidakpahaman terhadap Al-Qur’an dan kurangnya kompetensi diri untuk berdakwah. Hal ini apabila tidak dievaluasi dengan baik, maka akan berakibat pada kerusakan signifikan, baik itu kekeliruan pemahaman agama maupun rusaknya kerukunan antar agama. Kejadian ini dapat dianalogikan dengan malapraktek dalam dunia kedokteran yang sering berujung kecacatan atau bahkan kematian.
Al-Qur’an sebenarnya pernah sedikit menyinggung mengenai keharusan bekerja sesuai bidang dan kapasitas dalam QS. al-An’am: 135, QS. az-Zumar: 39: 39 dan QS. Hud: 93 yang memiliki makna senada. QS. Hud: 93 berbunyi:
وَيٰقَوْمِ اعْمَلُوْا عَلٰى مَكَانَتِكُمْ اِنِّيْ عَامِلٌ ۗسَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ مَنْ يَّأْتِيْهِ عَذَابٌ يُّخْزِيْهِ وَمَنْ هُوَ كَاذِبٌۗ وَارْتَقِبُوْٓا اِنِّيْ مَعَكُمْ رَقِيْبٌ ٩٣
Dan (ia berkata): “wahai kaumku! Berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah! Sesungguhnya aku bersamamu adalah orang yang menunggu.” (QS. Hud [11]: 93)
Menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsir Marah Labid (1: 516), kata i‘malū ‘alā makānatikum pada ayat di atas bermakna i‘malū ‘alā gāyat istaṭā‘atikum, yakni berbuat sesuai kemampuan diri atau semampu mungkin. Jika ayat ini diaktualisasikan dalam konteks menyampaikan dakwah, maka seorang dai juga terlebih dahulu harus memahami semampu mungkin tentang hal-hal yang akan disampaikannya baru kemudian melakukan dakwah sesuai kemampuan yang dimilikinya tersebut.
Sertifikasi Diri Sebelum Sertifikasi Dai
Prof. Muhammad Machasin menyebutkan bahwa daripada meributkan tentang sertifikasi dai karena dinilai terdapat dai yang tidak memenuhi standar mubalig, lebih baik menaikkan taraf pemahaman dan kecerdasan masyarakat. Mereka harus belajar memahami secara mandiri berbagai persoalan melalui perangkat yang telah Allah anugerahkan, yakni akal. Dengan demikian, mereka tidak akan mengikuti ajakan, perintah atau seruan yang tidak mereka pahami dan berpotensi menyesatkan.
Sedangkan menurut penulis, gagasan sertifikasi sebenarnya adalah ide yang bagus sebagai sarana untuk memperkecil kemungkinan adanya “malapraktek” dalam ajaran agama, terutama berkaitan dengan sosial-keagamaan masyarakat Indonesia. Hanya saja perlu pembahasan lebih jauh mengenai bagaimana mekanisme dan peraturan yang jelas agar tidak muncul di tengah masyarakat kekhawatiran “pengendalian” pemerintah terhadap dai-dai bersertifikat ataupun audiensnya.
Sebenarnya bagi seorang dai ada hal yang jauh lebih esensial dibanding Sertifikasi da’i, yakni sertifikasi diri (muhasabah diri). Sertifikasi diri di sini maksudnya adalah refleksi dari seorang dai mengenai kemampuan dirinya. Apakah dirinya memiliki kapasitas untuk menyampaikan dakwah, apalagi terkait problem-problem kompleks dalam sosial-keagamaan? Sebaiknya ia menghindari materi yang tidak dikuasainya dan tidak malu untuk mengatakan tidak tahu. Meskipun demikian, ia juga tetap harus meningkatkan kapasitas diri di masa depan.
Merujuk pada QS. al-An’am: 135, QS. az-Zumar: 39: 39 dan QS. Hud: 93, hendaknya seseorang bekerja sesuai bidang dan kapasitas yang dimilikinya agar tidak menyesatkan orang lain atau konsekuensi-konsekuensi fatal lainnya. Oleh karena itu, seorang harus mempertimbangkan dengan baik kualitas diri. Dalam konteks dai, sebaiknya seorang dai mengevaluasi kemampuan pemahaman agama dirinya sebelum menyampaikan pemahaman tersebut kepada masyarakat luas. Wallahu a’am.