Di tengah kenyataan sosial media kita hari ini muncul kosa kata “flexing” sebagai subkultur baru yang tumbuh di era media informasi digital. Menurut later.com, “Social Media Glossary”, istilah “flex” berasal dari Bahasa Inggris Afrika-Amerika/ African-American Vernacular English (AAVE). “Flex” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang pamer dan menyombongkan diri. Hal-hal yang dipamerkan dapat berupa pencapaian, keterampilan, atau kepemilikan materi sebagai sarana untuk menegaskan status atau dominasi seseorang dalam kelompok sosial.
Akar tindakan flexing memiliki ikatan kuat dengan materialisme. Menurut ahli psikologi, Tim Kasser dalam tulisan Emma Grey Ellis, “The Psychological Impact of Seeing Youtubers Spend Millions” berpendapat bahwa, setelah mengetahui lebih dari 200 penelitian, ia mendapati: semakin seseorang mendukung materialisme, semakin buruk kesejahteraan psikologisnya.
Hal baiknya adalah ia akan lebih kompetitif, namun kurang berempati, kurang pro-sosial dan lebih cenderung untuk mendukung keyakinan yang bersifat prasangka dan diskriminatif. Berkaitan dengan hal itu, dan dalam rangka menyikapi realitas faktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tersebut, adakah argumentasi konseptual dan moral ideal Alquran tentang flexing?
Baca Juga: Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial
Argumen Alquran Tentang Flexing
Flexing yang bertujuan untuk memamerkan sesuatu adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. Misalnya, seseorang yang melakukan segala cara, bahkan melanggar batas-batas etika, hukum dan norma agar mendapat status sosial tertentu di tengah masyarakat, agar dikenal sebagai “crazy rich” atau “sultan”, atau status-status lain serupa sebagai identitas yang melekat pada dirinya.
Bahkan, dalam taraf tertentu, tindakan dan perbuatan yang dilakukannya diarahkan untuk memperoleh atensi besar dari masyarakat luas. Kebanggaan, kegembiraan dan kesenangannya bergantung pada benda-benda yang dimilikinya serta penilaian dan validasi orang lain. Dalam situasi semacam ini, pelaku flexing tidak lain adalah seorang yang materialis. Alquran menyinggung hal tersebut pada QS. Altakatsur [102]: 1;
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ (1) حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ (2)
Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Secara historis, menurut Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Juz 20, 169), ayat ini berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang mengatakan, kami lebih banyak memiliki harta daripada bani fulan dan bani fulan. Mereka tenggelam dalam kesibukan memamerkan harta yang mereka miliki dan lupa untuk taat kepada Allah, sampai akhirnya mati dan dikuburkan dalam tanah.
Menurut al-Dhahhak, berbangga-bangga dapat membuat orang lupa dan sibuk karena persoalan kehidupan dan perdagangan. Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan berpendapat, objek yang dibangga-banggakan dapat berupa harta dan anak. Qatadah menambahkan, berbangga dengan suku dan keluarga.
Baca Juga: Tafsir Surat at-Takatsur: Kritik Al Quran Kepada Mereka yang Bermegah-Megahan
Fakta sejarah ini memiliki kesamaan dengan perilaku flexing. Letak kesamaannya ada pada obsesi terhadap dunia dan perasaan lebih dari orang lain. Keadaan itu menjadi dinding bagi orang-orang yang berbangga dengan harta, untuk dapat melihat tujuan yang sesungguhnya, yaitu akhirat.
Secara teoritis, perilaku flexing juga menemukan kemiripannya dengan apa yang disebut sebagai “conspicuous consumption”, yaitu perilaku konsumen dalam menggunakan barang-barang dengan kualitas tinggi atau dalam jumlah yang lebih banyak daripada keperluan. Istilah ini pertama kali disebut oleh ahli ekonomi dan sosiolog, Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of The Leisure Class (1899).
Praktik yang demikian itu, menjelaskan motivasi dan perilaku konsumen terhadap barang-barang mewah. Sebagai contoh, mobil mewah, bagi mereka, kepemilikian mobil mewah lebih menunjukkan kemakmuran penggunanya. Mobil mewah juga merupakan simbol kehormatan, orang-orang akan kagum dengan hal itu. Kekaguman akan datang dari orang-orang yang tidak mampu memiliki mobil tersebut. Mobil mewah itu juga menjadi penanda status sosial di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya, apakah perilaku flexing berdampak bagi pelakunya?. Tentu saja, dalam flexing terdapat potensi-potensi lahirnya sifat-sifat buruk. Berdasarkan penelitian yang ditulis oleh Rafli Maulana Lubis dan Hasan Sazali, “Analysis of the Flexing Phenomenon on Social Media: Islamic Perspective”, flexing dapat memunculkan sifat riya dan kesombongan, materialistik, tidak peduli keadaan sosial, individualis, menjadikan harta sebagai standar penilaian atas orang lain, memicu terjadinya kejahatan.
Sebagai satu tindakan yang berdampak luas dalam kehidupan seseorang, baik bagi pelakunya ataupun yang melihatnya, flexing adalah tindakan yang tidak benar. Pada surah Luqman [31]: 18, Allah melarang untuk berperilaku sombong, angkuh dan membanggakan diri:
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ
Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.
Kesan dari ayat ini adalah idealisasi Alquran tentang pola komunikasi yang egaliter. Menurut Imam al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Juz 14, 70), hendaknya seseorang menerima manusia lainnya dengan tidak berpaling muka, berkomunikasi dengan akhlak yang baik.
Baca Juga: Tafsir Surat Luqman ayat 18: Jauhi Sikap Sombong dan Angkuh!
Imam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir (Juz 4, 277) mengutip riwayat dari Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas, mengungkapkan maksud ayat ini sebagai dorongan untuk tidak bersikap sombong, tidak merendahkan, dan tidak berpaling muka saat berbicara kepada manusia. Tidak memalingkan lehernya jika ada yang mengucapkan salam, seperti yang dilakukan oleh orang yang sombong. Kaya atau miskin, berkedudukan atau tidak, idealnya seseorang berkomunikasi dengan baik.
Flexing dalam konteks ini adalah satu contoh komunikasi tidak setara. Intensi awal pelaku flexing adalah merasa lebih tinggi dari orang lain, atau objek komunikasinya. Lebih celaka lagi, itu ditampilkan dalam media sosial yang menjangkau lebih banyak orang (netizen). Hal itu tidak lain adalah demonstrasi keterbatasan akal dan etika pelakunya.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Alquran tidak membenarkan flexing, karena berpotensi merubah pelakunya secara menyeluruh, seperti: berubahnya orientasi dalam menilai kehidupan dan tujuannya, terganggunya aspek psikologis, menjadi seseorang yang “menghamba” pada kekaguman manusia, secara sosial menjadi terbatas, secara ekonomi, menjadi orang yang sangat terobsesi pada perolehan harta secara instan sehingga cenderung menghalalkan segala cara. Itu semua berkebalikan dari nilai-nilai moral Alquran yang mulia.
Wallahu a’lam.