Beberapa hari yang lalu penulis berkesempatan mengikuti kelas literasi yang diselenggarakan oleh santri-santri Pondok MUS, Ma‘hadul ‘Ulum Asy-Syar‘iyyah, Karangmangu Sarang Rembang. Sebuah acara yang diselenggarakan guna menumbuhkan ketertarikan bidang tulis menulis bagi mereka yang belum, serta meningkatkan kemampuan menulis bagi mereka yang telah berkecimpung sebelumnya.
Acara bertajuk Tantangan Era Revolusi Digital ini menurut penulis sangat menarik karena memang sesuai dengan tantangan yang hari ini tengah di hadapi kaum santri. Ketika seluruh lini kehidupan telah berubah karena teknologi digital, santri dituntut melakukan berbagai adaptasi dengan mengerahkan segala kreatifitas yang dimiliki. Semangat menghadapi era digital ini juga sangat cocok dengan tagline yang diangkat Hari Santri 2021, Santri Siaga Jiwa Raga.
Sebagai pegiat kajian Al-Qur’an, penulis dalam menangkap momen ini teringat akan sebuah ulasan yang ditulis Manna‘ Khalil al-Qaththan dalam bukunya, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, tentang spirit literasi dalam nama-nama Al-Qur’an. Nah, pada tulisan kali ini, ijinkan penulis berbagi refleksi terhadap ulasan yang telah disampaikan Manna‘ Khalil ini.
Nama-Nama Al-Qur’an
Ada banyak nama yang dapat digunakan untuk menyebut Al-Qur’an, kitabullah. Al-Qur’an itu sendiri, Al-Kitab, Al-Furqan, Al-Dzikr, Al-Tanzil, Al-Syifa’, Al-Huda, Al-Haqq dan masih banyak lagi yang lainnya. Nama-nama ini pada dasarnya merupakan sebutan yang telah lebih dahulu digunakan Allah dalam kitab-Nya, yang kemudian diresepsi (diterima) sebagai nama-nama Al-Qur’an.
Baca Juga: Mengenal Penamaan Surat dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya
Resepsi terhadap nama-nama Al-Qur’an ini juga berkembang lebih jauh secara fungsional, dimana setiap nama dipercaya mempunyai sirr (rahasia) tersendiri sesuai dengan situasi dan kondisi (muqtadl al-hal) tertentu.
Namun demikian, menukil dari Dr. ‘Abdullah Daraz, Manna‘ Khalil menjelaskan bahwa diantara nama-nama Al-Qur’an yang begitu banyak ini, ada dua nama yang cukup penting bagi Al-Qur’an, yakni Al-Qur’an itu sendiri dan Al-Kitab. Menurut ‘Abdullah Daraz, dua nama ini memberikan isyarat yang sangat penting dalam proteksi terhadap Al-Qur’an, yakni perhatian yang lebih terhadap proses penjagaan (hifdz) Al-Qur’an dari dua aspek, aspek pembacaan dan aspek penulisan.
Aspek pembacaan diambil dari makna literal kata al-qur‘an yang berarti membaca (qira’ah). Aspek pembacaan ini lantas dipahami sebagai al-hifdz fi al-shudur atau menghafalkan Al-Qur’an. Sementara aspek penulisan diambil dari makna literal kata al-kitab yang berarti menulis (kitabah). Aspek ini diwujudkan dengan menjaga penulisan Al-Qur’an (al-hifdz fi al-suthur) sebagaimana model yang telah dinukil para sahabat. Dua aspek ini penting agar jika yang satu lupa, maka yang satu lagi mengingatkannya (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Spirit Literasi Nama Al-Qur’an
Dalam konteks pembahasan literasi, seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa dua nama ini menyimpan isyarat lain yang penulis sebut sebagai spirit literasi. Hal ini dikarenakan kata literasi yang secara literal berarti kemampuan menulis dan membaca (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menjadi representasi yang sempurna dari nama Al-Qur’an dan Al-Kitab.
Selain itu, seperti yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah Daraz, masing-masing dari keduanya memiliki fungsi proteksi terhadap yang lainnya. Dimana membaca membutuhkan menulis sebagai penjagaan (hifdz) terhadap apa yang telah dibaca. Dan menulis juga membutuhkan membaca sebagai hifdz atas apa yang akan ditulis nantinya. Sehingga spirit literasi juga menuntut adanya keseimbangan perjalanan membaca (Al-Qur’an) dan menulis (Al-Kitab) secara bersamaan.
Keseimbangan ini yang agaknya masih belum mendapatkan perhatian yang lebih. Dan menulis yang umumnya menjadi korban yang dikesampingkan. Santri misalnya, mahir dalam muthala‘ah dan mbalagh kitab kuning tetapi lemah dalam bidang tulis-menulis. Kuatnya tradisi oral khas bahtsu al-masa’il boleh jadi momok penyebabnya. Imbas kuat di satu bidang dan lemah di bidang yang lain.
Baca Juga: Mengapa Nama Nabi Muhammad Saw Sedikit Sekali Tersebut Oleh Al-Qur’an?
Padahal seiring dengan adanya perubahan cara keberagamaan yang dipengaruhi teknologi virtual, keterampilan menulis menjadi sangat penting sebagai media dakwah virtual via media sosial dan portal-portal keislaman. Santri sebagai ‘pemilik modal’ keislaman sudah seharusnya mampu membahasakan ulang apa yang telah ditulis ulama terdahulu ke dalam tulisan-tulisan baru yang lebih fresh dan accessible.
Maka menggiatkan kembali aktifitas tulis-menulis sudah seharusnya dilakukan saat ini. Selain sebagai upaya tafa’ul dengan isyarat nama Al-Qur’an, juga sebagai upaya pemenuhan dakwah keislaman. Wallahu a‘lam bi al-shawab.