Tradisi pesantren yang sangat kental dan bertahan hingga saat ini diantaranya yaitu tradisi ta‘ẓīm atau hormat kepada kiai, ustadz, dan juga ulama. Sikap ta‘zīm ini terwujud dalam beberapa hal, seperti dalam interaksi antara seorang santri dan ustadz, atau terlebih lagi terhadap kiai. Hal ini juga tampak pada Kiai Misbah dalam mengelaborasi penafsirannya dengan bahasa yang berlaku dalam tatanan masyarakat Jawa.
Dalam pesantren tradisional, khususnya yang berada di Jawa, sangat paham bagaimana cara memposisikan sebuah bahasa. Salah satunya yakni sebagai media untuk saling menghormati atau biasa disebut unggah-ungguh.
Sikap tersebut dicerminkan dalam bentuk interaksi yang dilakukan untuk menghormati seseorang yang kedudukannya lebih tinggi atau seseorang yang lebih tua dengan menggunakan bahasa Jawa krama. Sedangkan ketika berdialog dengan sesamanya atau lebih muda, menggunakan bahasa yang lebih umum atau disebut dengan bahasa Jawa ngoko.
Penggunaan Bahasa Jawa Krama dan Jawa Ngoko
Stratifikasi bahasa juga disebut dengan hierarki bahasa yang biasa digunakan di dalam karya lokal berbahasa Jawa lainnya seperti tafsir al- Ibrīz karya Bisri Musthofa. Tidak hanya di dalam karya lokal berbahasa Jawa, tetapi dalam karya tafsir lokal berbahasa Sunda, nuansa stratifikasi bahasa semacam ini juga banyak dilakukan.
Baca Juga: Sejarah Kemunculan Tafsir Pesantren
Kiai Misbah dalam menafsirkan Al-Qur’an tampak mengakomodir kearifan lokal tersebut. Hal ini terlihat misalnya dalam menjelaskan perkataan Nabi, malaikat, dan ulama, Mishbah menggunakan redaksi ‘Kanjeng Nabi dhawuh’, ‘Kanjeng Nabi Muhammad matur’, ‘Sakweneh para ulama dawuh’, ‘para ahli tafsir dawuh’, dan lainnya.
Bahasa Jawa krama digunakan untuk penyebutan ungkapan atau menjelaskan seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat. Dalam hal ini Mishbah sebagai individu yang lahir dalam tradisi pesantren Jawa terbukti masih menjunjung tradisi ini.
Selain itu, bahasa Jawa ngoko yang merupakan kebalikan dari bahasa krama, juga tampak dalam tafsir ini. Bahasa ngoko ini biasanya digunakan untuk menunjukkan dialog antar seseorang yang lebih tinggi kedudukannya kepada seseorang di bawahnya, seperti Nabi terhadap sahabatnya, guru terhadap muridnya, dan sebagainya.
Bahkan di beberapa tempat, Kiai Misbah menggunakan redaksi bahasa yang lebih kasar dalam penyebutan yang ditujukan kepada orang-orang kafir, misalnya kata-kata ‘kopok’ (yang berarti tuli), ‘metu seko cangkeme wong kafir’, (keluar dari mulut orang kafir), dan lain sebagainya.
Selain alasan tradisi hormat diatas, penggunaan stratifikasi bahasa dalam tafsir al-Iklīl juga dipengaruhi oleh dialek Al-Qur’an yang mengisyaratkan penjelasan dengan menggunakan riwayat, dialog, dan beberapa komunikasi lainnya. Seperti misalnya komunikasi Nabi dan sahabat dan komunikasi antar sesama.
Hierarki Bahasa yang Kental dalam Penafsirannya
Dalam menjelaskan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan riwayat, Kiai Misbah yang hidup dalam lingkungan pesantren Jawa tentu sangat paham dalam memposisikan bahasa yang sesuai. Hal ini sebagai bukti rasa hormatnya kepada seseorang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi. Misalnya tentang dialog antara Nabi dengan para sahabatnya.
Baca Juga: Tafsir Alquran Aksara Pegon yang Dikenal dalam Tradisi Tafsir Pesantren
Dalam menjelaskan surah Hūd ayat 110, Kiai Mishbah mengutip riwayat dari Anas yang menceritakan tentang datangnya tiga orang sahabat kepada istri-istri Nabi untuk bertanya tentang bagaimana cara Nabi beribadah. Dalam kutipan riwayat inilah kemudian letak stratifikasi bahasa dalam dialog antara Nabi dengan para sahabatnya terlihat.
“Diceritaake sangking Anas radhiyaallahu ‘anhu, panjenengane dawuh: ‘ana wong telu sowan marang garwa-garwone Nabi Muhammad, perlu takon kepriye ngibadahe kanjeng Nabi. Bareng diaturi pirsa apa anane, wong telu iku nganggep namung setitik marang ngibadahe kanjeng Nabi, lan pada ngucap: ‘kitha kabeh ora bisa dipadaake karo kanjeng Nabi. Kerana kanjeng Nabi wus dingapura dosane. Kang wus dilakoni lan kang bakal dilakoni’. Nuli kang siji ngucap: ‘yen aku selawase, aku bakal sholat bengi terus’. Kang siji ngucap: ‘aku arep nyingkiri wong wadon, selawase ora bakal ngumpuli wong wadon. Sakwuse Rasulullah diaturi pirsa gunemane wong telu iki, nuli Rasulullah nemoni wong telu iki, nuli dawuh: ‘apa sira kabeh kang guneman mengkene-mengkene?. Iling-iling! Demi Allah!, ingsun iki wong kang paling wedi Allah katimbang sira kabeh lan wong kang paling ati-ati kerana Allah. Nanging ingsun iki iya pasa, iya ora pasa, iya shalat bengi, iya turu, iya rabi wong wadon. Mengko sapa-sapa wong kang seneng ninggalake sunnah ingsun, wong iku ora setengah sangking golongan ingsun, tegese ora perik marang ingsun”. (al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil: 2174-2175)
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa terdapat penggunaan bahasa Jawa ngoko yang digunakan untuk menunjukkan perkataan antar sesama para sahabat. Kemudian beberapa bahasa krama untuk menunjukkan kalimat yang ditujukan kepada Nabi, seperti ‘Nabi diaturi pirsa’, ‘Nabi dawuh’, dan lainnya. Wallahu a’lam.