KH Achmad Asrori Al-Ishaqi atau yang lebih akrab disapa Yai Rori adalah Mursyid Thariqah asal Surabaya. Pendiri dan pengasuh pondok pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.
Meski pada usia dewasa beliau dikenal sebagai sosok yang tawadhu, istiqomah, sabar dan banyak sifat terpuji yang pantas disandingkan dengan diri dan namanya, pada usia muda beliau dikenal sebagai pemuda yang ‘bandel’ dan ‘agak nyeleneh’. Di masa kecilnya ia juga bukan anak yang tergolong patuh.
Dr. Mahmud Sujuthi dalam karyanya Politik Tarekat menggambarkan Yai Rori sebagai pemuda yang cerdas. Dan ketika masih menjadi santri, beliau cukup mumpuni untuk mengulas dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al Ghazali yang fenomenal itu, KH M. Utsman al Ishaqi bahkan ngendikan (berkata), “kalau saya bukan bapaknya, saya mau kok ngaji kepadanya”.
Baca juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia
Lebih jauh dari itu Kiai Utsman mempercayakan tonggak karir kemursyidannya kepada Yai Rori muda ketimbang saudaranya yang lain. Sepanjang mengasuh Ponpes Assalafi Al Fithrah hingga akhir hayatnya, Yai Asrori juga bisa dikatakan sebagai ulama yang produktif dalam membaca dan menulis.
Beberapa karya lahir dengan metode penulisan dan analisa pemikirannya yang epik. Masterpiecenya yang berjudul Al Muntakhobat, terdiri dari lima juz, kelak diketahui ia menjadi rujukan-panutan para pengamal Tarekat, khususnya Qadariyah wa al Naqsabandiyah.
Warisan Ijazah KH Achmad Asrori Al-Ishaqi
Selain mewariskan buah pemikiran, Yai Rori juga mewariskan ijazah-‘amalan. Majlis khususi adalah salah satu warisan ‘amalan dari para gurunya yang terus dikucurkan oleh Yai Rori pada para murid dan jamaahnya. Rentetan acaranya adalah sepenuhnya bermunajat kepada Allah melalui pujian-pujian kepadaNya. Berikut adalah berdzikir yang diajarkan Kyai Rori.
Allahumma yaa qaadial hajaat (Ya Allah.. Dzat yang Maha memenuhi segala hajat)
Allahumma yaa kaafiyal muhimmaat (Ya Allah.. Dzat Maha mencukupi segala hal yang penting)
Allahuma yaa rafi’ad arajaat (Ya Allah.. Dzat yang Maha meninggikan derajat)
Allahumma yaa daafi’al baliyyat (Ya Allah.. Dzat yang Maha mencegah segala bencana dan musibah)
Allahumma yaa mujibad da’awaat (Ya Allah Dzat Maha mengabulkan segala doa)
Allahumma yaa syaafial amradh (Ya Allah Dzat yang Maha menyembuhkan segala macam sakit dan penyakit)
Allahumma yaa arhamar raahimiin (Ya Allah.. Dzat yang sifat kasih sayangNya paling besar dari orang-orang yang bersifat pengasih)
Munajat-munajat di atas adalah cuplikan munajat yang dibaca di acara majlis khususi yang diwariskan romo Yai Rori sampai hari ini. Cuplikan di atas, jika ditelisik dengan seksama merupakan inti dari majlis khususi tersebut. Biasanya, para jama’ah akan lebih khusyu’ ketika membaca dzikir tersebut, sambil menudukkan kepala hingga dzikir selesai.
Poin besar yang dapat dipetik dari hasil membaca munajat-munajat khususi adalah, memberikan pengakuan (al i’tiraf) di awal lebih ideal dibanding mengajukan dan terus mengajukan permintaan.
Baca juga: Mengenal Surah Al-Baqarah (Bag. 1): Karakteristik dan Nama Lainnya
Munajat-munajat yang terdapat dalam pada dzikir tersebut semuanya adalah berbentuk pengakuan. Bukan permintaan. Dalam munajat itu, kita memberikan pengakuan seperti, allahumma yaa qadial hajat didengungkan, secara tidak langsung kita juga mengakui bahwa hanya Allah yang mampu memberikan kita segala apa yang kita butuhkan, dan seterusnya.
Seperti Halnya Bermunajat dengan Surat Al-Fatihah
Munajat model begini sebenarnya sudah dicontohkan di Al-Qur’an dalam surat Al Fatihah. Mulai dari bismillah sampai iyyaka na’budu, karena jika kita cermati, berdzikir dengan surat al-fatihah merupakan bentuk pengakuan terhadap kebesaran dan keagungan Allah Swt melalui sifat-sifatNya dan seluruh mahaNya. Permintaan justru baru muncul pada ayat setelahnya, ihdinas shirathal mustaqim, baru di titik ini, kalimat permintaan digunakan.
Para Mufassir pun demikian, Darwazah Muhammad Izzat pun dalam Al Tafsir al Hadithnya menyebutkan, bahwa komposisi surat Al Fatihah adalah: Pertama, cara Al Qur’an mendidik makhluk untuk berdoa dan memuji Allah Swt. Kedua, mengakui keluasan rahmatNya, ketiga, penghambaan makhluk dan mengesakanNya, mengakuiNya sebagai satu-satunya Tuhan yang ada, tiada dua, tiga, empat dan seterusnya, dan keempat Baru di akhir, surat ini berisi permintaan, agar ditetapkan nikmat iman, dan dijauhkan dari menjadi hambaNya yang tersesat atau dimurkai.
Model yang lain bisa kita lihat pada bacaan sayyidul istighfar. Berbeda dengan (bacaan) istighfar lain yang berisi permohonan ampun, bacaan istighfar (sayyidul istighfar) itu justru berisi pengakuan.
Bentuk yang lain lagi, bisa kita temui dalam bacaan istighasah “laa ilaha illaa anta subhanaka innii kuntu minadz dzalimin” pada titik ini, kita memberikan pengakuan betapa hinanya diri kita, sekaligus mengakui Maha Sucinya Ia, mengakui betapa zalimnya kita, dan berharap banyak bahwa Ia akan mengampuni segala dosa.
Baca juga: Menilik Peta Perkembangan Tafsir Modern di Mesir dari Kacamata J.J.G. Hans Jansen
Kemudian jika kita menyebut dzikir yang diijazahkan oleh Kyai Rori, juga mengajarkan untuk mengakui sekaligus mengukuhkan posisi Allah Swt, bahwa hanya Dia-lah yang dapat memenuhi segala kebutuhan kita (allahumma yaa qaadial haajat). Mengakui bahwa kita akan selalu butuh padaNya dalam pemenuhan segala kebutuhan kita.
Pada sebuah hadith qudsi – hadith yang maknanya dari Allah namun redaksinya datang dari Nabi Saw – yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, disebutkan bahwa nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman: barangsiapa yang lebih sibuk berdzikir dan mengigatku dibanding memintakan hajatnya kepadaku, maka akan Aku berikan sesuatu yang lebih lagi lebih utama dibanding apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta kepadaKu (tapi tidak mengingatKu)”.
Yai Rori juga, dalam sebuah pengajian pernah menjelaskan kandungan hadith qudsi di atas. Beliau menyatakan, bahwa orang yang meminta, bukan berarti tidak mengingatNya, akan tetapi lebih condong mengingat list kepentingannya dibanding (mengingat) ia sedang menghadap siapa. Dalam kelas tarekat, ini tentu masuk pada tingkatan su’ul adab dalam berdoa.
Tetapi, penting pula diingat, bahwa memohon dan memintakan semua kebutuhan yang sudah kita list sebelum menengadahkan tangan kepadaNya bukanlah hal yang salah atau keliru. Sebab, firmanNya dalam Al Qur’an, Allah menyuruh kita berdoa.
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al Baqarah (2): 186)
Bahkan, dalam Riwayat yang lain disebutkan, Dia sangat suka mendengar hambaNya merintih, memohon dengan penuh kesungguhan dalam berdoa. Dalam kondisi tertentu, Dia memang sengaja tak langsung mengabulkan doa hambaNya, sebab jika langsung dikabulkan, si pendoa tersebut bisa jadi akan berhenti menengadahkan tangan dan berhenti berdoa.
Untuk Dua ayat yang sedang didiskusikan ini sederhananya adalah tentang kelas atau tingkatan kita dalam berdoa dan menghambaan diri kepadaNya. Wallahu a’lam[]