BerandaTafsir TematikSurah Al-Furqan Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional

Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional

Sedekah merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Ia bisa berupa harta maupun non-harta seperti tenaga, pikiran, dan senyuman. Semakin banyak seseorang bersedekah, maka semakin banyak pahala yang didapatkan. Namun dengan catatan, ia harus bersedekah secara proporsional, yakni tidak berlebih-lebihan, dan tidak mengabaikan atau meninggalkan kewajiban lain.

Bersedekah secara proporsional adalah manifestasi ajaran Islam yang moderat. Sebab, di satu sisi umat Islam diperintahkan membantu sesama melalui sedekah, sedangkan di sisi lain mereka diperintahkan pula untuk menjaga kelangsungan kehidupan dengan menyisakan harta bagi keluarga dan diri mereka. Dua kutub ini ibarat kedua sisi timbangan yang senantiasa saling menyeimbangkan.

Anjuran bersedekah secara proporsional dapat ditemukan dalam sumber-sumber ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadis dari nabi Muhammad saw. Hampir semua dalil-dali itu menunjukkan bahwa umat Islam tidak boleh melakukan sedekah secara berlebihan, apalagi sampai menyedekahkan harta tanpa tersisa sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban dasar seperti menafkahi keluarga.

Baca Juga: Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran

Sebagai contoh, dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Ka’ab bin Malik berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu bukti dari tobatku adalah dengan melepaskan diriku dari seluruh hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda: “Tahanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu.” Ia berkata, “Saya menahan saham saya yang ada di Khaibar.” (HR. Bukhari)

Esensi ajaran yang sama juga telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yakni surah al-Furqan [25] ayat 67. Ayat ini berisi tentang anjuran bersedekah secara proporsional, tidak kurang (khususnya dalam zakat fitrah dan zakat mal), dan tidak pula berlebihan. Bahkan, disebutkan bahwa ciri-ciri orang yang bertakwa adalah bersedekah secara proporsional. Firman Allah swt:

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا ٦٧

Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqan [25] ayat 67).

Menurut Quraish Shihab, surah al-Furqan [25] ayat 67 penjelasan lanjutan terkait ciri-ciri mukmin sejati – salah satunya – yakni menafkah harta dan bersedekah secara proporsional. Maksudnya adalah seseorang mengeluarkan sedekah dari harta yang dimilikinya secara adil-bijaksana. Ia tidak bersedekah secara berlebihan dan tidak pula pelit akan hartanya.

Pada surah al-Furqan [25] ayat 67 Allah swt seakan berfirman, “Dan ciri mukmin sejati lainnya adalah orang-orang yang apabila bernafkah yakni membelanjakan harta mereka, baik untuk dirinya, maupun keluarganya atau orang lain, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah ia yakni pembelanjaan mereka berada di pertengahan antara keduanya.

Kata yusrifu diambil dari kata sarf yang berarti melampaui batas kewajaran sesuai dengan kondisi penafkah dan yang diberi nafkah. Dalam konteks ini, ada dua tolak ukur suatu sedekah atau nafkah dikatakan berlebihan, yaitu: pertama, orang yang bersedekah memberi lebih dari kemampuan finansialnya sehingga ada kemungkinan mudarat (Tafsir al-Misbah [9]: 533).

Kedua, pemberian yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan orang yang menerima. Misalnya, Quraish Shihab mencontohkan, seseorang dianggap tercela jika memberi seorang anak kecil harta berlimpah ruah jauh melebihi kebutuhannya. Seseorang juga dianggap tercela jika memberikan orang dewasa lagi membutuhkan harta sebanyak pemberian kepada anak kecil.

Kemudian, kata qawama berarti adil, moderat, dan pertengahan. Melalui ayat ini, Allah swt dan Rasul-Nya menganjurkan manusia untuk bersedekah secara proporsional, yakni tidak memboroskannya sehingga habis, tetapi pada saat yang sama tidak menahannya sama sekali sehingga tidak terjadi pengabaian terhadap kepentingan umum, tepatnya masyarakat yang membutuhkan bantun.

Al-Sa’adi menyebutkan dalam tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah al-Furqan [25] ayat 67 bermakna mukmin adalah orang-orang yang menafkahnya hartnya – baik nafkah yang wajib maupun yang sunah – dengan sewajarnya dan tidak melampaui batas yang sampai pada taraf mubazir. Mereka juga tidak menahan nafkah tersebut seperti orang bakhil dan kiki. Mereka – selalu – menafkahkan harta secara proporsional dan bijaksana.

Hal serupa disampaikan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid. Menurutnya, surah al-Furqan [25] ayat 67 bermakna mukmin adalah orang-orang yang apabila mereka menafkahkan harta, mereka tidak melampaui batas yang semestinya (kewajaran) dan mereka tidak pula mengecilkannya seminimal mungkin layaknya orang kikir. Mereka berada di tengah-tengah keduanya (qawama).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah

Sedangkan Imam Jalaluddin al-Suyuthi berkata, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan) hartanya kepada anak-anak mereka, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, yakni tidak mempersempit perbelanjaannya. Dan adalah nafkah mereka di antara yang demikian itu, yakni di antara berlebih-lebihan dan kikir – mengambil jalan pertengahan – yakni tengah-tengah.” (Tafsir Jalalain).

Berdasarkan penjelasan di atas, surah al-Furqan [25] ayat 67 secara umum berbicara mengenai anjuran menafkahkan harta secara sewajarnya, yakni tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Dalam konteks sedekah, ayat ini juga berisi anjuran untuk bersedekah secara proporsional dan bijaksana. Oleh karena itu, sebaiknya sedekah diberikan dengan tetap memperhatikan kewajiban. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...