BerandaTafsir TematikSurah Al-Hajj Ayat 36-37: Dua Tujuan Ibadah Kurban

Surah Al-Hajj [22] Ayat 36-37: Dua Tujuan Ibadah Kurban

Setiap bulan Dzulhijjah, tepatnya pada tanggal 10, 11, 12, dan 13, umat Islam yang tidak melaksanakan haji disunahkan untuk melakukan ibadah kurban dengan menyembelih hewan ternak dan membagikannya kepada orang lain guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. Hewan ternak yang bisa digunakan dalam ibadah kurban terdiri dari domba, kambing, sapi, dan unda atau biasa disebut al-udhiyah (Bidayat al-Mujtahid).

Sama seperti ibadah-ibadah lain dalam ajaran Islam, tujuan ibadah kurban terdiri dari dua dimensi utama, yakni dimensi ritual-spiritual dan dimensi sosial. Dua dimensi tujuan ibadah kurban ini mesti ditekankan oleh setiap muslim, karena tanpa kehadiran salah satunya, pelaksanaan ibadah kurban akan kehilangan sebagian makna utamanya.

Baca Juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 34: Berkurban Adalah Syariat Agama Samawi

 Dua tujuan ibadah Al-Qur’an tersebut disebutkan oleh Allah dalam surah al-Hajj [22] ayat 36-37 yang berbunyi:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٣٦ لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ ٣٧

Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.”

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demi-kianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj [22]: ayat 36-37).

Secara umum, surah al-Hajj [22] ayat 36-37 perintah melaksanakan ibadah kurban atas nama Allah swt untuk mengagungkan-Nya, membagikan daging kurban kepada orang yang berhak, dan meluruskan niat ibadah kurban, yakni semata-semata mengupayakan rida Allah dalam konteks ketakwaan. Orang yang mampu melakukan itu semua disebut sebagai muhsinin.

Menurut Quraish Shihab, surah al-Hajj [22] ayat 36 berisi tentang perintah menyembelih hewan kurban atas nama Allah swt. Bentuk ucapannya adalah bismillah, Allahu Akbar, Minka Wa Ilaika (dengan nama Allah, Allah Maha Besar, dari-Mu sumbernya dan kepada-Mu aku tujukan). Selain itu, Allah juga memerintahkan untuk membagi daging kurban kepada orang yang berhak.

Kemudian menurutnya, surah al-Hajj [22] ayat 37 berisi tentang tujuan ibadah kurban yang paling asasi, yakni mendekatkan diri dan bertakwa kepada Allah swt. Ketakwaan inilah yang membuat ibadah kurban seseorang diterima di sisi Allah, bukan hal lain. Ditegaskan juga bahwa ketakwaan itu sendiri semata-mata berasal dari petunjuk-Nya (Tafsir al-Misbah [9]: 60).

Al-Sa;adi dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan menyebutkan, surah al-Hajj [22] ayat 36 berisi tentang perintah berkurban dengan menyebut nama Allah, memakan dan membagikan daging kurban kepada orang-rang yang berhak, yakni al-qani’ dan al-mu’tar. Al-qani’ adalah fakir yang tidak mau meminta-minta, sedangkan al-mu’tar adalah fakir yang meminta sedekah.

Lalu pada surah al-Hajj [22] ayat 37 ditegaskan bahwa tujuan dari ibadah kurban bukan sekedar menyembelih hewan kurban dengan nama Allah, karena pada hakikatnya Dia tidak membutuhkan itu, Dia Maha Kaya dan Maha Terpuji. Tujuan ibadah kurban yang sebenarnya – menurut al-Sa’adi – adalah merengkuh keikhlasan, bentuk upaya ketaatan, dan niat yang benar, yakni mengharap rida Allah semata, bukan untuk menyombongkan diri maupun riya.

Hal senada juga disampaikan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsir Marah Labid. Ia menyebutkan bahwa surah al-Hajj [22] ayat 36 berbicara tentang ketentuan ibadah kurban, mulai dari niat yang tulus karena Allah swt, menyebut nama-Nya ketika berkurban, perintah untuk memanfaatkan sebagian dagingnya bagi diri sendiri, dan juga membagikan dagingnya kepada orang yang membutuhkan.

Al-Bantani menegaskan, tujuan ibadah kurban pada dasarnya adalah bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan. Oleh karena itu, hendaknya ibadah kurban dilakukan dengan penuh keikhlasan, sebab yang menjadi patokan diterimanya atau tidaknya ibadah kurban ialah keikhlasan dan ketakwaan dari pelaku. Ia menyebut, “darah dan daging kurban tidak akan sampai kepada Allah, yang sampai adalah perbuatan baik yang ada di dalamnya seperti sedekah.”

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memakan Janin yang Mati dalam Perut Hewan yang Disembelih

Artinya, hal yang paling mendasar dari ibadah kurban ada dua hal, yakni: pertama, keikhlasan dan ketauhidan kepada Allah swt dalam ibadah kurban. Hal ini diisyaratkan dengan menyebut nama-Nya. Kedua, berbuat baik kepada sesama dengan cara membagikan sebagian rezeki dari Allah berupa daging kurban sebagai bentuk rasa syukur dan manifestasi ketaatan kepada-Nya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surah al-Hajj [22] ayat 36-37 berisi tentang dua dimensi tujuan ibadah kurban, yaitu: pertama, tujuan yang bersifat ritual-spiritual guna mendekatkan diri kepada Allah swt. Kedua, tujuan yang bersifat sosial dalam rangka membangun masyarakat sejahtera. Dua tujuan ini juga menegaskan bahwa Islam adalah agama ketuhanan dan kemanusiaan. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...