Al-Qur’an melarang umat Islam berbuat aniyaya kepada orang lain karena kebencian yang ada dalam diri mereka, sebagaimana dalam surah al-Maidah ayat 2 :
…وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوى وَلا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقابِ
Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.
Baca juga: Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?
Sebab Nuzul Ayat
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Zaid bin Aslam: para sahabat Nabi Saw merasa cemas dengan perilaku orang-orang musyrik yang menghalangi mereka dan Rasul Saw. ketika akan mengerjakan umrah di Masjidil Haram di Mekah (yang menimbulkan perjanjian Hudaibiyah antara kaum Muslimin dan Musyrikin).
Suatu hari, lewatlah orang-orang musyrik dari penduduk masyriq yang akan melaksanakan umrah (maksudnya, bukan ibadah umrah seperti yang dilakukan oleh umat Islam). Lalu, para sahabat Nabi Saw. berkata : “Mari kita cegah mereka sebagaimana mereka pernah mencegah sahabat-sahabat kita”. Maka Allah menurunkan ayat ini (ungkapan : “walayajrimannakum” sampai akhir ayat).
Ayat ini diturunkan pada masa Fathu Makkah, kurang lebih sekitar delapan tahun hijriyah. Sedangkan umat Islam dihalang-halangi oleh orang-orang musyrik saat akan melaksanakan umrah pada masa perjanjian hudaibiyah, kurang lebih sekitar enam tahun hijriyyah dan sebelum ayat ini turun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ayat ini termasuk ayat madaniyah (ayat yang turun setelah hijrah Rasul Saw.).
Baca juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain
Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong
Ayat ini memerintahkan kepada umat Islam agar mereka selalu berlaku adil kepada siapapun dan dimanapun mereka berada, sebab siapapun berhak mendapatkan keadilan, baik muslim maupun non muslim. Karena itu, ayat ini melarang umat Islam memiliki dendam dan mengumbar kebencian kepada orang lain. Sifat benci dan dendam akan menghalangi seseorang untuk berbuat adil.
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (3/13) ayat ini merupakan bukti nyata betapa Al-Qur’an menekankan keadilan. Walaupun umat Islam membenci musuh hingga mencapai puncak kebenciannya lantaran musuh itu menghalang-halangi pelaksanaan tuntunan agama, tapi musuh itu masih harus diperlakukan secara adil, apalagi musuh yang dibenci belum sampai ke puncak kebencian dan oleh sebab lain yang lebih ringan.
Umat Islam dituntut agar mereka dapat mengendalikan jiwa sehingga mencapai tingkatan toleransi hati. Umat Islam memiliki tanggung jawab untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dan melupakan deritanya di masa lalu agar mereka dapat mencapai tingkatan ini. Dengan demikian, mereka akan selalu berperilaku baik dan adil kepada semua orang. Perilaku inilah yang dapat menarik dan menjadikan hati manusia cinta kepada Islam.
Baca juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial
Perintah berbuat adil kepada siapapun ini kemudian dihubungkan dengan perintah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Al-Qurtubi menukil pendapat dari al-Mawardi dalam kitab Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (6/47) bahwa perintah tolong menolong dalam ayat ini yang dihubungkan dengan taqwa mengandung isyarat bahwa dengan bertaqwa, seseorang akan mendapatkan ridha/kerelaan Allah, dan dengan tolong menolong dalam kebaikan, seseorang akan mendapatkan ridha/kerelaan dari manusia. Siapapun yang mendapatkan kedua ridha ini, maka ia akan memperoleh kebahagiaaan dan kenikmatan yang sempurna.
Al-Qurtubi juga menukil pendapat Ibn Khuwayz Mandad yang mengatakan bahwa saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya : pertama, seorang yang alim (dalam bidang agama) menolong orang lain dengan mengajarkan ilmu agama kepadanya.
Kedua, orang kaya membantu orang lain yang miskin dan fakir dengan kekayaannya. Ketiga, orang yang pemberani berjuang di jalan Allah dengan keberaniannya. Keempat, orang-orang islam saling bahu membahu bagaikan satu anggota tubuh. Kelima, selalu menghindari berbagai macam permusuhan dan tidak berkecimpung dalam hal-hal yang memicu terjadinya konflik dan pertengkaran.
Islam adalah agama toleransi dan keadilan yang tidak membenarkan perilaku saling membenci antar umat beragama. Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya agar saling bagu membahu dalam kebaikan. Hal ini bertujuan untuk memperkuat keimanan orang-orang yang beriman dan menarik simpati orang-orang non muslim agar mereka bertobat dan mengakui kesalahan mereka.
Kebencian yang mendarah daging dapat memicu terjadinya konflik dan merusak kerukunan masyarakat dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Sifat ini dapat merusakan tatanan masyarakat yang sejahtera dan harmonis. Memang, benci adalah sifat yang wajar bagi manusia, tetapi jangan sampai kebencian itu membawanya pada permusuhan yang berlarut-larut. Perilaku tolong menolong akan sirna dengan kebencian yang demikian.
Baca juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah
Saat Zayd bin al-Khattab (saudara Umar bin al-Khattab) dibunuh oleh Abu Maryam al-Hanafi, maka Umar bin al-Khattab tidak melampiaskan kebenciannya kepada Abu Maryam. Lagipula, pembunuh itu sudah bertobat dan masuk Islam. Suatu hari seseorang berkata kepada beliau : wahai Umar, ini adalah pembunuh saudaramu ! (maksudnya, orang itu bertanya apakah Umar tidak membalaskan dendamnya).
Lalu, Sayyiduna Umar menjawab perkataan orang itu : “Apa yang bisa saya lakukan dengan dia ketika Tuhan telah membimbingnya ke jalan Islam ?”. Maksud jawaban beliau ini adalah tidak perlu mengumbar kebencian dan dendam kepada orang yang pernah menyakiti perasaan kita. Apalagi, orang itu sudah benar-benar insaf dan mendapat hidayah.
Dengan demikian, perintah dalam ayat ini merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dan saling bahu membahu dengan siapa pun, baik muslim maupun non muslim selama tujuannya adalah kebajikan, ketakwaan dan kemaslahatan bersama.
Wallahu A’lam