Menurut M. Quraish Shihab, dalam Tafsir al-Misbah, surah Alkafirun adalah surah yang tema utamanya adalah penolakan upaya win-win solution kaum kafir Quraisy untuk penyatuan ajaran agama dalam rangka mencapai kompromi, sambil mengajak agar masing-masing melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya tanpa saling mengganggu.
Potret Kaum Kafir Quraisy Sebelum Datangnya Islam
Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy dalam kitab Tafsir Juz ‘Amma (hal. 627), surah Alkafirun berisi tentang inti dari ketauhidan. Kaum Arab pada masa Nabi Saw. memang tidaklah meniadakan ketuhanan Allah, akan tetapi mereka tidak mengenal hakikat Allah yang disifati-Nya sebagai Tuhan tempat meminta. Oleh karena itu, mereka melakukan kekafiran dan tidak menyembah Allah sebagaimana layaknya Tuhan untuk disembah.
Lebih jauh lagi, menurut beliau, mereka menyekutukan Allah Swt. dengan patung dan berhala yang merupakan lambang dari para orang berjasa dan pemimpin, atau lambang dari para malaikat yang membantu kelangsungan hidup mereka.
Baca Juga: Tafsir Surah Al Kafirun Ayat 1-6
Mereka menduga bahwa malaikat adalah anak gadis Allah, atau antara Tuhan dengan jin ada hubungan, atau mereka melupakan lambang ini dan menjadikannya sebagai Tuhan. Dalam kondisi itu atau pun, mereka menjadikan patung atau berhala sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hal tersebutlah, menurut Asy-Syarawy, yang dituangkan oleh Allah Swt. dalam Alquran saat mengisahkan tentang kekafiran Quraisy:
مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ
“Kami tidak menyembah mereka kecuali sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.” (Q.S Alzumar [39]: 3) (Tafsir Juz ‘Amma, 627)
Mereka Sebenarnya Sudah Mengenal Allah
Lebih jauh, menurut Syekh Asy-Sya’rawy, Alquran juga mengisahkan bahwa kaum kafir sebenarnya mengakui bahwa alam ini telah diciptakan oleh Allah, Dia pencipta langit, bumi dan menundukkan matahari dan bulan, menurunkan hujan dari langit. Hal ini terbukti dengan firman-Nya,
وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ ۗ
“Ketika mereka ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, menundukkan matahari dan bulan? Niscaya mereka akan berkata: “Allah”. (Q.S Al’ankabut [29]: 61) Lihat juga ayat 63 dari surat yang sama.
Baca Juga: Orang Kafir Makkah Ternyata Percaya Allah
Lebih dari itu, dalam sumpah bangsa Arab selalu menyebutkan: “Demi Allah”, atau “dengan nama Allah”. Begitu juga dalam doa mereka selalu dimulai dengan “Allahumma” atau Ya Allah. Tapi, walaupun mereka beriman kepada Allah sebagai Tuhan, tetap saja kemusyrikan yang mereka lakukan merusak ibadah mereka.
Upaya Win-Win Solution Kaum Kafir Quraisy Terhadap Dakwah Nabi Muhammad Saw
Masih dalam kitab yang sama, Syekh asy-Sya’rawy juga mengisahkan bahwa saat Nabi Muhammad Saw. berkata kepada kaum kafir Quraisy, bahwa Islam adalah penerus agama Ibrahim, kaum kafir Quraisy malah berkata, “Kami berada di jalan agama Ibrahim.” Jadi menurut mereka, tidak ada alasan untuk mereka meninggalkan agama nenek moyangnya dan mengikuti Muhammad Saw. dengan agama barunya.
Dalam waktu yang lain, mereka mencari win-win solution yang membuat Nabi Muhammad Saw. senang dan mereka juga bahagia. Mereka menawarkan agar Nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya mau sujud di hadapan Tuhan berhala mereka, dengan balasan mereka juga akan sujud kepada Allah. Dengan catatan, jangan menghina Tuhan mereka, dan Nabi Muhammad Saw. juga diberi kesempatan untuk bernegoisasi atas apa yang dikehendakinya.
Ini terjadi kerena kesalahan mindset mereka. Pengakuan mereka terhadap Allah Swt. dengan menyembah berhala itulah puncak kesalahan. Dengan dugaan, bahwa jarak antara mereka dengan Muhammad Saw. itu dekat, hingga dapat dirapatkan, atau dibagi negeri ini menjadi dua bagian untuk bertemu di tengah jalan dengan tarik ulur di antara keduanya. (Tafsir Juz ‘Amma, 628-629).
Menurut Syekh Asy-Sya’rawy, dalam Tafsir Juz ‘Amma (hal. 629) untuk memutuskan apa yang mereka pikirkan dari mindset yang salah itu, turunlah surat Alkafirun ini untuk menjelaskan manhaj (metode) yang harus ditempuh.
Dengan keputusan ini, maka berakhirlah negoisasi tanpa win-win solution. Nabi Muhammad Saw. tetap dalam pendirian bahwa Islam tidak sama dengan kemusyrikan; tauhid yang diajaknya berbeda sekali dengan kemusyrikan. Ketetapan ini telah memutus harapan persamaan dan tiada ruang damai di dalam akidah. Islam tetap sebagai agama yang benar, dan Allah adalah Tuhan Yang Esa. (Tafsir Juz ‘Amma, 629)
Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (hal. 573-574) ditemukan beberapa riwayat tentang sabab nuzul ayat surah ini, antara lain adalah bahwa beberapa tokoh kaum musyrikin di Mekah di antaranya al-Walid Ibn al-Mughirah, Aswad Ibn ‘Abdul Muththalib, Umayyah Ibn Khalaf, datang kepada Rasul Saw. menawarkan win-win solution yang menyangkut pelaksanaan tuntunan agama (kepercayaan). Usul mereka adalah agar Nabi bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka, dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam.
Menurut beliau, upaya win-win solution kaum kafir Quraisy itu ditolak oleh Rasulullah Saw., karena tidak mungkin dan tidak logis pula terjadi penyatuan agama-agama. Setiap agama berbeda dengan agama yang lain, demikian pula dalam ajaran pokok dan perinciannya. Karena itu, tidak mungkin perbedaan-perbedaan itu digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya.
Masing-masing penganut agama -tulis beliau lebih jauh- harus yakin sepenuhnya dengan ajaran agama dan kepercayaannya. Dan selama mereka telah yakin, mustahil mereka akan membenarkan ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan kepercayaannya. Sikap Nabi Muhammad Saw. Yang menolak ajakan atau win-win solution kaum kafir Quraisy itu diperkuat oleh Allah Swt. dengan turunnya surah ini. (Tafsir al-Misbah, Jilid 15, 573-574)
Wallahu a’lam.