Jika kita bertanya tentang kebahagiaan kepada masyarakat modern, umumnya mereka menjawab memiliki kekayaan harta yang melimpah, populer dan punya jabatan. Ketiga hal itu merupakan indikator sebuah kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup.
Padahal jika asumsi tersebut benar, mengapa ada saja orang kaya yang stres dan ada artis yang bunuh diri? Dan kenapa ada tukang becak pinggir jalan masih bisa tersenyum kepada takdir? Ini artinya kebahagiaan atau kekayaan itu tidak bergantung kepada sesuatu yang sifatnya material semata. Memang benar manusia memerlukan materi, tapi itu bukanlah segala-galanya dan bukan juga ukuran kebahagiaan/kemuliaan.
Pandangan yang materialistis seperti ini dibantah dalam Alquran, tepatnya pada firman Allah Q.S. Al-Fajr [89]: 15-16 yang bunyinya,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku” dan adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“.
Baca Juga: Benarkah Ibn ‘Arabi Mendukung Paham Panteisme dalam Tafsirnya?
Al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir (15/612-613) menjelaskan bahwa pada ayat di atas Allah ingin menjelaskan kesalahan persepsi sebagian manusia yang menjadikan banyaknya harta sebagai tolak ukur keridhaan Allah, seakan-akan ketika mereka diberkan harta dan kenikmatan itu artinya mereka dimuliakan oleh Allah dan mereka adalah orang pilihan Allah, padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Persepsi keliru seperti ini tidak hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang tidak beriman, tetapi juga bisa menjangkiti orang-orang Islam yang belum mengetahui ataupun mengetahui hakikat dunia dan kehidupan ini.
Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (8/398) menyebutkan bahwa hakikatnya harta benda itu adalah ujian dan cobaan, bukan tolak ukur keridhaan Allah,
يقول تعالى منكرا على الإنسان في اعتقاده إذا وسع الله عليه في الرزق ليختبره في ذلك, فيعنقد أن ذلك من الله إكرام وليس كذلك, بل هو ابتلاء وامتحان.
Terjemah bebasnya, pada ayat ini Allah mengingkari anggapan sebagian manusia bahwa seandainya Allah meluaskan rizki mereka itu berarti Allah sedang memuliakan mereka, padahal anggapan ini tidaklah benar karena hakikatnya harta benda itu adalah cobaan (ibtila’) dan ujian (imtihan).
Dan sebaliknya pada ayat 16 sebagian manusia itu meyakini jika Allah ‘menahan’ rezeki mereka dan membuat mereka melarat, artinya Allah sedang murka dan menimpakan kehinaan kepada mereka. Persepsi ini juga keliru.
Dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (5/310) imam al-Baidhawi menjelaskan bahwa anggapan seperti ini juga tidak bisa dibenarkan dan sebenarnya berangkan dari sempitnya cara pandang terhadap kehidupan dan kebahagiaan serta buruknya prasangka kepada Allah.
Kesimpulan dari dua ayat ini sebagaimana disampaikan oleh al-Zuhaili (15/613-614) adalah bahwa kekayaan, harta dan jabatan bukanlah pertanda akan ridha-Nya Allah terhadap seorang hamba, begitu juga sebaliknya bahwa kefakiran dan ‘pas-pasan’ bukanlah pertanda kemurkaan Allah kepada seorang hamba.
Karena harta dan semua yang Allah titipkan kepada seorang hamba adalah amanah dari-Nya, maka yang terpenting bukanlah soal banyaknya harta tersebut melainkan bagaimana cara dia mendapatkannya serta bagaimana cara dia bertanggung jawab atas amanah yang diberikan Allah tersebut.
Ada sebuah sabda Rasulullah yang menjelaskan bahwa kekayaan yang sebenarnya itu adalah hati yang kaya. Beliau bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: “لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ”. (رواه البخاري).
Terjemahnya, Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “kekayaan itu tidaklah diukur dengan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan hati”. (HR. Bukhari).
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan
Jiwa atau hati yang kaya adalah kuncinya. Memiliki kekayaan harta itu masih bagaikan pisau bermata dua, ia bisa mengantarkan kepada kebaikan dan juga keburukan. Namun orang dengan hati yang kaya akan mampu membuat semua yang ia miliki menjadi bermakna.
Terakhir, Al-Baidhawi mengatakan,
فإن التقتير قد يؤدي إلى كرامة الدارين, والتوسعة قد تفضي إلى قصد الأعداء والإنهماك في حب الدنيا.
“Sungguh, terkadang kefakiran dan kekurangan itu bisa mengantarkan kepada kemuliaan di dunia dan akhirat, dan kelapangan harta terkadang bisa mengantarkan kepada permusuhan serta cinta dunia (dan oleh karena itu kelak akan mendapatkan balasan dari Allah).”
Demikianlah pandangan tentang materialism yang didasarkan pada Surat Al-Fajr ayat 15 – 16 dan keterangan dalam hadis Nabi saw. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.