BerandaTafsir TematikSurat Al-Kautsar: Asbabun Nuzul dan Riwayat Kematian Putra Nabi Saw

Surat Al-Kautsar: Asbabun Nuzul dan Riwayat Kematian Putra Nabi Saw

Surat al-Kautsar adalah surat ke-108 dalam Al-Qur’an. Surat yang berjumlah tiga ayat ini merupakan surat Makkiyah (surat yang diturunkan pra-hijrah). Namun sebagian ulama ahli qira’at mengatakan bahwa surat ini adalah surat Madaniyah. Terlepas dari perdebatan tersebut, menurut ulama surat al-Kautsar berkaitan erat dengan peristiwa meninggalnya putra nabi Muhammad saw dan olok-olok kaum Quraisy terhadap beliau.

Sepanjang kehidupannya, nabi saw memiliki 7 orang anak, 4 perempuan dan 3 laki-laki. Empat puteri beliau, yakni Sayyidah Zainab (w. 8 H), Sayyidah Ruqayyah, Sayyidah Ummu Kultsum (w. 9 H), dan Sayyidah Fatimah az-Zahra (w. 11 H). Adapun tiga putera nabi Muhammad saw adalah Al-Qasim, Abdullah, dan Ibrahim, yang ketiganya wafat ketika belia. Semua anak beliau ini lahir dari rahim Sayyidah Khadijah al-Kubra binti Khuwailid kecuali Ibrahim.

Meninggalnya Putra nabi Muhammad saw dan Latar Belakang Turunnya Surat Al-Kautsar

Dikisahkan – menurut Ibnu ‘Abbas – surat al-Kautsar turun tak lama setelah al-‘Ash bin Wa’il – seorang yang getol menentang dakwah Islam dan merupakan saudara ipar Abu Jahal – berpapasan dengan nabi Muhammad saw di sebuah pintu masjid. Dalam kesempatan itu, keduanya sempat berbicara sejenak dengan berkaitan beberapa hal dan tidak ada masalah yang terjadi.

Namun ketika keduanya berpisah, tepatnya ketika al-Ash masuk ke dalam masjid, ia ditanya oleh beberapa orang dengan ‘nada mengejek’ tentang siapa orang yang telah dia ajak bicara sebelumnya. Al-‘Ash bin Wa’il menjawab dengan pongah bahwa lawan bicaranya adalah “orang yang terputus (al-abtar) itu.” Sebutan ini ditujukan kepada nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Tunjukkanlah Kami ke Jalan Orang Yang Diberi Nikmat, 

Al-Abtar merupakan suatu istilah yang diucapkan kaum Quraisy Mekah pada waktu itu, untuk mengartikan seseorang yang tidak memiliki anak laki-laki. Berkenaan hal tersebut, memang Rasulullah saw baru saja kehilangan putranya yang bernama Abdullah atau Al-Qasim di riwayat lain. Dengan kewafatan putra nabi Muhammad saw ini, maka beliau disebut-sebut sebagai al-abtar, yakni orang yang terputus keturunannya.

Dalam konteks masyarakat Arab pra-Islam, memiliki anak laki-laki adalah simbol kebaikan, kehormatan dan kemuliaan. Karena dengan memiliki anak laki-laki (putra) – bagi mereka – berarti melestarikan garis keturunan (nasab) sang ayah. Sebaliknya, anak perempuan adalah lambang kelemahan, keterbelakangan dam beban masyarakat. Maka tak heran, dikisahkan banyak anak perempuan yang dikubur hidup-hidup karena malu ataupun takut kemiskinan.

Sementara Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911) dalam kitabnya Lubabul Nuqul fii Asbabul Nuzul menjelaskan tentang salah satu riwayat penyebab turunnya surat al-Kaustar berkenaan dengan Ka’ab bin Asyraf (tokoh Yahudi Madinah). Ketika datang ke Mekah, dia bertemu dengan para pemuka Quraisy yang saat itu sedang berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan nabi Muhammad saw.

Para pemuka Quraisy itu bertanya kepada Ka’ab bin Asyraf – dengan tujuan mendiskreditkan nabi saw: “Bagaimana pendapatmu mengenai orang itu yang berpura-pura sabar lalu ia diasingkan oleh kaumnya (yang dimaksud ialah Nabi Muhammad saw). Apakah dia lebih baik dari kami sedangkan kami adalah orang-orang yang menjamu orang yang beribadah haji, dan memberi minum mereka yang berhaji, serta kami adalah penjaga Ka’bah?”

Ka’ab bin Asyraf berkata: “Kalian lebih baik dari dia (Nabi Muhammad saw.).” Ia beranggapan bahwa para pemuka kaum Quraisy – kala itu – lebih baik daripada Muhammad saw. Lalu Allah swt menurunkan surah al-Kautsar sebagai bantahan atas anggapan Ka’ab bin Asyraf itu. Allah swt menegaskan bahwa Dia telah menganugerahkan Muhammad saw dengan kebaikan yang banyak dan menjadikannya sebagai makhluk ciptaan-Nya yang terbaik.

Firman Allah swt:

اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ٢ اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ ࣖ ٣

Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS. al-Kautsar [108]: 1-3).

Terlepas dari riwayat aman yang paling tepat tentang asbabun nuzul surat al-Kautsar, dari kisah-kisah tersebut kita dapat melihat fenomena umum yang terjadi saat itu, yakni penghinaan dan olok-olok terhadap nabi saw dari kaum Quraisy. Kewafatan putra nabi Muhammad saw mereka jadikan sebagai bahan untuk menghina beliau, begitu pula soal keterusirannya.

Bagi penulis, surat al-Kaustar tidak hanya berfungsi sebagai bantahan terhadap ejekan orang kafir Quraisy pasca kewafatan putra nabi Muhammad saw, tetapi juga – paling utama – surat ini merupakan hiburan dari Allah swt kepada nabi saw di tengah kesedihan sebagai seorang ayah yang kehilangan putra tercinta. Allah swt seakan-akan mengingatkan bahwa Dia hanya mencabut satu nikmat ini saja dari nikmat-Nya yang tak terhitung.

Pandangan ini penulis sandarkan kepada salah satu riwayat hadis yang kutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim, yakni ketika surat al-Kaustar turun, Anas bin Malik melihat dan menginformasikan bahwa Rasulullah Saw menundukkan kepalanya sejenak, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya tersenyum. Beliau bersabda kepada mereka, atau mereka bertanya kepada beliau saw, “Mengapa engkau tersenyum?”

Maka Rasulullah saw menjawab, “Sesungguhnya barusan telah diturunkan kepadaku suatu surat.” Lalu beliau membaca firman-Nya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-Kautsar, hingga akhir surat.” Dari riwayat tersebut, dapat kita lihat bahwa Allah swt berusaha menghibur beliau dari kesedihan dan kegundahan.

Baca Juga: Siapakah Orang-Orang yang Sesat dalam Surat Al-Fatihah Ayat 7?

Para ulama berpendapat, alasan utama kenapa putra nabi Muhammad saw tidak ada yang hidup hingga dewasa adalah untuk membuktikan bahwa beliau adalah benar-benar nabi dan rasul yang terakhir. Pandangan ini didasarkan pada pendapat Ibnu Abbas – ketika menafsirkan (QS Al-Ahzab [33]: 40) – yang mengatakan bahwa melalui ini (khatamannabiyyin) Allah swt seolah-olah berfirman, jikalau Muhammad bukan yang terakhir, pasti Aku jadikan seorang nabi di antara anaknya.

Disamping itu, kalaulah salah satu putra nabi Muhammad saw hidup sampai dewasa, tidak mustahil di kemudian hari orang-orang – terutama umat Islam – akan mendewakannya, menjadikannya sebagai nabi dan berbagai pemujaan-pemujaan lain yang bertentangan dengan norma agama. Terlepas dari apapun hikmah kejadian tersebut, Allah swt adalah Tuhan Yang Maha Tahu tentang kebaikan hamba-Nya. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...