BerandaTafsir TematikTafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Tunjukkanlah Kami ke Jalan Orang Yang Diberi...

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Tunjukkanlah Kami ke Jalan Orang Yang Diberi Nikmat, Begini Penjelasannya

Allah swt berfirman di dalam Surat Al-Fatihah, mendorong kita agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat. Kita yang sedang mencoba mendalami firman Allah mungkin akan merasa janggal dengan hal ini, mengapa dalam persoalan penting seperti meminta agar diberi jalan yang lurus, justru kita diarahkan pada persoalan nikmat? Mengapa tidak kepada ajaran mulia para nabi dan orang-orang salih?

Apakah persoalan nikmat memang lebih penting daripada soal ajaran semisal Syariat Islam? Bukankah persoalan nikmat adalah persoalan kesenangan-kesenangan duniawi serta nikmat surgawi, yang seharusnya tak sebanding dengan syariat yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya? Ataukah ada persoalan nikmat yang tidak kita ketahui?

Komentar Pakar Tafsir Terkait “Orang-Orang Yang Diberi Nikmat”

Allah berfirman di dalam Surat Al-Fatihah ayat 6-7:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka (QS. Al-Fatihah [01] 7).

Komentar beberapa pakar tafsir tidak secara jelas mengulas mengapa justru nikmat yang disinggung, bukan persoalan ajaran agama. Mereka hanya berkomentar tentang apakah itu jalan yang lurus? Dan siapakah mereka yang dimaksud orang yang telah diberi nikmat?

Ibn Katsir semisal, berkomentar bahwa cukup beragam ungkapan para ahli tafsir terkait tafsir dari kata “jalan”. Ada yang mengartikannya sebagai Kitab Allah, ada yang mengartikannya sebagai Tali Allah, dan ada juga yang memakai ungkapan “jalan yang sama sekali tidak ada sesuatu bengkok padanya”. Namun semuanya bisa dikatakan memiliki satu kesimpulan, bahwa jalan yang dimaksud adalah mengikuti Allah dan para utusan-Nya (Tafsir Ibn Katsir/1/137).

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Sedang terkait “orang-orang yang diberi nikmat”, banyak yang mengkaitkannya dengan Surat An-Nisa’ ayat 69:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (Q.S. An-Nisa’ [04] 69).

Ayat tersebut menyatakan, mereka orang-orang yang diberi nikmat adalah para nabi, para siddiqin, para syuhada’ dan orang-orang soleh. Usai menyatakan hal itu, mereka berlanjut menerangkan tentang orang-orang yang dibenci serta orang-orang yang tersesat (Tafsir Ibn Katsir/1/140).

Keimanan Adalah Sebuah Nikmat

Hanya beberapa pakar tafsir yang menyinggung secara langsung mengapa nikmat lebih didahulukan dari persoalan ajaran. Diantaranya adalah Sayyid Thantawi dalam Tafsir Al-Wasith yang menyatakan, Allah tidak menyatakan jalan para nabi dan orang-orang salih sebagai ganti “jalan orang-orang yang diberi nikmat”, untuk menunjukkan bahwa mengetahui ajaran yang benar kemudian mau mengamalkannya pada hakikatnya adalah suatu nikmat yang besar (Tafsir Al-Wasith/1/9).

Sayyid Thanthawi kemudian mengutip keterangan beberapa ulama tentang mengapa kata “jalan” di dalam surat ke-7 disandarkan kepada orang yang diberi nikmat, bukan yang lain. Alasannya diantaranya adalah untuk menunjukkan persoalan penting yang harus diketahui oleh orang yang hendak mengikuti Allah serta rasul-Nya. Bahwa kesempatan atau kemauan diri mengikuti Allah dan rasul-Nya, pada hakikatnya adalah nikmat besar dari Allah yang harus disadari, disyukuri dan senantiasa diingat. Dan jangan terlena dengan kesempatan dapat berkumpul dengan para nabi dan orang-orang soleh.

Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 34: Menghitung Nikmat Allah dan Rasa Iri Melihat Orang Lain

Imam Ath-Thabari berkata, Surat Al-Fatihah ayat-7 merupakan bukti jelas bahwa kemauan melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya, merupakan nikmat serta taufiq dari Allah kepada orang-orang yang dapat menjalankannya. Bukankah dalam ayat tersebut, Allah menyandarkan persoalan petunjuk, ketaatan serta ibadah kepada bagaimana Allah memberi nikmat kepada hamba-Nya (Tafsir Ath-Thabari/1/179).

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita, kita tidak boleh lupa bahwa kemauan diri untuk mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya, adalah salah satu bentuk dari nikmat Allah. Bahkan nikmat terbesar. Persoalan mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya memang penting. Namun kita tidak boleh lupa. Di samping harus sekuat tenaga mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya, kita harus bersyukur diberi nikmat oleh Allah berupa kemauan dan kesempatan untuk mengikuti Allah dan rasul-Nya. Wallahu A’lam.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Konsep Kepemimpinan Berdasarkan Sila Kelima Pancasila

0
Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai yang dapat menginspirasi terkait konsep kepemimpinan yang sesuai dengan semestinya, yakni sila yang kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia”....