Sebagai kitab suci, Al-Quran memang diartikan demikian sehingga kesuciannya juga terjaga dari sentuhan-sentuhan kotor. Ini semata-mata untuk mengagungkan Kalam-Nya. Ulama Fikih terutama para Imam Madzhab sependapat bahwa untuk menyentuh Al-Quran, seseorang dibutuhkan untuk berwudlu terlebih dahulu. Pendapat ini memang disandarkan pada Al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam. Adapun ayat Al-Quran yang menyebut perkara itu terdapat dalam surat Al-Waqi’ah ayat 77-80 yang berbunyi:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“sesungguhnya ia adalah Al-Quran yang mulia”
“Di dalam kitab yang terpelihara”
“Tidak boleh menyentuhnya selain orang yang suci, wahyu yang turun dari Tuhan semesta alam”
Baca juga: Bagaimana Hukum Menyentuh Al-Quran Terjemah Bagi Orang yang Hadas?
Sebab turunnya ayat
Dalam Mafatihul Ghaib, ar-Razi mengatakan bahwa ayat ini diturunkaan berkenaan dengan adanya tuduhan bahwa Al-Quran yang dibawa oleh Muhammad diturunkan oleh jin. Mereka menqiyaskan dengan para jin yang memberikan informasi kepada para dukun sehingga merekaa juga menuduh bahwa Nabi Muhammad saw tidak lebih dari seorang dukun yang dituntun oleh jin.
Berdasar tuduhan itu, maka turunlah ayat-ayat tersebut guna membantah tuduhan-tududan yang mereka lontarkan. Ayat tersebut mengatakan bahwa Al-Quran tidak tersentuh oleh jin melainkan orang-orang yang suci. Adapun Muhammad saw bukanlah dukun, pujangga bahkan gila karena gangguan jin. Sehingga di ayat ke 80 dipertegas bahwa yang Al-Quran diturunkan dari Tuhan semesta alam (Allah swt).
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Al-Quran Ketika Haid, Bolehkah?
Empat sifat Al-Quran
Dari empat ayat yang terdapat dalam surat Al-Waqi’ah tersebut, maka akan ditemukan beberapa sifat keagungan dari Al-Quran
Pertama, adanya lafad كَرِيم yang menurut Quraish Shihab digunakan untuk menggambarkan terpenuhinya segala yang terpuji sesuai dengan objek yang disifatinya. Al-Quran sebagai kitab yang mulia (istimewa) karena di dalamnya terdapat tuntunan yang jelas dan komperhensif hingga bukti-bukti kebenarannya ada sepanjang masa. Dan sifat ini menjadi pembeda dari kitab-kitab yang lain.
Kedua, sifat مَكْنُونٍ (terpelihara) yang juga menjadi sifat keagungan al-Quran. Ibn Kathir dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim menyebutkan bahwa maknun ialah terpelihara dangan penug keagungan dan kebesaran dan sangat dihormati. Adapun dalam tafsir al-Azhar, Hamka menerangkan maknun dengan merujuk pada surat al-Buruj ayat 22 yang maknanya “ada di Lauh mahfudz”. Ia melanjutkan bahwa tidak sembarang orang yang bisa mencapai tempat luhur tersebut melainkan mereka yang telah suci dalam artian kesucian hati.
Ketiga, terpelihara kesuciannya. Ini menegaskan bahwa tidak ada yang boleh menyentuhnya kecuali mereka yang dalam kondisi suci. Dalam hal ini para mufassir memiliki beragam pendapat tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. ada yang mengatakan para malaikat saja, namun sebagian lain mengatakan bahwa orang-orang suci yang dimaksud ialah bukan hanya malaikat saja, tetapi juga manusia.
Keempat, diturunkan dari sisi Tuhan. Ini merupakan bentuk sanggahan dari tuduhan bahwa ayat-ayat ini turun dari jin atau setan yang sedang mengganggu Nabi Muhammad saw. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir mensifati Al-Quran dengan diturunkan secara gradual atau berangsur-angsur. Ini pula yang menjadikan keistimewaan dibanding kitab-kitab samawi lain yang diturunkan ke umat manusia secara utuh.
Baca juga: Hinaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang Diabadikan dalam Al-Quran
“Muthahharun” apakah malaikat atau manusia
Ibn kathir mengatakan bahwa sebagian ulama dikatakan sebagai orang yang suci dari hadas besar ataupun hadas kecil. Ia juga menuqil riwayat dari Ibn Umar ra yang menceritakan bahwa Rasul saw melarang membawa Al-Quran ke daerah musuh dengan alsan khawatir dipegang oleh mereka yang tidak jelas apakah suci dari hadas. Ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud muthahharun ialah orang-orang yang suci dari hadas.
Berbeda dengan an-Na’mani, dalam Tafsir al-Lubab ia mengatakan bahwa memang ayat ini menimbulkan perbedaan di kalangan ulama, terlebih dalam menghukumi tindakan menyentuh mushaf bagi yang berhadas. Dalam memaknai muthahharun, ia menuqil pendapat Anas ra dan Said bin Zubair bahwa itu bermakna malaikat Abu al-‘Aliyah dan ibn Zaid berpendapat bahwa yang dimaksud ialah malaikat dan para Rasul. Ringkasnya ia tidak memungkiri akan pendapat itu karena bila dikaitkan dengan keneradaan Al-Quran yang di lauh Mahfuds serta proses penurunannya, maka akan pas bila dikaitkan dengan malaikat. Bila makna yang diinginkan ialah orang yang suci dari hadas, maka lebih tepat menggunakan redaksi al-Mutathahhirun.
Baca juga: Tiga Keutamaan Membaca Surah Al-Waqiah
Wahbah az-Zuhaili dalam memaknai muthahharun tidak lepas dari ayat sebelumnya. Penyebutan kitab ia artikan dengan dua pengertian. Pertama ialah Al-Quran di langit dan kedua ialah al-Quran di dunia. Al-Quran di langit menurutnya memang tidak ada yang bisa menyentuh kecuali para malaikat. Sedangkan Al-Quran di dunia tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci dari hadas.
Adapun Wahbah az-Zuhaili dalam melihat perbedaan tersebut, maka ia melihat kata maknun yang dimaksud Lauh mahfud. Dan ini tidak ada yang bisa menjangkau kecuali para malaikat. Apabila yang dimaksud ialah mushaf Al-Quran yang ada di tengah-tengah umat manusia, penyebutan maknun tidak begitu berdampak dengan sifat Al-Quran.
Memang dalam menyikapi makna tersebut, para mufassir cukup memiliki ragam pendapat. Namun dalam segi hukum, mereka kebanyakan mengikuti para imam madzhab yang mengatakan bahwa seseorang yang boleh menyentuh Al-Quran ialah mereka yang telah suci dari hadas. Meskipun sebagian tidak berhujah pada ayat ini, namun mereka mengambil dari berbagai riwayat yang lain. adapun dalam konteks etis, sudah seharusnya Al-Quran yang suci dan mulia mendapatkan penghormatan yang suci pula dari mereka yang akan menyentuhnya. Wallahu a’lam[]