Swafoto atau selfie sudah menjadi fenomena sosial, seiring kecanggihan teknologi dan popularitas media sosial. Tren ini di sisi lain, menyulut respons negatif dari sebagian umat Islam. Yang membuat heran, ketika ada fatwa tentang larangan selfie bagi perempuan. Fatwa itu bahkan memakai surat An-Nur ayat 31 sebagai dalilnya. Benarkah ayat ini menjadi dalil larangan selfie?
Surat An-Nur ayat 30-31 membicarakan laki-laki dan perempuan secara beriringan. Berikut ini redaksinya:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. An-Nur Ayat 30)
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur Ayat 31)
Baca juga: Sertifikasi Da’i dan Pentingnya Muhasabah Diri
Tafsir Surat An-nur Ayat 30-31 Dalil Larangan Selfie?
Pada prinsipnya, dua ayat di atas menunjukkan perintah kepada laki-laki dan perempuan untuk menjaga diri dan kehormatannya. Dalam Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim dijelaskan bahwa dua ayat tersebut menghimpun substansi berupa penjagaan terhadap keturunan dan kehormatan, utamanya mengangkat harkat perempuan. Karena, perempuan di masa Jahiliyyah memang sangat bobrok peradabannya.
Bentuk penjagaan keturunan berupa perintah untuk menjaga diri dari seks bebas. Sementara penjagaan kehormatan berupa perintah untuk menjaga pandangan dan berpakaian yang sopan.
Penjagaan kedua ini tidak lepas dari konteks historis saat ayat ini turun. Hadis yang menjadi konteks turunnya ayat tersebut ialah hadis riwayat Muqatil dalam Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul karya Imam Suyuti:
أَخرَجَ ابنُ أَبِي حَاتِم عَن مُقَاتِل قَال: بَلَغَنَا أنَّ جَابرٍ بن عبدِ اللهِ حَدثَ أنّ أسماءَ بنتِ مرثِدٍ كانت في نَخلٍ لها فجعلَ النساءُ يدخلْنَ عليها غيرَ مُتَأَزِّرَاتٍ فيبدو ما في أرجلهِنَّ يعني الخَلاَخِلُ ويبدو صدورُهنَّ وذوائبُهنَّ
Diriwayatkan dari Muqatil, ia berkata: telah sampai kepada kami bahwa Asma’ bin Murtsid sedang berada di kebun kurmanya. Kemudian, perempuan lain bergegas masuk ke kebun kurma itu dengan tanpa memakai izar (semacam selendang penutup tubuh bagian bawah). Sehingga tampaklah gelang kakinya, dadanya, dan kepangan rambutnya.
Para mufassir berbeda pendapat dalam memaknai ayat ini. Imam Isma’il dalam Ruhul Bayan, memaknai ayat 31 dengan perintah menutup perhiasannya yang ada di tangan atau bagian tubuh yang biasa digunakan untuk berhias.
Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah
Sementara itu, Menurut Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, dua ayat ini berbicara tentang perintah menjaga pandangan bagi laki-laki dan perempuan, serta larangan bermewah-mewahan bagi perempuan. Zuhaili lebih mengarahkan perintah dan larangan ini sebagai langkah preventif (saduz zari’ah).
pendapat berbeda datang dari Imam Nawawi dalam tafsir Marah Labid. Menurutnya, perintah dalam ayat itu sangat kontekstual. Perintah untuk menguraikan pakaian hingga menutup dada sejatinya agar ada pembeda antara orang merdeka dengan budak dan perempuan jahiliyyah. Sehingga, berpakaian yang sopan menjadi salah satu cara membedakan perempuan baik-baik dan tidak.
Sedangkan terhadap larangan mengumbar perhiasan, Imam Nawawi mengkompromikannya dengan adat masing-masing daerah. Artinya, bila memang perhiasan itu biasa nampak, maka larangan itu tidak berlaku. Al-Ajibah dalam tafsir al-Bahrul Madid juga sepakat dengan Imam Nawawi. Ia cenderung menyerahkan perintah menutup bagian tubuh yang berpotensi mengumbar aurat dan perhiasan dengan adat.
Pendapat Imam Nawawi dan Imam Ibnu ‘Ajibah, bisa dibilang lebih ramah bagi masyarakat heterogen seperti saat ini. Pasalnya nilai dan norma kesopanan masyarakat dalam berbusana memang cenderung berbeda satu sama lain, yang tentu disesuaikan dengan adat masing-masing.
Baca juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi
Dari berbagai perbedaan itu, ayat 30 dan 31 pada intinya bertujuan untuk memberi kita edukasi untuk berpakaian yang sopan dan menjaga diri dari pesona yang berefek negatif. Disebutnya laki-laki dan perempuan secara beriringan menunjukkan dengan jelas bahwa Allah memberikan perintah untuk dua belah piha, tidak perempuan saja. Sekaligus dua ayat ini menjadi bentuk eksplisit dari surat Ali ‘Imran ayat 14, yang tidak secara tegas menyebutkan laki-laki juga berpotensi menjadi sumber pesona.
Selfie Boleh atau Tidak Tergantung Motifnya
Menjadikan ayat 31 sebagai dalil larangan selfie tentu harus mempertimbangkan ada tidaknya motif negatif dari swafoto itu sendiri. Misalnya niat pamer yang menjadi salah satu contoh bermewah-mewahan. Atau poto tersebut mengandung konten yang tidak senonoh, sehingga melanggar rambu kesopanan.
Kita sah-sah saja mengatakan selfie dilarang bila kita benar tahu bahwa yang sedang selfie niatnya ingin pamer. Atau pakaian yang dikenakan menyalahi rambu kesopanan. Tetapi, yang perlu digarisbawahi ialah dalam menilai kesopanan melalui pakaian jangan dari perspektif pribadi. Tapi sesuaikan dengan adat yang berlaku di masyarakat saat ini.
Bila, motif selfie sama sekali bukan hal negatif, maka bukan hak kita untuk menganggapnya salah, apalagi melarangnya. Karena kembali lagi, selama tidak mencederai prinsip kesopanan dan bermewah-mewahan yang ada dalam ayat itu, maka segala cara manusia berekspresi tidak perlu dipermasalahkan.
Satu lagi yang perlu ditegaskan, mendudukan surat An-Nur ayat 31 sebagai larangan berswafoto untuk perempuan secara mutlak dinilai kurang tepat. Hal ini karena sebagaimana penjelasan sebelumnya, , Allah juga menyapa laki-laki di ayat sebelumnya. Sehingga, perintah untuk berpakaian sopan dan menjaga diri dari pesona negatif sejatinya diperuntukkan untuk kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Wallahu a’lam []