Allah swt menciptakan manusia dengan berbagai atribut yang menyertai mereka, mulai dari jiwa, raga, nafsu, hingga akal pikiran atau hati. Berbagai atribut tersebut memiliki beberapa potensi bawaan dan mencakup potensi kebaikan dan ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang berkaitan erat dengan kondisi jiwa. Salah satu contoh konkrit potensi bawaan manusia adalah fitrah manusia mengesakan Allah swt.
Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Fitrah Manusia Mengesakan Allah swt
Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai fitrah manusia mengesakan Allah swt adalah surat ar-Rum [30] ayat 30 yang berbunyi:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ ٣٠
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30).
Menurut Quraish Shihab, ayat ini seakan-akan berkata, “Hadapkanlah wajahmu serta arahkan perhatianmu kepada agama yang disyariatkan Allah, yakni agama Islam dalam keadaan lurus. Tetaplah mempertahankan fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya yakni menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan yakni fitrah Allah tersebut. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, yakni tidak memiliki pengetahuan yang benar.
Kata fa aqim wajhaka adalah perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri kepada Allah secara sempurna, karena selama ini kaum muslimin apalagi nabi Muhammad saw telah menghadapkan wajah kepada tuntunan agama-Nya. Dari perintah di atas tersirat juga perintah untuk tidak menghiraukan gangguan kaum musyrikin, yang ketika turunnya ayat ini di Mekah, masih cukup banyak.
Kata hanifa biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya ke arah telapak pasangannya. Telapak kaki yang kanan condong ke arah kiri, dan telapak kaki yang kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan dengan lurus. Kelurusan itu menjadikan si pejalan tidak serong ke kiri dan tidak pula ke kanan.
Sedangkan kata fithrah terambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Para pakar bahasa menyebutkan fitrah adalah “menciptakan sesuatu pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.” Kata tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal kejadian atau bawaan sejak lahir. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk kepada keadaan atau kondisi penciptaan itu sebagaimana diisyaratkan juga oleh lanjutan ayat ini yang menyatakan “yang telah menciptakan manusia atasnya.”
Ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata fitrah pada surat ar-Rum [30] ayat 30 ini. Ada yang berpendapat bahwa fitrah yang dimaksud adalah fitrah manusia mengesakan Allah swt sebagaimana perkataan nabi Muhamad saw, “Semua anak yang lahir dilahirkan atas dasar fitrah, lalu kedua orang tuanya menjadikannya menganut agama Yahudi, Nasrani atau Majusi….” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain melalui Abu Hurairah).
Al-Biqa’i tidak membatasi makna fitrah pada fitrah manusia mengesakan Allah swt. Menurutnya, yang dimaksud dengan fitrah adalah ciptaan pertama dan tabiat awal yang Allah ciptakan manusia atas dasarnya. Beliau mengutip al-Ghazali yang menulis dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din bahwa “Setiap manusia telah diciptakan atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi mengetahui persoalan-persoalan sebagaimana adanya, karena adanya potensi pengetahuan (padanya).”
Ibnu ‘Asyur memaknai fitrah sebagai “Keadaan atau kondisi penciptaan yang terdapat dalam diri manusia yang menjadikannya berpotensi melalui fitrah itu, mampu membedakan ciptaan-ciptaan Allah serta mengenal Tuhan dan syariat-Nya.” Fitrah menurutnya adalah unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia yang terdiri dari jasad dan akal serta jiwa.
Manusia berjalan dengan kakinya dan mengambil kesimpulan dengan mengaitkan premis-premis adalah fitrah akliah-nya. Sebaliknya, mengambil kesimpulan dengan premis-premis yang saling bertentangan bukanlah fitrah akliah manusia. Memastikan apa yang disaksikan mata kita sebagai hal-hal yang mempunyai wujud dan sebagaimana apa adanya adalah fitrah akliah, sedang mengingkarinya sebagaimana yang diduga oleh penganut sophisme adalah bertentangan dengan fitrah akliah.
Ibnu Sina mengilustrasikan cara kerja fitrah manusia seperti seorang dilahirkan ke dunia dengan akal yang sempurna, tetapi dia tidak dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan hanya menyaksikan hal-hal yang bersifat indrawi. Lalu ia mengambil beberapa kondisi dan memaparkan ke dalam benaknya. Jika ia ragu berarti fitrah tidak mendukungnya, tetapi bila dia tidak ragu, maka itulah petunjuk fitrah. Namun beliau menambahkan bahwa tidak semua keputusan manusia dipengaruhi oleh fitrah karena masih ada faktor lain seperti akal dan nafsu.
Surat ar-Rum [30] ayat 30 di atas berbicara tentang fitrah yang dipersamakan dengan agama yang benar, Ini menunjukkan bahwa yang dibicarakan oleh ayat ini adalah fitrah manusia mengesakan Allah swt atau fitrah keagamaan, bukan fitrah dalam arti semua potensi yang diciptakan Allah pada makhluk. Melalui Surat ar-Rum [30] ayat 30, Al-Qur’an ingin mengajarkan bahwa fitrah keagamaan perlu diperjuangkan dan dipertahankan.
Berkenaan dengan fitrah ini, Prof. Vilayanur Ramachandran – ahli ilmu saraf – bersama timnya dari Universitas California di San Diego Amerika Serikat pernah menemukan fakta menarik, yakni adanya konsentrasi gelombang unik pada titik temporal lobes – bagian otak yang berada di belakang jidat – seseorang ketika ia khusuk mengingat Tuhan. Dalam temuan mereka, bagian yang responsif terhadap pemikiran terhadap hakikat Tuhan ini dinamakan sebagai god spot.
Berdasarkan penjelasan di atas, surat ar-Rum [30] ayat 30 memberi tahu pembaca Al-Qur’an bahwa Allah swt telah memberikan fitrah kepada manusia sebagai atribut pelengkap. Salah satu fitrah ini adalah fitrah manusia mengesakan Allah swt. Fitrah tersebut melekat pada setiap manusia tanpa terkecuali. Selain itu, ayat ini juga mengindikasikan bahwa esensi ajaran agama Allah – sebagai fitrah manusia – sangat erat dengan kemanusiaan itu sendiri. Wallahu a’lam.