BerandaTafsir TematikSurat Al-Isra Ayat 26-27: Larangan Menyia-Nyiakan Makanan

Surat Al-Isra Ayat 26-27: Larangan Menyia-Nyiakan Makanan

Banyak di antara kita yang masih belum bisa mengukur berapa besar kemampuan kita dalam menghabiskan makanan pada saat makan pagi, siang atau malam. Akibatnya seringkali saat selesai makan, kita sering menyia-nyiakan makanan dengan banyaknya sisa nasi atau lauk. Hal ini tentu tidak baik, apalagi kalau mengingat banyak manusia lain yang bahkan untuk satu kali makan saja mereka kesulitan.

Kebiasan menyia-nyiakan makanan di negara kita ini masih dapat dengan mudah kita temukan. Misalnya dalam budaya makan nasi liwet bersama dengan menggunakan alas daun pisang. Porsi yang diberikan biasanya banyak sekali, sehingga saat sesi makan selesai, banyak makanan yang tersisa.

Masih bagus kalau sisa makanan itu diberikan ke hewan ternak, tetapi kalau berakhir di tong sampah, tentu akan sia-sia. Kebiasaan menyia-nyiakan makanan tak hanya ada di situ, di restoran, warung-warung nasi, warung bakso, dan tempat makan lain, sisa makanan ini dapat dengan mudah kita lihat.

Tak heran kemudian, negara kita memperoleh gelar sebagai negara kedua di dunia yang paling banyak membuang makanan. Data yang dirilis Economist Intellegent Unit (EIU) menunjukan bahwa berdasarkan Food Sustainibility Index, Indonesia berada di peringkat paling bawah, satu tingkat lebih baik dari Arab Saudi dalam hal membuang sisa makanan.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 168: Anjuran Makan Makanan Halal dan Bergizi

Penulis kemudian teringat dengan sebuah cerita dari seorang tetangga yang pernah bekerja di sebuah negara Arab. Beliau bekerja di sebuah keluarga yang kaya raya. Dalam sehari, koki di rumah tersebut harus minimal menyediakan 16 menu makanan, tak boleh kurang dari itu. Pernah suatu hari Sang Koki mengurangi makanan menjadi 14 menu. Ia takut berdosa, karena setiap hari harus membuang sisa makanan yang banyak.

Mengetahui hal itu, sang majikan malah marah besar, dia meminta sang koki tetap memasak 16 menu, soal dosa ia sendiri yang tanggung, demikian kata majikannya. Mendengar hal ini, tentu kita sangat miris.

Apalagi kalau kita mendengar bahwa negara muslim seperti Suriah dan Yaman terancam bencana kelaparan akibat perang dan pandemi corona. Padahal tentang menghambur-hamburkan nikmat makanan ini, jauh-jauh hari, Al-Quran, Surat al-Isra ayat 26-27 telah mengingatkan kepada kita:

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan hak mereka, kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang menempuh perjalanan, dan janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu, termasuk makanan, (ed)) dengan cara  boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudaranya setan, dan setan itu terbukti ingkar kepada Tuhanya.”

Sepertinya, ayat tersebut belum sepenuhnya terpatri dalam diri kaum muslimin semuanya. Malah sebaliknya, beberapa negara non muslim malah terlebih dahulu sadar tentang hal ini, sehingga mereka menerapkan denda yang cukup berat bagi para pembuang makanan. Sebagai contoh di Seattle, Amerika, ada peraturan bila sebuah rumah tangga ketahuan membuang sampah makanan sebanyak 10 persen dari total sampah rumah tangganya, maka akan didenda sekitar 1 US $.

Sementara itu apabila sebuah apartemen atau tempat usaha diketahui membuang sampah dengan jumlah persentase yang sama, maka akan didenda sebesar 50 US $. Hal yang sama juga berlaku di Jerman, berdasarkan berita dari laman cntraveler.com, bila seorang pengunjung tak menghabiskan makanan di sebuah restoran maka pengunjung tersebut bisa didenda antara 1 sampai dengan 2 Euro.

Kembali pada konteks awal tulisan ini, adalah sangat penting bagi kita untuk mengukur seberapa jauh kita dapat menghabiskan makanan, karena kalau tidak dihabiskan, maka makanan akan menjadi mubadzir. Hal ini sesuai sekali dengan apa yang pernah disampaikan rasulullah SAW.”Takarlah makanan kalian, maka kalian akan diberkahi” (Shahih Bukhari, dari al-Miqdam bin Ma’diyakrib).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Petunjuk Al-Quran Tentang Makanan yang Halal dan Haram

Keberkahan yang dimaksud dapat berupa hilangnya rasa lapar dan keleluasan tubuh kita yang tidak terlalu kenyang. Selain itu, makanan yang belum tersentuh oleh kita, masih layak dimakan orang di sebelah kita atau mungkin diberikan kepada orang lain yang membutuhkan, setelah dikemas atau dibungkus terlebih dahulu.

Kemampuan mengelola nikmat makanan ini menjadi sangat penting, apalagi dimasa ketika makan berlimpah ruah seperti di acara syukuran, pesta pernikahan, buka puasa bersama, atau saat perayaan hari besar agama. Jangan sampai niat kita bersyukur, malah terjerumus menjadi kufur.

Kemampuan mengelola nikmat makanan ini juga melatih kita untuk mengelola nikmat-nikmat lain yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Seperti nikmat waktu luang atau berlimpahnya harta. Jangan sampai nikmat-nikmat besar itu hanya berlalu begitu saja, tanpa pernah kita gunakan untuk membantu orang lain di sekitar kita. Bila kita dapat memaksimalkan nikmat-nikmat itu untuh hal yang baik, maka insya allah kita layak mendapatkan nikmat dari Allah SWT yang jauh lebih besar lagi. Wallahu ‘alam.

Parhan Hidayat
Parhan Hidayat
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua DKM Masjid Al-Hakim Komplek Vila Gading Permata, Curug, Gunung Sindur Bogor.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...