BerandaTafsir TematikSurat Saba Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim

Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim

Sikap fanatisme adalah perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Sikap ini biasanya dianut oleh mayoritas orang yang terlalu jatuh cinta terhadap sesuatu yang diikutinya, baik itu orang, kelompok, sekte atau negara. Orang yang memiliki sikap fanatisme dan ekstrim seringkali menunjukkan dukungan mutlak kepada sesuatu yang disukainya tersebut, sampai-sampai melampaui kebenaran.

Sikap fanatik dan ekstrim yang telah jatuh ke dalam fanatisme tidaklah bagus, karena itu bisa menjadi jembatan menuju perpecahan. Bukan hanya itu, sikap fanatisme dapat merubah worldview (pandangan hidup) seseorang menjadi sinis dan skeptis. Winston Churchiil menyebutkan bahwa “seorang fanatik tulen tidak akan bisa merubah pola pikir dan tidak akan bisa merubah haluannya secara mandiri.”

Tidak jarang orang mencela sikap fanatisme atau orang yang bersikap fanatik. Celaan itu bisa pada tempatnya dan bisa juga tidak, karena fanatisme dalam pengertian bahasa – berdasarkan KBBI – adalah “keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran politik, agama, sekte, dan sebagainya. Singkatnya fanatik memiliki makna konotasi positif dan negatif.

Sebenarnya, apabila sifat fanatik berada pada diri seseorang yang beragama dan keyakinannya dapat dibenarkan, maka sifat fanatiknya tersebut merupakan sikap terpuji. Karena ia telah menjadi seorang hamba yang taat kepada Tuhannya. Hanya saja, sikap fanatik menjadi sikap tercela manakala itu membuatnya menjelekkan atau melecehkan orang lain dan merebut hak mereka menganut ajaran, kepercayaan dan pendapat tertentu.

Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan sikap Fanatisme dan Ekstrim

Umat Islam, walaupun dituntut untuk meyakini seyakin-yakinnya ajaran Islam, konsisten (istikamah), dan berpegang teguh dengannya – atau dengan kata lain bersikap fanatik terhadap ajaran agamanya – namun pada saat yang bersamaan, umat Islam diperintahkan untuk menghormati dan menghargai penganut agama lain dan tidak mencampuri urusan mereka. Firman Allah Swt, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. al-Kafirun [109]: 6).

Pada ayat lain, Allah juga mengisyaratkan larangan sikap fanatisme dan ekstrim, yakni pada surah Saba [34] ayat 24-25 yang berbunyi:

 قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۙوَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ٢٤ قُلْ لَّا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّآ اَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ٢٥

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah, “Allah,” dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah, “Kamu tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kami kerjakan dan kami juga tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kamu kerjakan.”

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas merupakan perintah Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw agar beretorika dengan kaum musyrikin tentang hakikat alam semesta dan siapa yang memberi rezeki bagi penghuninya. Pertanyaan ini bertujuan agar penduduk Mekah mau memikirkan kembali (re-thinking) tentang kebenaran kepercayaan dan keyakinan mereka, bahwa sesembahan mereka selama ini bukanlah pemberi rezeki sesungguhnya.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Esensi Islam Sebagai Agama dan Pengaruhnya Bagi Penafsiran Menurut Prof. Quraish Shihab

Di satu sisi, surah Saba [34] ayat 24 mengajak orang musyrik Mekah untuk berdialog dan memikirkan realitas kehidupan dan siapa dalang utama dibalik keberlangsungan kehidupan itu. Namun di sisi lain, ayat ini juga secara tegas menampik kepercayaan orang kafir Quraisy yang menganggap bahwa berhala-berhala merekalah yang memberikan manfaat dan mudharat, termasuk memberi rezeki kepada mereka (Tafsir Al-Misbah [11]: 380).

Setelah menegaskan bahwa Allah adalah Sang Maha Pemberi Rezeki, ayat di atas kemudian memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan suatu pernyataan objektif, yaitu, “Dan disamping itu, sesungguhnya kami yakni kaum Muslimin yang mengesakan Allah Swt atau kamu orang-orang  musyrik yang mempersekutukan-Nya pasti salah satu dari kita berada di atas kebenaran serta mengikutinya dengan mantap atau dalam kesesatan yang nyata.

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa salah satu dari kedua belah pihak – muslim atau musyrik – ada yang benar dan ada yang salah. Namun permasalahan itudikesampingkan terlebih dahulu, tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan lebih jauh, karena pada konteks saat itu dialog yang diajukan orang musyrik tidak lagi bertujuan untuk mencari kebenaran dan mungkin hanya akan melahirkan ketersinggungan dan pertikaian.

Pada akhir surah Saba [34] ayat 25, Allah memerintahkan Nabi Saw untuk mengatakan bahwa orang muslim dan musyrik berjalan pada jalan yang berbeda. Seakan Allah Swt berfirman, “Katakanlah (Muhammad): kamu (kaum muysrik) tidak ditanyai yakni dituntut untuk mempertanggungjawabkan menyangkut dosa yang telah kami perbuat jika kamu menganggap keislaman kami adalah dosa dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu sedang dan akan perbuat.

Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Dua ayat di atas menggambarkan bagaimana seharusnya seorang muslim berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan berbeda dengannya. Tidak dapat disangkal bahwa setiap penganut agama – termasuk agama Islam – meyakini sepenuhnya tentang kebenaran anutannya serta meyakini kesalahan anutan yang bertentangan dengannya atau dengan kata lain bersikap fanatik terhadap ajaran agama Islam (Tafsir Al-Misbah [11]: 381).

Namun meskipun demikian, hal tersebut adalah keyakinan di dalam hati seorang muslim dan tidak perlu ditonjolkan keluar apalagi kumandangkan serta digaungkan di tengah masyarakat plural. Biarkan masing-masing orang untuk meyakini keyakinannya dan mengikuti ikutannya, selama itu tidak merugikan orang lain. Surah Saba [34] ayat 25 pada konteks ini merupakan isyarat larangan sikap fanatisme dan ekstrim.

Jika kita hendak menampilkan keyakinan dan kesilaman dalam rangka berdakwah terhadap orang lain, itu semua harus dilakukan dengan cara sebaik-baiknya, tanpa paksaan dan diskriminasi. Karena kita sebagai muslim hanya berkewajiban untuk beriman, mengamalkan agama, menyampaikan kebenaran, dan menampilkan keislaman sebaik mungkin. Sedangkan persoalan apakah dakwah akan diterima atau apakah orang lain bakal mendapat hidayah, itu adalah hak prerogatif Allah Swt. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...