Syah Waliyullah al-Dahlawi merupakan salah satu pembaharu Islam yang hidup pada masa kemunduran imperium Mughal. Pada periode ini, Syah Waliyullah memberikan perhatian khusus dalam menyelamatkan kelangsungan muslim di anak benua ini. Fokus dari pembaharuan Syah Waliyullah adalah menolak penyelewengan moral masyarakat India, menolak sinkretisme yang berlebihan dalam paham mayoritas sufi, dan menyerukan pemurnian ajaran Islam.
Berbeda dengan Muhammad Abdul Wahab dengan Gerakan Wahabinya di Jazirah Arab, sikap pembaharuan yang dilakukan Syah Waliyullah al-Dahlawi tidak seradikal Abdul Wahab. Ia tidak menolak keadaan pada masanya secara total, tetapi ia mencoba memperbaiki ajaran dan keyakinan yang ada serta mengembalikannya kepada esensi ajaran Islam awal. Dia tidak mempunyai keinginan untuk melawan sufi, tetapi ia ingin memberikan bentuk baru dan memurnikannya.
Biografi Singkat Syah Waliyullah Al-Dahlawi (W. 1768 M)
Syah Waliyullah al-Dahlawi lahir pada tanggal 21 Februari 1703 M di Moza Phalat, Delhi, India dan meninggal pada 20 Agustus 1762 M. Nama lengkapnya adalah Syed Qutb ad-Din Ahmad Waliyullah bin ‘Abd ar-Rahim al-‘Umari al-Dahlawi, atau biasa dikenal dengan nama Syah Waliyullah Dehlawi. Jika nasabnya diruntut, maka Syah Waliyullah akan sampai pada Umar bin al-Khattab, sementara garis ayahnya sampai pada Ali bin Abi Thalib.
Syah Waliyullah al-Dahlawi berasal dari keluarga terpandang yang memiliki status sosial tinggi di masyarakatnya. Ayahnya bernama Syaikh Abd. Rahim (1054-1131 H) merupakan seorang Qadhi’ ternama sekaligus sebagai maha guru di madrasah al-Rahimiyah, sebuah sekolah yang dibangun oleh keluarga al-Dahlawi. Berdasarkan latar belakang tersebut, tak heran jika al-Dahlawi memiliki kecenderungan terhadap ilmu-ilmu agama.
Baca Juga: Mengenal Imam An-Naisaburi dan Kitabnya Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan
Dengan dibekali ilmu yang diberikan oleh ayahnya, al-Dahlawi tumbuh sebagai seorang yang mampu menguasai berbagai cabang ilmu keislaman. Pada umur 5 tahun ia belajar dengan giat di Madrasah milik ayahnya dan pada umur 7 tahun ia telah hafal Al-Qur’an seluruhnya. Pada tahun 1731 M, ia pergi ke Hijaz untuk memperdalam ilmu-ilmu keagamaan seperti hadis, fikih dan tasawuf.
Dalam ilmu tasawuf, Syah Waliyullah al-Dahlawi telah mendapatkan ‘ijazah’ dari seorang gurunya yang bernama Syaikh Abu Tahir al-Madani seorang ulama sufi terkenal. Mengenai perjalanannya ke Hijaz, menurut M. Mujeeb, disebabkan karena ia ingin menghindar dari ancaman ulama-ulama tradisional India, sebab al-Dahlawi telah memberanikan diri menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Persia, suatu usaha yang dianggap masih tabu pada saat itu.
Namun pendapat ini banyak mendapatkan pertentangan, karena Syah Waliyullah sendiri tidak pernah bercerita sebagaimana ia banyak menceritakan pengalamannya melalui beberapa kitabnya. Ada satu hal menarik dari perjalanan al-Dahlawi tersebut, menurut penuturannya dalam kitab Fuyu’ al-Haramain dan at-Tafhimat, ia telah bertemu dengan ruh Nabi Muhammad saw. dan memperoleh makrifat, ilmu, bimbingan serta berbagai keistimewaan dari Nabi.
Dengan pengalamannya ini ia diberi gelar Uwaisy dan Wasi, bahkan sebagian besar ulama India pada saat itu menyebutnya sebagai mujaddid. Cerita yang hampir sama juga dituturkan dalam kitabnya Hujjah Allah al-Baligah bahwa suatu ketika ia bermimpi bertemu dengan al-Hasan dan al-Husain, keduanya seakan memberi sebuah pena (qalam) seraya mengatakan bahwa pena itu mereka dapatkan dari Rasulullah saw.
Tahun 1145 H, Syah Waliyullah al-Dahlawi kembali ke India, tepatnya setelah selama 14 bulan berada di Hijaz. Dengan kekuatan ilmu dan keyakinannya serta dengan pengalaman-pengalaman spiritual yang ia dapatkan sewaktu berada di Makkah. Ia mulai bertambah gencar melakukan gerakan-gerakan pembaharuan di India. Pada saat bersamaan, ia meneruskan pekerjaannya yang lama sebagai guru dan banyak mengarang buku.
Karya-karya al-Dahlawi tak kurang dari 50 karangan dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari Al-Qur’an, hadis, sejarah atau tarikh, fikih, usl al-fiqh, tasawuf, filsafat dan sebagainya. Di antaranya adalah Fath al-Rahman bi Tarjamat al-Qur’an, al-Fawz al-Kabir, Fath al Kabir bima> Labuda> min Hifzhihi fi al-Tafsir, al-Maswa min Ahadits al-Muwatha’, al-Musaffa, Hujat Allah al-Balighah, al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf, dan sebagainya.
Kondisi Sosial-Keagamaan Syah Waliyullah al-Dahlawi dan Pemikirannya
Historisitas ulama India di masa Shah Waliyullah al-Dahlawi hidup, tidak dapat dipisahkan dengan faktor sosial politik di India sendiri. Menjelang era tranformasi modern di anak benua India, Imperium Mughal – sebagaimana imperium Usmani dan Safawiyah merupakan sebuah rezim patrimonial – dengan kuat menekankan identitas India dan Persia yang kosmopolitan.
Kehidupan keagamaan Muslim di anak benua ini sangat pluralistik. Demikian juga struktur komunal keagamaan khususnya Muslim sebagai kaum minoritas di India tidak terbentuk dalam komunitas tunggal, melainkan terdiri dari berbagai kelompok etnis, nasab dan sejumlah kelas penduduk, bahkan terdiri dari beberapa kasta masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari budaya pengelompokan masyarakat di India.
Muslim India membentuk sejumlah badan keagamaan berdasarkan persekutuan mazhab hukum, seperti tarekat sufi dan kelompok fanatik terhadap tokoh tertentu. Sebagian mereka adalah warga Sunni dan sebagian Syi’i yang sulit dibedakan lantaran kuatnya simpati warga Sunni terhadap keluarga Ali. Warga Sunni sendiri dibedakan antara mereka yang komitmen terhadap skripturalis dan mereka yang berprinsip terhadap sufisme populer.
Pengaruh Syi’i di India juga sangat besar karena ada penguasa Muslim yang berasal dari aliran ini. Golconda dan Kashmir yang memerintah rezim Mughal mempunyai seorang istri Syi’i dan sejumlah kaum Syi’i pada saat itu menduduki jabatan tinggi. Pengikut Syi’i di India tidak hanya dari Syiah dua belas tetapi juga dari Nizariyah dan Bohras.
Latar belakang sosial-keagamaan itulah yang kemudian membuat Syah Waliyullah al-Dahlawi mencoba untuk melakukan pembaharuan agar sejumlah konsep sekitar makna sosial keyakinan agama Islam tidak saling bertabrakan (the social meaning of Islamic religious belief) dan ajaran Islam kembali murni sebagaimana yang dibawa oleh nabi Muhammad saw.
Baca Juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah
Dalam bidang tafsir, salah satu pemikiran Syah Waliyullah al-Dahlawi yang sering dikutip dan memiliki sumbangsih besar dalam rangka memahami ayat Al-Qur’an adalah teori asbabun nuzul makro dan mikro. Namun ia menggunakan istilah berbeda, yakni asbabun nuzul haqiqi dan asbabun nuzul juz’i. Konsep inilah yang kemudian hari mempengaruhi sarjana-sarjana kontemporer seperti Syahrur dan Abdullah Said.
Al-Dahlawi dalam kitabnya al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir, menyatakan bahwa asbabun nuzul yang ditampilkan para mufasir selama ini kurang valid (asbabun nuzul juz’i). Karena menurutnya, kebanyakan data sejarah tersebut ialah kisah yang sebenarnya tidak relevan untuk dijadikan asbabun nuzul. Sekalipun kisah itu relevan, semua itu hanya satu bagian dari seluruh realitas pewahyuan ayat Al-Qur’an dan seringkali bersifat parsial-subjektif.
Oleh karenanya, menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi diperlukan pemahaman mendalam terhadap sejarah pewahyuan secara utuh dan komprehensif. Ini dapat dilakukan melalui pengamatan atas keseluruhan kisah-kisah pewahyuan dan realitas sosial budaya yang ada di masyarakat Arab pada saat itu (asbabun nuzul haqiqi). Melalui dialektika antara realitas budaya dengan wahyu Al-Qur’an ini akan dihasilkan pemahaman komprehensif dan kontekstual. Wallahu a’lam.