Kendati diturunkan menggunakan bahasa Arab, syarat menafsirkan Al-Quran bukan berarti sesimpel hanya dengan memiliki wawasan kebahasaan saja. Jika memang benar adanya demikian, seharusnya para mufasir akan lahir dan tumbuh di kalangan para Arab Badui, yang saat itu dijadikan parameter kefasihan bahasa Arab sebelum Dinasti Abbasiyah melahirkan pakar–pakar bahasa Arab dari Basrah dan Kufah. Nyatanya, para Mufasir periode pertama berasal dari para sahabat Nabi yang menyaksikan proses turunnya Al-Quran secara langsung, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, dan lain sebagainya.
Artinya, pertimbangan mereka dalam menentukan syarat menafsirkan Al-Quran tidak hanya didasari pengetahuan bahasa saja, bahkan dalam At-Tafsir wal Mufassirun, Az-Zahabi pernah menceritakan bahwa beberapa sahabat sekelas Umar bin Khattab pernah berdiskusi dengan Ibnu Abbas tentang sebuah ayat lantaran tidak mengerti maksud ayatnya. Padahal secara genealogis, Umar lahir di kalangan Quraisy yang dialeknya dijadikan standarisasi bahasa Al-Qur’an.
Selain itu, banyak kata di dalam Al-Quran yang bukan bahasa Arab asli. Beberapa diantaranya adalah kata–kata yang sudah mengalami Ta’rib atau Arabisasi, sehingga orang dengan kefasihan tingkat tinggi pun akan kesulitan memaknainya.
Baca Juga: Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab
Pendapat Gus Awis Soal Tafsir Berbasis Linguistik
Dalam sebuah video yang diunggah di kanal youtube Tafsir Al-Qur’an ID, KH. Afifuddin Dimyathi yang akrab disapa Gus Awis, pakar ilmu tafsir dan linguistik Arab UIN Sunan Ampel Surabaya menjelaskan bahwa porsi bahasa dalam penafsiran Al-Quran hanya berkisar 25%, sehingga tidak cukup jika seorang mufasir hanya berbekal pengetahuan bahasa Arab.
Bahasa hanya bisa meraba kata–kata gharib dalam Al-Quran, seperti Ibnu Abbas yang menggunakan Syawahid As-Syi’r Al-Jahili (konten puisi Arab pra-Islam) untuk melacak kata–kata asing dalam Al-Quran. Banyak hal yang tidak bisa dijangkau bahasa dalam proses penafsiran Al-Quran.
Di antaranya adalah Asbabun Nuzul. Aspek ini sangat penting dijadikan pertimbangan dalam penafsiran Al-Qur’an. Sebab Al-Quran menurut jumhur ulama’ tafsir adalah obyek yang punya sisi historis. Kondisi dan situasi saat ayat turun sangat berpengaruh pada makna yang akan dihasilkan. Misalkan pada surat Al-An’am 145
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya : “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-An’am : 145)
Jika dilihat dari sudut pandang bahasa saja, maka tentu mufasir akan menyimpulkan bahwa ayat tersebut telah menyebutkan segala bentuk makanan yang dihalalkan. Yakni bangkai, babi, darah, dan hewan–hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Ada potensi penafsiran bahwa ayat ini mengisyaratkan bahwa hanya 4 hal tersebut yang diharamkan untuk dimakan.
Padahal nyatanya tidak demikian, Az-Zarkasy dalam Al-Burhan fi ‘Ulumil Qur’an menjelaskan bahwa potensi penafsiran tersebut akan tereduksi setelah mengetahui Asbabun Nuzul ayat, bahwa ayat tersebut tidak ditujukan untuk pembatas mutlak atas keharaman makanan, melainkan sebagai bantahan atas perilaku kafir Quraisy yang memutarbalikkan hukum Allah dengan menghalalkan segala yang diharamkan Allah. Di antara kebiasaan mereka adalah mengonsumsi keempat hal tersebut.
Baca Juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran
Selain itu, ada beberapa ayat Al-Quran yang lafadnya dimaknai dengan sangat berbeda dari makna leksikal ayat berdasarkan keputusan ijtihad jumhur ulama’ tafsir. Di antaranya adalah makna Yaqin pada ayat berikut
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Kata Yaqin dalam kamus–kamus dwibahasa Arab-Indonesia pasti dimaknai keyakinan. Dalam beberapa kamus ekabahasa Arab, seperti Al-‘Ain karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidi mendefinisikan Yaqin sebagai Izahatu As-Syak, wa Tahqiq Al-Amr (menyingkirkan keraguan dan menghadirkan sesuatunya). Sedangkan mayoritas mufasir, seperti Ibnu Katsir, Mujahid, Hasan, Qatadah, Abdurrahman bin Zaid, Salim bin Abdullah bin Umar, dan At-Tabari menyepakati bahwa kata Yaqin disitu berarti kematian. Sangat jauh bukan?
Baca Juga: Dosen di Korea pun Bertafsir, Kyai Mustain: Ada Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran
Syarat Kompetensi Mufasir
Syarat menjadi seorang mufasir setidaknya bisa kita rinci menjadi 2 kelompok besar, yakni syarat yang bersifat esensional dalam diri mufasir dan syarat kompetensi disiplin keilmuan. Sebagai syarat esensional, As-Suyuti dalam Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Quran mengutip pendapat At-Thabari bahwa peorang mufasir harus memiliki itikad yang baik dan benar, taat pada sunnah Rasul, memiliki wawasan keagamaan yang luas, Zuhud, serta lemah lembut dalam menyampaikan pendapat.
Sedangkan syarat kompetensi disiplin keilmuan, Manna’ Al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran menyebutkan bahwa setidaknya seorang mufasir harus menguasai 6 disiplin keilmuan untuk dianggap valid penafsirannya. Keenam keilmuan tersebut adalah Ilmu bahasa Arab (termasuk semua kaidah dan fenomenologinya), Ilmu Qira’ah, ilmu tauhid, ilmu Ushul At-Tafsir, ilmu Naskh wal Mansukh, dan ilmu Asbabun Nuzul.
Dengan demikian, penguasaan bahasa Arab memang menjadi salah satu syarat menafsirkan Al-Quran, meski demikian syarat tersebut bukan satu-satunya, hanya sebagian saja. Wallahu a’lam