Di tengah era digital yang terbelah oleh algoritma dan politik identitas, Alquran telah menawarkan konsep revolusioner empat belas abad silam: ta’aruf—proses saling mengenal yang mendalam. Konsep ini menyediakan kerangka etis untuk menjembatani jurang pemisah dalam masyarakat kontemporer yang terpolarisasi.
Keragaman untuk Saling Mengenal
Allah Swt. berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Ibnu Katsir (26/258) menjelaskan bahwa ayat ini hadir sebagai transisi dari petunjuk interaksi sosial menuju introspeksi personal. Ayat ini merespons fenomena pada masa jahiliah ketika setiap suku membanggakan diri dan menghina suku lain. Beberapa kabilah seperti Bahilah, Dhabi’ah, dan Bani ‘Akl sering menjadi objek penghinaan. Sebuah riwayat menceritakan tentang seorang Badui yang ditanya: “Apakah engkau ingin masuk surga meskipun engkau dari Bahilah?” Ia menjawab: “Ya, dengan syarat penduduk surga tidak tahu saya dari Bahilah.” Menurut Ibnu Katsir, fanatisme kesukuan inilah yang melahirkan berbagai penyakit sosial seperti ejekan, pencemaran nama baik, dan prasangka buruk.
Al-Maraghi (26/143) memperkuat penjelasan ini dengan menyebutkan sebab turunnya ayat tersebut. Ketika Bilal bin Rabah, sahabat berkulit hitam dan mantan budak, mengumandangkan azan di atas Ka’bah saat pembebasan Makkah, beberapa tokoh Quraisy membuat komentar “rasis.” ‘Attab bin Usaid berkata: “Alhamdulillah ayahku telah wafat dan tidak menyaksikan hari ini.” Harith bin Hisham bertanya: “Tidakkah Muhammad menemukan selain burung gagak hitam ini untuk menjadi muadzin?” Al-Maraghi menegaskan bahwa ayat ini turun sebagai teguran atas kesombongan berbasis keturunan dan kekayaan, sambil menetapkan bahwa kemuliaan hanya diukur dengan ketakwaan.
Baca juga: Tafsir Surah Alhujurat Ayat 13: Merawat Kerukunan, Memberantas Rasisme
Bagi mereka yang terkurung dalam gelembung informasi dan menolak membuka diri pada perspektif berbeda, ayat ini membawa pesan mendasar: keragaman bukanlah ancaman yang harus dihindari, melainkan desain ilahi untuk proses ta’aruf—saling mengenal secara mendalam. Di era algoritma yang mengarahkan manusia hanya pada konten yang mengonfirmasi bias yang sudah ada, ayat ini menjadi panggilan ilahi untuk secara aktif mencari dan memahami sudut pandang yang berbeda.
Kata li ta’ārafū menggunakan bentuk resiprokal, menggarisbawahi proses dua arah yang jauh melampaui konsep ”toleransi” sepihak. Bagi mereka yang menolak perspektif berbeda, ayat ini menantang untuk tidak hanya menerima perbedaan, tetapi aktif mempelajarinya. Mereka yang hanya nyaman dalam homogenitas pandangan perlu menyadari bahwa sikap tersebut paradoksal dengan fitrah keragaman yang Allah ciptakan sebagai sarana untuk memperkaya pemahaman tentang kebesaran-Nya.
Keragaman sebagai Tanda Kekuasaan Allah
Allah Swt berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 22).
Al-Thabari (18/479) menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bukti kekuasaan Allah yang mampu menciptakan perbedaan bahasa dan warna kulit manusia. Beliau menafsirkan bahwa jika Allah mampu menciptakan keragaman ini, tentu Dia juga mampu menghidupkan kembali manusia setelah kematian—sebuah fenomena yang sering diingkari oleh kaum musyrikin.
Al-Maraghi (21/38–39) menambahkan dimensi praktis dalam tafsirnya bahwa keragaman bahasa—Arab, Prancis, Inggris, Hindi, Mandarin, dan lainnya—memungkinkan untuk membedakan antara teman dan musuh, serta mengenali asal-usul seseorang. Keragaman bahasa dan fisik manusia merupakan kebutuhan esensial dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak terhitung banyaknya.
Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 13
Bagi mereka yang menganggap perbedaan sebagai ancaman, ayat ini mengubah paradigma fundamental: perbedaan bahasa, warna kulit, dan latar belakang budaya bukanlah hasil kebetulan evolusioner atau konstruksi sosial semata, tetapi merupakan “ayat”—tanda-tanda kekuasaan Allah yang sengaja diciptakan untuk direnungkan. Menolak atau menghindari keragaman sama dengan mengabaikan kesempatan untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah yang termanifestasi dalam beragam ekspresi kemanusiaan.
Di era polarisasi digital di mana banyak orang secara aktif menghindari perspektif yang berbeda, ayat ini menyodorkan pemahaman bahwa keragaman merupakan dimensi spiritual yang tidak terpisahkan dari penciptaan. Bagi mereka yang terjebak dalam keseragaman pandangan, pengamatan mendalam terhadap keragaman bahasa dan fisik manusia dapat menjadi pintu masuk untuk mengapresiasi kompleksitas ciptaan Allah. Dengan mengabaikan keragaman, seseorang sesungguhnya kehilangan kesempatan untuk menjadi “orang-orang yang mengetahui” (lil-‘ālimīn) sebagaimana disebut di akhir ayat.
Kesatuan Asal Manusia
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 213).
Menurut Ibnu Ashur (2/298) ayat ini menegaskan bahwa perbedaan agama adalah fenomena yang muncul di tengah manusia karena adanya hikmah tertentu, dan Allah kemudian mengembalikan manusia pada kesatuan agama melalui Islam. Beliau menekankan bahwa semua manusia berasal dari orang tua yang sama, Adam dan Hawa.
Pada awalnya, umat manusia membentuk satu komunitas dengan temperamen dan gaya hidup yang serupa. Allah menciptakan manusia dengan fitrah yang condong pada kesempurnaan dan kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam surah At-Thin ayat 4: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Menurut Ibnu Ashur (2/303), akal yang sehat menjadi unsur terpenting dalam fitrah manusia ini, memungkinkan mereka untuk membedakan yang baik dan buruk serta mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13: Apakah Alquran Menyetarakan Kasta dalam Pernikahan?
Bagi mereka yang terperangkap dalam identitas kelompok yang sempit dan eksklusif, ayat ini mengingatkan tentang kesatuan primordial umat manusia. Di era ketika politik identitas memecah belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan, ayat ini menjadi pengingat bahwa fragmentasi identitas yang terlihat saat ini adalah deviasi dari kondisi asal manusia yang satu.
Frasa “kāna al-nāsu ummatan wāhidah” (manusia itu adalah umat yang satu) memberikan landasan ontologis untuk mengatasi polarisasi. Mereka yang tidak membuka diri pada dialog antarkelompok perlu menyadari bahwa sikap ini bertentangan dengan fitrah kesatuan manusia. Ayat ini juga menunjukkan bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan setelah manusia berkembang biak dan membentuk komunitas yang beragam. Namun, Allah telah menyediakan petunjuk melalui para nabi dan kitab suci untuk mengatasi perbedaan tersebut.
Dalam konteks ruang gema digital yang memperkuat polarisasi, ayat ini mengajak untuk kembali pada kesadaran akan asal kemanusiaan bersama. Alih-alih mengunci diri dalam identitas partisan yang sempit, setiap orang diingatkan bahwa di balik semua perbedaan ideologi, politik, dan keyakinan, terdapat kemanusiaan bersama yang berasal dari sumber yang sama. Kesadaran ini dapat menjadi fondasi untuk dialog yang melampaui sekat-sekat identitas.
Aplikasi Ta’aruf di Era Digital
Beberapa prinsip utama dari konsep ta’aruf yang dapat menjembatani polarisasi modern:
- Kesatuan asal: mengenali bahwa semua manusia berasal dari sumber yang sama, sehingga menyediakan landasan dialog melampaui perbedaan identitas.
- Keragaman sebagai ayat: memandang perbedaan bahasa, warna kulit, dan budaya sebagai tanda kekuasaan Allah, bukan sebagai ancaman.
- Dialog multiarah: membangun komunikasi otentik yang berfokus pada pemahaman, bukan sekadar memenangkan argumen.
- Ketakwaan sebagai standar: mengevaluasi diri dan orang lain berdasarkan integritas dan ketakwaan, bukan berdasarkan identitas kelompok.
- Proaktif melintas batas: secara sadar mencari perspektif yang berbeda untuk melawan algoritma yang mempersempit pandangan.
Menghidupkan Ta’aruf, Merawat Kemanusiaan
Konsep ta’aruf yang digariskan Alquran menawarkan jalan keluar dari polarisasi yang mencengkeram masyarakat digital masa kini. Prinsip ini bukan sekadar seruan untuk toleransi pasif, melainkan undangan aktif untuk memperkaya diri melalui perjumpaan dengan keragaman. Dalam masyarakat yang terkotak-kotak oleh algoritma dan politik identitas, ayat-ayat tentang keragaman dan kesatuan asal manusia menjadi panduan profetik yang mengingatkan bahwa perbedaan adalah desain ilahi untuk saling memahami, bukan untuk saling menjauh.
Menghidupkan kembali prinsip ta’aruf dalam interaksi digital dan sosial memerlukan transformasi mendalam dalam cara memandang “yang lain.” Ini mengharuskan setiap individu untuk melampaui sekat-sekat identitas yang membatasi, dan kembali pada kesadaran bahwa di balik seluruh perbedaan politik, ideologi, dan budaya, terdapat kemanusiaan bersama yang mendambakan pengakuan, pemahaman, dan penghargaan. Dalam cara inilah manusia dapat menemukan jalan keluar dari labirin polarisasi menuju peradaban yang lebih berkeadaban. Wallahu ‘alam.