BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Bagaimana Hukum Khitan, Wajib atau Sekadar Anjuran?

Tafsir Ahkam: Bagaimana Hukum Khitan, Wajib atau Sekadar Anjuran?

Salah satu ibadah yang ada di dalam syariat Nabi Muhammad dan diwarisi dari nabi terdahulu, adalah ibadah khitan. Ibadah khitan diwarisi dari Nabi Ibrahim. Konon Nabi Ibrahim sendiri berkhitan pada umur 80 tahun dengan menggunakan kapak. Kaum Nabi Muhammad sendiri umumnya melaksanakan khitan pada umur kanak-kanak. Secara umum, umat muslim mengenal khitan sebagai ibadah yang penting untuk dilakukan. Lalu bagaimana sebenarnya hukum khitan? Apakah wajib? Atau sekedar anjuran saja yang sebenarnya boleh untuk tidak dilakukan? Berikut penjelasannya dari para ulama.

Baca Juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Syariat Nabi Ibrahim

Sebagian ulama’ meyakini bahwa khitan hukumnya wajib. Hal ini berdasar firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 123:

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik.” (An-Nahl [16]: 123).

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya berkomentar mengenai khitan tatkala memberi tafsir tentang ayat di atas. Bahwa para ulama’ bersilang pendapat mengenai hukum khitan. Mayoritas menyatakan bahwa khitan termasuk kesunnahan yang amat dianjurkan. Namun sebagian ulama’ menyatakan bahwa hukum khitan adalah wajib berdasar ayat di atas (Tafsir Al-Qurthubi/2/99).

Ulama’ yang meyakini bahwa khitan hukumnya wajib adalah Mazhab Syafi’iyah dan sebagian Mazhab Malikiyah. Imam Al-Qurthubi kemudian menyatakan bahwa Ibn Suraij mengklaim bahwa ulama’ sepakat bahwa khitan hukumnya wajib. Dasar yang ia pakai adalah, andai khitan bukan sesuatu yang diwajibkan, tentu ia tidak boleh dilakukan. Sebab di dalam khitan ada praktik melihat aurat yang seharusnya di haramkan.

Imam An-Nawawi dari kalangan Syafi’iyah menyatakan, khitan hukumnya wajib. Dan ini adalah pendapat yang diyakini kebanyakan ulama’ salaf, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Khatabi. Dasar yang dipakai adalah Surat An-Nahl ayat 123. Di dalam ayat tersebut ada perintah untuk mengikuti syariat Nabi Ibrahim, dan khitan termasuk syariat Nabi Ibrahim, maka khitan hukumnya wajib (Al-Majmu’/1/300).

Baca Juga: Surah Al-Baqarah Ayat 129: 3 Harapan Nabi Ibrahim Untuk Figur Nabi Muhammad saw

Imam An-Nawawi juga menyatakan, bahwa ada yang mengkritik bahwa Surat An-Nahl ayat 123 tidak menunjukkan kewajiban berkhitan. Dan hanya menunjukkan bahwa kita harus mengikuti syariat Nabi Ibrahim. Dalam artian, mana yang sunnah di dalam syariat Nabi Ibrahim, maka sunnah juga bagi kita. Dan mana yang wajib, maka wajib juga bagi kita. Dan kita tidak tahu hukum khitan di dalam syariat Nabi Ibrahim. Sehingga tidak bisa menunjukkan bahwa hukum khitan itu wajib bagi kita.

Imam An-Nawawi menjawab kritik tersebut dengan argumen, Surat An-Nahl ayat 123 menunjukkan kewajiban mengikuti syariat nabi Ibrahim. Hal itu berarti, apa yang menjadi syariat Nabi Ibrahim, entah itu sunnah atau wajib, maka menjadi kewajiban kita. Kecuali kalau ada dasar lain bahwa syariat Nabi Ibrahim tersebut merupakan kesunnahan bagi kita (Al-Majmu’/1/298).

Surat An-Nahl ayat 123 hanyalah salah satu dasar hukum wajibnya berkhitan menurut ulama’ yang meyakininya. Selainnya, ada dasar hadis dan logika syariat. Diantara logika syariat yang mendukung hukum wajib berkhitan adalah, memotong anggota tubuh hukumnya adalah haram. Andai khitan hukumnya tidak wajib, tentu akan diharamkan, sebab ada praktik memotong anggota tubuh di dalamnya.

Surat An-Nahl ayat 123 adalah dasar diwajibkannya khitan menurut sebagian ulama’. Khitan sendiri ada yang menyatakan bahwa hukunya wajib bagi laki-laki dan perempuan, ada yang menyatakan tidak wajib bagi keduanya, dan ada yang menyatakan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/6547).

Lalu manakah yang menjadi pendapat mayoritas ulama? belum ada keterangan yang jelas soal hal ini, yang ada hanya klaim-klaim semata. Bahkan ada pula yang mengklaim adanya kesepakatan ulama pada hukum wajibnya khitan bagi laki-laki dan perempuan. Namun untuk khitan perempuan, masih terus dikaji manfaat dan mudaratnya, karena tidak semuanya bisa disamakan dengan laki-laki. Wallahu a’lam bishshowab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...