Kriteria anggota keluarga dalam Islam tidaklah selalu sama dengan yang dipahami masyarakat umum. Dalam Islam, seorang ibu tidaklah selalu orang yang melahirkan atau yang menjadi pasangan ayah kita. Seorang ibu bisa jadi adalah orang yang tidak melahirkan kita dan bukan pula pasangan ayah kita, namun pernah menyusui kita tatkala kecil atau lazimnya disebut ibu persusuan. Berikut keterangan Al-Qur’an tentang keberadaan keluarga sepersusuan atau dalam istilah Islam disebut saudara radha’.
Kejelasan status seseorang sebagai anggota keluarga amat penting dalam Islam. Hal ini berkaitan dengan adanya hukum seperti batalnya wudhu seseorang saat menyentuh lawan jenis selain mahram, haramnya menikahi seseorang yang berstatus mahram, juga guna menentukan siapa saja yang berhak menerima warisan dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, besar sekali perhatian Islam perihal nasab.
Baca Juga: Keluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa
Ibu Dan Saudara Sepersusuan
Keberadaan keluarga sepersusuan ditunjukkan oleh firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan (QS. An-Nisa’ [4] 23).
Imam Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, ayat di atas menunjukkan bahwa sebagaimana diharamkan atas kita menikahi ibu yang melahirkan kita, begitu juga diharamkan bagi kita menikahi ibu susu kita. Dari sini muncul dua kategori seorang ibu, yaitu ibu yang melahirkan, dan ibu yang menyusui (Tafsir Ibn Katsir/2/248).
Menurut keterangan Imam Ar-Razi yang mengutip dari Imam Al-Wahidi, ibu persusuan diistilahkan dengan “ibu” sebagai bentuk pemuliaan terhadap orang yang menyusui kita. Hal ini sebagaimana yang berlaku pada istri-istri Nabi Muhammad yang diistilahkan sebagai para ibu kaum muslim. Hal ini disinggung oleh Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 6 (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/136).
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Bersentuhan dengan Lawan Jenis itu Membatalkan Wudhu?
Imam As-Syafi’i di dalam tafsirnya menyatakan, ayat di atas memberikan kita dua kemungkinan pemahaman. Pertama, keharaman sebab persusuan hanya terbatas pada ibu dan saudari perempuan. Hal ini dikarenakan hanya dua jenis ini yang disinggung oleh Al-Qur’an. Kedua, keharaman sebab persusuan mencakup semua orang yang masih satu nasab dengan si ibu. Dan kemungkinan kedua inilah yang dipilih Imam As-Syafi’i berdasar qiyas dari Al-Qur’an dan keterangan dari hadis Nabi (Tafsir Imam As-Syafi’i/2/568).
Hadis yang dimaksud oleh Imam As-Syafi’i dan juga dijadikan dasar oleh ulama’ lain dalam menentukan mana yang termasuk keluarga sepersusuan, adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan berbunyi:
“إِنَّ الرَّضَاعَةَ تَحْرُمُ مَا تَحْرُمُ الْوِلَادَةُ”
Sesungguhnya persusuan membuat haram apa yang diharamkan sebab melahirkan (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan:
“يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ”
Diharamkan sebab persusuan apa yang diharamkan sebab nasab (HR. Imam Muslim).
Berdasar ayat serta hadis di atas, dapat diketahui bahwa ada empat kategori keluarga sepersusuan, atau orang-orang yang haram dinikah sebab persusuan, yaitu ibu yang menyusui dan saudara sepersusuan. Dua kategori awal ini berdasar pada redaksi ayat di atas. Selain keduanya ada lagi yaitu bibi dari pihak ibu atau ayah serta keponakan baik dari saudara laki-laki maupun perempuan. Untuk dua kategori yang terakhir berdasar pada dua hadis di atas (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/7848).
Berdasar pada hadis di atas ini pula, diketahui bahwa ada konsekuensi hukum lain yang dibawa oleh keluarga atau saudara sepersusuan selain nikah, seperti tidak batalnya wudhu seseorang ketika bersentuhan kulit saudara sepersusuannya, dan juga hal lainnya.
Uraian di atas menunjukkan kepada kita tentang dipertimbangkannya keluarga sepersusuan di dalam Islam. Dan hal ini berdampak bahwa kriteria orang yang haram dinikah tidaklah terbatas pada keluarga yang melahirkan kita, namun juga keluarga ibu yang pernah menyusui kita meski tidak melahirkan kita. Mengenai bagaimana syarat-syarat kategori ‘menyusui’ yang bisa menyebabkan ‘sepersusuan’ dapat dipelajari dalam kitab-kitab fikih yang mendetail yang membahas permasalahan ini.
Fakta keberadaan keluarga persusuan ini penting untuk diperhatikan agar kita tidak secara sembrono membiarkan orang lain menyusui anak kita. Sebab nantinya pernikahan anak kita dengan anak orang yang pernah menyusui anak kita adalah pernikahan yang dilarang agama dan dapat berujung pada perzinahan. Wallahu a’lam bishshowab