Air hujan tidaklah secara langsung disebut oleh Al-Qur’an lewat redaksi asalnya. Meski begitu, berdasar beberapa ayat yang secara tidak langsung menyinggung perihal air hujan, ulama’ menetapkan hukum air hujan adalah suci serta dapat mensucikan pada hadas kecil maupun hadas besar. Sehingga berwudhu dengan air hujan yang turun langsung dari langit maupun terlebih dahulu melewati talang bangunan, hukumnya diperbolehkan. Lalu seperti apakah bunyi redaksi Al-Qur’an tentang hujan? Dan apakah air hujan senantiasa bersifat suci dan mensucikan? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:
Air dari Langit
Imam As-Syairazi, seorang pakar fikih Mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa dasar hukum suci dan dapat digunakannya air hujan untuk bersuci adalah firman Allah (Al-Muhadzdzab/1/13):
اِذْ يُغَشِّيْكُمُ النُّعَاسَ اَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهٖ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلٰى قُلُوْبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْاَقْدَامَۗ ١١
(Ingatlah) ketika Allah membuat kamu mengantuk sebagai penenteraman dari-Nya dan menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu, dan menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu. (QS. Al-Anfal [8] :11)
Imam Ibn Katsir menjelaskan, ayat di atas berkenaan Kaum Muslim tatkala menuju ke Badar mereka mengalami keadaan amat membutuhkan air. Sementara pada saat itu, sumber air dikuasai kaum musyrik. Hal ini menimbulkan rasa khawatir pada hati kaum muslim. Sebab mereka membutuhkan air untuk minum dan bersuci. Maka Allah menurunkan hujan agar dapat digunakan untuk minum dan bersuci.
Ibn Katsir juga menjelaskan, bahwa maksud redaksi “mensucikan” dalam ayat di atas adalah mensucikan secara lahir. Yakni mensucikan diri dari hadas kecil dan besar. Hal ini menepiskan anggapan bahwa maksud dari “mensucikan” adalah selain persoalan anggota lahir (Tafsir Ibn Katsir/4/23).
Imam Ar-Razi di dalam tafsir Mafatihul Ghaib meyakinkan, bahwa sudah jelas yang dimaksud air yang diturunkan dalam ayat di atas adalah air hujan. Penjelasan ini seakan menepiskan kemungkinan bahwa air yang diturunkan tersebut bukanlah air hujan. Mengingat memang Al-Qur’an tidak secara langsung menyebut istilah “air hujan”. Imam Ar-Razi mendasarkan pendapatnya dengan sebab turunnya ayat tersebut, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Katsir di atas (Tafsir Mafatihul Ghaib/7/374).
Sedang Imam Al-Qurthubi mengulas tentang hukum air hujan dalam ayat lain, yang juga menyinggung air hujan:
وَهُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًاۢ بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهٖۚ وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً طَهُوْرًا ۙ ٤٨
Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan). Kami turunkan dari langit air yang sangat suci (QS. Al-Furqan [25] :48).
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa redaksi “thahhuran” dalam ayat di atas tidaklah sekedar bermakna suci, tapi sangat suci dalam artian hingga memiliki kemampuan mensucikan hal lain. Sehingga air hujan adalah air yang dirinya sendiri suci, juga memiliki kemampuan mensucikan hal lain. Hal ini penting untuk diperhatikan, sebab tidak setiap air yang suci, juga bisa mensucikan. Sebagaimana air kelapa muda yang suci, tapi tidak dapat dibuat untuk berwudhu.
Lalu apakah air hujan senantiasa terus menerus memiliki sifat suci dan mensucikan? Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa dua sifat tersebut tidak senantisa melekat pada air hujan. Yakni pada saat air hujan bercampur dengan benda lain. Bercampurnya air hujan dengan benda lain dapat menghilangkan sifat “mensucikannya” air hujan, bahkan juga sifat suci air hujan itu sendiri. Penjelasan rinci persoalan ini dan dipelajari dalam kitab-kitab fikih (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/39).
Berbagai uraian di atas menunjukkan dasar hukum air hujan dalam Al-Qur’an, sekaligus berbagai pandangan ahli tafsir tentang berbagai redaksi ayat tentang air hujan. Air hujan dapat digunakan untuk berwudhu. Maka berwudhu dengan guyuran air hujan langsung dari langit, atau yang sudah melewati talang bangunan semisal, hukumnya boleh.
Beberapa hal yang perlu diketahui terkait ayat tentang air hujan adalah, Al-Qur’an tidak menyinggung air hujan langsung menggunakan istilah “air hujan”. Selain itu, air memiliki dua sifat yang tidak selalu bergandengan satu sama lain. Yaitu sifat suci dan sifat mensucikan. Wallahu a’lam bish showab.