Musibah banjir yang baru-baru ini terjadi di sebagian daerah di Indoensia membuat banyak orang kehilangan rumah dan harta mereka. Cobaan hidup atau musibah seperti ini tak jarang menekan perasaan orang yang mengalaminya, sehingga entah disadari atau tidak membuat mereka mengeluh dan berucap agar diberi kematian saja. Lalu bagaimana pandangan Alquran dan hadis terkait prilaku seperti ini? Apakah benar meminta kematian dalam Islam adalah suatu prilaku tercela? Dan apabila benar, apakah hal itu berlaku secara mutlak? Berikut keterangan para ulama:
Berharap Mati dalam Alquran
Allah berfirman:
قُلْ اِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ عِنْدَ اللّٰهِ خَالِصَةً مِّنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ ٩٤ وَلَنْ يَّتَمَنَّوْهُ اَبَدًاۢ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢ بِالظّٰلِمِيْنَ ٩٥
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah khusus untukmu, bukan untuk orang lain, mintalah kematian jika kamu orang-orang benar.” Akan tetapi, mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali karena (dosa-dosa) yang telah dilakukan oleh tangan-tangan mereka. Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim. (QS. Al-Baqarah/94-95).
Tatkala menguraikan tafsir ayat ini beberapa ulama menerangkan hukum tentang persoalan mengharap diberi kematian. Imam ar-Razi menyatakan bahwa mengharap diberi kematian adalah suatu larangan. Hal ini ditegaskan oleh hadis yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ أَحْيِنِى مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِى ، وَتَوَفَّنِى إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِى
Janganlah salah seorang kalian berharap diberi kematian sebab kesulitan yang menimpa. Apabila terpaksa mengharapkannya, hendaknya dia berdoa: “Ya Allah, berilah aku kehidupan selama hidup adalah hal baik bagiku. Dan berilah aku kematian apabila mati baik bagiku (HR. Imam Bukhari) (Mafatihul Ghaib/2/226).
Baca Juga: Empat Kata yang Digunakan Al-Quran untuk Makna Kematian
Imam al-Alusi menyatakan bahwa mengharap diberi kematian, baik dalam bentuk ucapan lisan seperti perkataan seseorang, andai saja…, maupun dalam bentuk bisikan dalam hati yang kemudian terucap merupakan sesuatu yang dilarang jika hal tersebut adalah ekspresi dari keluhan serta tidak menerima atas takdir Allah. Namun apabila perasaan ingin mati itu berasal dari rasa rindu kepada Allah, maka hal tersebut bukan sesuatu yang dilarang (Tafsir al-Alusi/1/418). Dengan demikian, Al-Alusi berarti masih melihat motif di belakang pengaharapan seseorang untuk mati, tidak langsung menghukuminya.
Ibn Hajar al-Asqalani menerangkan kandungan hadis di atas, meski hadis tersebut diucapkan di hadapan para sahabat, namun menurutnya, hadis tersebut tetap berlaku umum, juga berlaku kepada selain sahabat. Selain itu, tuntunan dari Nabi berupa doa meminta kematian menunjukkan bahwa larangan mengharapkan kematian tidak berlaku secara mutlak. Di situ al-Asqalani menangkap sikap pengertian Nabi kepada umatnya, seakan Nabi memaklumi bahwa tidak mungkin seseorang dalam keadaan normal akan mengharapkan kematian untuk dirinya, pasti ada suatu motif yang menyebabkan seseorang berbuat demikian. Oleh karena itu, Nabi mengajarkan doa kepada umat yang demikian. (Fathul Bari/16/174).
Imam al-Nawawi di dalam Syarah Muslim menerangkan bahwa mengharapkan diberi kematian sebab kesulitan dunia hukumnnya adalah makruh. Hal ini menunjukkan bahwa larangan dalam mengharapkan diberi mati tidak sampai berdampak pada hukum haram. Al-Nawawi juga mencontohkan bahwa kesulitan duniawi bisa berupa keadaan sakit, kesulitan hidup, fitnah dari musuh dan sebagainya (Syarah Sahih Muslim/9/43)
Selain itu, Imam al-Qulyubi menerangkan bahwa petunjuk Nabi Muhammad untuk mengucapkan doa di atas tatkala mengharapkan mati sebab persoalan duniawi, bukan berarti lantas menghilangkan hukum makruh yang ada. Hukum makruh tetap ada, tapi lebih ringan (Hasyiyah al-Qulyubi alal Mahalli/1/403).
Baca Juga: Pembacaan Zaghlul An-Najjar terhadap Ayat-ayat Kematian
Kesimpulan
Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum berharap mati bergantung pada hal yang mendorong harapan tersebut. Apabila sebab kesulitan duniawi, maka hukumnya makruh. Apabila sebab berharap memperoleh kemuliaan akhirat, seperti berharap mati syahid atau terhindar dari kekacauan agama, maka tidak makruh. Bahkan ada yang menyatakan hukumnya sunah (Nihyatul Muhtaj/8/306).
Selain itu, dari sini bisa dilihat pandangan Islam tentang kematian. Kematian memang identik dengan pertemuan dengan Allah dan terhindar dari fitnah dunia. Namun kadang kematian diinginkan seseorang untuk lari dari kewajiban yang diberikan Allah kepada hambanya. Bersabarlah, karena belum tentu yang dianggap tidak baik oleh manusia itu tidak baik menurut Allah, begitu pula sebaliknya. Wallahu a’lam.