BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Hukum Makruh Berwudhu Dengan Air Musyammas

Tafsir Ahkam: Hukum Makruh Berwudhu Dengan Air Musyammas

Beberapa ulama menjelaskan tentang hukum makruh berwudhu dengan air musyammas. Air Musyammas secara Bahasa adalah air yang bersuhu panas sebab terkena panas matahari. Dengan beberapa catatan khusus, sebagian ulama’ menyatakan makruh berwudhu dengan air tersebut. Hal ini seiring adanya sabda Nabi terkait air jenis seperti itu. Lalu benarkah air seperti itu dimakruhkan? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini.

Definisi Air Musyammas

Imam Ar-Razi di sela-sela menjelaskan air yang dapat digunakan bersuci menjelaskan, bahwa beberapa ulama’ mazhab syafi’i menyatakan bahwa hukumnya makruh berwudhu dengan air yang sengaja dipanaskan dengan matahari. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Malik serta Ahmad yang menyatakan tidak adanya hukum makruh (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/494).

Imam Ar-Razi menyodorkan hadis yang menjadi dasar hukum dengan hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas dan berbunyi:

« من اغتسل بماء مشمس فأصابه وضع فلا يلومن إلا نفسه »

Barang siapa mandi dengan dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari lalu terkena sesuatu, maka janganlah ia mencaci kecuali pada dirinya sendiri (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/494).

Imam Al-Qurthubi tidak secara jelas menjelaskan tentang hukum air musyammas. Namun beliau sempat menyinggung adanya riwayat sahih bahwa Sahabat Umar ibn Khattab mandi dengan air yang dipanaskan dalam bejana. Ia juga menyinggung hadis yang dinilainya bermasalah dan menjadi dasar hukum makruhnya air musyammas. Hadis tersebut diriwayatkan dari Jabir dan berbunyi:

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا شَمَّسَتْ مَاءً لِرَسُولِ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} ، فَقَالَ النَّبِيُّ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} : ” لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَا فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ “

Sesungguhnya ‘Aisyah memanaskan air untuk Rasulullah. Lalu Nabi bersabda: “Jangan berbuat seperti itu, hai ‘Aisyah. Hal itu bisa menyebabkan penyakit kusta (HR. Al-Baihaqi).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Najiskah Air Bekas Jilatan Anjing?

Berdasar hadis di atas, ulama’ dari kalangan mazhab syafi’i yang salah satunya adalah Imam Mawardi menyatakan, hukumnya makruh berwudhu dengan air musyammas. Yang dimaksud air musyammas adalah air dalam wadah yang kemudian terkena panas matahari. Bukan air di laut, sumur, dan sebagainya yang terkena panas matahari kemudian menjadi panas. Imam Mawardi juga menjelaskan berbagai pendapat ulama’ mengenai hukum makruh menggunakan air musyammas.

Ada yang menyatakan kemakruhan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah diantaranya Makkah dan Madinah, tetapi ada pula yang menyatakan secara umum. Beberapa ulama’ menyatakan bahwa hukum makruh berlaku pada penggunaan langsung ke tubuh, entah itu dengan tujuan ibadah atau tidak. Sedang penggunaan untuk selain langsung ke tubuh, semisal untuk mencuci baju, maka tidak makruh. Selain itu, beberapa ulama’ juga menyatakan bahwa hukum makruh air musyammas menjadi hilang dengan hilangnya hawa panas dari air tersebut (Al-Hawi Al-Kabir/1/53).

Pendapat Imam An-Nawawi

Yang menarik dari permasalahan air musyammas ini adalah pendapat Imam An-Nawawi; seorang pakar perbandingan mazhab dari kalangan mazhab syafi’i dan sekaligus diakui memiliki kapasitas menilai dan mengkoreksi pendapat ulama’ sebelumnya. Imam An-Nawawi menilai bahwa hadis yang menjadi dasar hukum makruhnya air musyammas adalah hadis lemah. Ia menyatakan bahwa ahli hadis sepakat bahwa hadis yang disampaikan Imam Al-Qurthubi di atas dan diriwayatkan dari Jabir adalah hadis lemah.

Imam An-Nawawi juga menyatakan, pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada hukum makruh dalam air musyammas dan dinilai lemah oleh beberapa ulama’ mazhab syafi’i, justru itu adalah pendapat yang benar dan sesuai dengan kaidah penggalian hukum yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i. Sebab hukum makruh tidak memiliki dasar sama sekali.

Imam Syafi’i sendiri tatkala mengomentari surat Al-Furqan ayat 48 menyatakan: “Setiap air baik itu air laut yang asin, air tawar, air sumur, air hujan, air embun, air salju, entah itu dipanaskan atau tidak, hukumnya sama. Bersuci dengannya diperbolehkan. Dan aku tidak menghukumi makruh air musyammas kecuali sebab unsur kedokteran. Karena Umar tidak menyukai hal itu (Tafsir Imam Syafi’i/3/1157).

Baca Juga: Meneladani Semangat Pemuda Ashabul Kahfi dalam Al-Quran

Ucapan Imam Syafi’i tersebut difahami oleh Imam An-Nawawi bukan sebagai keputusan hukum makruhnya air musyammas, tetapi hanya pemberitahuan bahwa kemakruhannya bergantung pada komentar para dokter. Dimana bila mereka menyatakan bahwa air tersebut tidak berbahaya, dan memang demikianlah adanya menurut Imam An-Nawawi berdasar keterangan para dokter, maka tidak ada hukum makruh (Al-Majmu’/1/87).

Dari berbagai kesimpulan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mayoritas ulama meyakini tidak ada hukum makruh dalam air musyammas. Bagi yang menyakini hukum makruh, kemakruhan tersebut hanya berlaku pada air pada sebuah wadah yang kemudian dipanaskan dengan panas matahari. Tidak berlaku secara mutlak untuk setiap air yang terkena panas matahari. Wallahu a’lam bish showab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...