BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Hukum Memberi Jarak Antara Basuhan ke Basuhan Selanjutnya Ketika Wudhu

Tafsir Ahkam: Hukum Memberi Jarak Antara Basuhan ke Basuhan Selanjutnya Ketika Wudhu

Salah satu hal yang menurut ulama harus ada ketika wudhu, selain dari membasuh atau mengusap anggota wudhu serta tartib, adalah muwalah. Muwalah adalah sebuah istilah untuk tidak adanya jarak waktu antar membasuh/mengusap anggota wudhu. Dalam sebuah wudhu semisal, setelah membasuh wajah dan akan membasuh tangan, jangan sampai disela-selai kegiatan seperti memasak atau belanja di pasar. Lalu bagimana hukum memberi jarak antara basuhan ke basuhan selanjutnya ketika wundhu?

Oleh karena itu, andai kita berwudhu dan membasuh wajah di rumah, dan entah karena satu ada dua hal mengharuskan kita baru bisa membasuh tangan di kamar mandi masjid, hal itu disebut tidak muwalah. Sebab adanya jarak waktu cukup panjang antara membasuh wajah dan tangan. Lalu bagaimana sebenarnya hukum muwalah dalam wudhu? Dan sebatas mana jarak waktu yang membuat wudhu menjadi tidak muwalah? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Ragam Pendapat Kewajiban Muwalah dalam Wudhu

Para ulama tafsir mengulas permasalahan muwalah tatkala menguraikan makna firman Allah yang berbuyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki (QS. Al-Ma’idah [5] :6).

Baca juga: Mengapa Bid’ah Selalu Berkonotasi Negatif? Begini Penggunaannya dalam Al-Qur’an

Imam Al-Qurthubi dan Ibnul Arabi menjelaskan, ada banyak pendapat mengenai hukum muwalah. Ada yang mewajibkannya sampai-sampai apabila lupa harus mengulangi wudhu, ada yang menyatakan apabila lupa muwalah wudhunya tetap sah, ada yang tidak mewajbkan muwalah sama sekali, ada juga yang mewajibkan muwalah hanya tatkala membasuh bukan mengusap anggota wudhu (Tafsir Al-Jami’ liahkamil Qur’an/6/98 dan Ahkamul Qur’an Libni ‘Arabi/3/130).

Imam Ar-Razi menyatakan, bahwa menurut Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya dan Abu Hanifah, muwalah bukanlah syarat sah dalam wudhu. Hal ini menunjukkan bahwa wudhu tanpa adanya muwalah hukumnya tetap sah. Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa praktik wudhu dalam ayat di atas menyimpan dua kemungkinan, antara dilakukan tanpa muwalah dan dengan muwalah. Namun melihat akhir ayat yang secara tidak langsung menunjukkan tindakan wudhu yang disampaikan, entah itu dengan muwalah atau tanpa muwalah, bisa menjadikan pelakunya suci dari hadas, hal itu menunjukkan bahwa wudhu tanpa muwalah tetap membuat pelakunya menjadi suci dari hadas (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/482).

Imam Al-‘Umrani menjelaskan, pendapat yang menyatakan bahwa wudhu tanpa muwalah hukumnya tetap sah, berpijak pada ayat tentang wudhu yang sama sekali tidak menyinggung perihal muwalah. Hal ini menunjukkan bahwa wudhu baik dengan muwalah atau tidak muwalah, hukumnya tetaplah sah.

Sedang yang mewajibkan muwalah berpijak pada sebuah hadis yang diriwayatkan dari salah satu sahabat yang disamarkan dan berbunyi (Al-bayan/1/137):

رَأَى رَجُلاً يُصَلِّى وَفِى ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلاَةَ

Nabi pernah memergoki salah seorang yang salat dan di punggung mata kakinya terdapat sedikit bagian kadar satu koin dirham, yang tidak terkena air. Lalu Nabi meminta orang tersebut mengulangi wudhu dan salatnya (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).

Baca juga: Badr al-Din az-Zarkasyi, dari Pembuat Hiasan hingga Penulis Kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhadzab menyatakan, ulama’ sepakat bahwa jarak waktu yang sedikit antara basuhan/usapan anggota wudhu, tidaklah mempengaruhi terhadap wudhu yang dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa jarak waktu yang dapat dikategorikan tidak muwalah dalam wudhu dan menimbulkan pro kontra antar ulama, adalah jarak waktu yang cukup panjang. Lalu adakah batasan mengenai panjang pendek jarak waktu dalam muwalah tersebut?

Imam An-Nawawi menjelaskan, menurut pendapat yang sahih, yang dinamakan jarak waktu yang panjang adalah yang membuat anggota wudhu sebelumnya menjadi kering sebab cukup lama ditinggalkan. Hal ini dengan mempertimbangkan hawa sekitar dan keadaan diri yang normal, alias tidak terlalu ekstrim dingin maupun panas (Al-Majmu’/1/453). Wallahu a’lam bish showab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU