BerandaTafsir TematikTafsir Ahkam: Hukum Qishas dalam Al-Quran

Tafsir Ahkam: Hukum Qishas dalam Al-Quran

Pada dasarnya, tidak ada satu pun agama di muka bumi ini yang mengajarkan suatu kejahatan. Terlebih agama Islam yang sejak awal memperkenalkan jati dirinya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Oleh sebab itu, bila terdapat tindak kriminal, Islam mengatur hukuman atasnya. Termasuk tindak kriminal yang paling berat adalah pembunuhan. Syariat Islam menetapkan adanya qishas (hukuman mati) sebagai ganjaran yang setimpal bagi pelaku pembunuhan.Lalu, bagaimanakah ketentuan dan hukum qishas dalam Al-Quran? Berikut ini penjelasannya.

Qishas dalam Al-Quran

Qishas berarti membalas pelaku kejahatan atas kejahatan yang diperbuat dengan balasan yang setimpal. Untuk menjelaskan hukum qishash Allah berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 178:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah [2]: 178)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Zina dan Alasan Perempuan Disebutkan Lebih Dulu

Ayat di atas menampakkan kesetaraan hukuman berikut kesetaraan pelaku dengan korban pembunuhan. Orang merdeka diqishas sebab membunuh sesama orang merdeka, budak diqishas sebab membunuh budak lain, dan perempuan juga diqishas sebab membunuh sesama perempuan.

Kecuali apabila mendapat ampunan dari keluarga korban, pelaku berkewajiban membayar diyat. Diyat adalah sejumlah harta yang wajib diberikan kepada korban atau walinya atas suatu tindak kejahatan yang telah diperbuat.

Ragam pendapat ketentuan qishas yang tidak sejenis

Sebagaimana keterangan dari Ibnu ‘Abbas, ayat tersebut dinasakh hukumnya dengan surat al-Maidah ayat 45 yang artinya:

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalam kitab itu bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishasnya.” (QS. Al-Maidah [5]: 45)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman Bagi Pencuri dan Beberapa Ketentuannya

Meski demikian, terdapat perbedaan dikalangan ulama dalam beberapa permasalahan yang termuat dalam ayat yang dinasakh tersebut. Berikut penjelasannya.

Pertama, pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang yang merdeka terhadap seorang hamba sahaya. Madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa pelaku dalam kasus pembunuhan ini mendapat qishas berdasarkan keumuman redaksi ayat an-nafsa bin nafsi pada surat al-Maidah. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Sa’id bin al-Musayyab, Ibrahim an-Nakha’i, at-Tsauri, dan lain-lain.

Namun, jumhur berpendapat sebaliknya yakni seorang yang merdeka tidak diqishas sebab membunuh seorang budak. Hal ini karena status budak seperti barang dagangan. Bahkan, jika pembunuhannya dilakukan secara khatha’ (keliru), maka orang merdeka tersebut tidak wajib membayar diyat, cukup dengan membayar sesuai dengan harga budak yang meninggal.

Demikian juga, tidak ada qishas bagi pelaku muslim dan orang kafir sebagai korbannya berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw:

.لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ. رواه البخاري

 “Tidaklah seorang muslim dibunuh sebab membunuh orang kafir.” (HR. al-Bukhari)

Sedangkan Abu Hanifah berijtihad bahwa qishas tetap berlaku dengan alasan keumuman ayat al-Maidah di atas.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Pembunuhan dan Pidananya

Kedua, pembunuhan yang dilakukan seorang lelaki terhadap perempuan. Jika pada kasus pertama jumhur ulama mempertahankan hukum qishas hanya berlaku jika budak dibunuh oleh sesama budak bukan oleh orang merdeka  sesuai dalam Al-Baqarah: 178, maka untuk kasus ini jumhur justru menasakh hukumnya. Artinya, tetap ada qishas dalam kasus ini berdasarkan keumuman redaksi ayat al-Maidah di atas serta dikuatkan dengan hadis riwayat Ibnu ‘Abbas:

.الْمُسْلِمُوْنَ تَتَكَافَأَ دِمَاؤُهُمْ.رواه ابن ماجه

“orang-orang Islam itu setara darah-darahnya.” (HR. Ibnu Majah)

Adapun yang mempertahankan hukum dalam Surat Al-Baqarah: 178 adalah al-Hasan, ‘Atha’ dan al-Laits.

Ketiga, pembunuhan yang dilakukan beberapa orang terhadap satu orang saja. Dalam kasus ini, Imam empat mazhab dan jumhur ulama sepakat dengan terlaksananya hukum qishas. Sebab, peristiwa demikian pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin Khatthab, lalu beliau menerapkan qishas dan disetujui oleh para sahabat.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum, Macam, dan Ketentuan Wasiat

Kendati demikian, Imam Ahmad dalam riwayatnya yang lain menuturkan bahwa qishas berlaku jika satu orang dibunuh oleh satu orang yang lain. Pernyataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari sahabat Mu’adz, Ibnu Zubair, az-Zuhri, ‘Abdul Malik bin Marwan. Atas perbedaan di kalangan sahabat ini, Ibnu Katsir memberi jalan tengah dengan mempertimbangkannya.

Bagaimanapun, segala bentuk kedzaliman pada diri seseorang harus diberlakukan pula balasan sesuai dengan kedzaliman tersebut, apalagi jika itu menyangkut nyawa orang lain. Sebab agama Islam sendiri memiliki salah satu tujuan mulia dalam syariatnya, yaitu hifzhun nafs atau menjaga jiwa. Sehingga, keberadaan qishas ini ditetapkan sebagai cara untuk melindungi jiwa manusia sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam[]

Lutfiyah
Lutfiyah
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...